Kereta Api (KA) Penataran menjadi andalan bagi mahasiswa dan pekerja yang laju dari Surabaya ke Malang, atau sebaliknya. Penumpangnya tak pernah sepi, bahkan terkesan selalu sesak. Meski demikian, ia tetap diandalkan lantaran lebih aman dan murah ketimbang moda transportasi lain.
Meski punya waktu tempuh dua jam dari Surabaya ke Malang, banyak orang tetap memilih menjadi penglaju ketimbang ngekos. Pertimbangannya macam-macam. Paling umum, sih, karena setelah dihitung ternyata opsi laju lebih hemat.
“Dua tahun aku kerja di Malang, nggak pernah ngekos. Laju, PP rumah ke kantor pakai KA Penataran,” kata Adil (24), bercerita kepada Mojok, Rabu (26/6/2024) malam.
“Kalau aku hitung, laju itu dalam sehari rata-rata habis 30-40 ribu. Lah kalau ngekos, belum uang kos, uang makan harian, bisa membengkak,” imbuh lelaki asal Surabaya tersebut.
Sebelum pandemi, pada 2017 hingga akhir 2019, Adil bekerja kantoran yang lokasinya tak jauh dari Gedung DPRD Kota Malang. Tiap hari, ia laju dari Stasiun Wonokromo menggunakan KA Penataran dan berhenti di Stasiun Malang.
“Jam limaan pagi berangkat, sampai Malang jam tujuh. Stasiun ke kantor jalan kaki 10 menitan. Kalau dipikir-pikir memang capek, tapi mau gimana lagi, aku dah komitmen mau begitu,” ujarnya.
Selain merasa lebih hemat, Adil memilih jadi penglaju pakai KA Penataran karena alasan rivalitas Bonek-Aremania. Bukan membenci salah satu kelompoknya. Tapi, Adil menghindarinya karena pernah mengalami kejadian tak mengenakan akibat rivalitas tadi.
Korban rivalitas Bonek-Aremania, takut ngekos gara-gara sweeping
Pada 2017 lalu, Adil belum menjadi kaum pengjalu yang pulang-pergi menggunakan KA Penataran. Ia bercerita sempat ngekos di Malang selama hampir dua bulan. Sama seperti perantau lainnya, hanya di akhir pekan atau hari libur saja ia pulang ke Surabaya.
Sayangnya, situasi berubah 180 derajat tatkala lingkungan kosnya tiba-tiba mencekam. Awalnya, Adil mengira terjadi perseteruan antarlembaga kampus atau semacamnya. Sebab ia memang ngekos di lingkungan mahasiswa.
Namun ternyata, keramaian itu terjadi lantaran ada oknum suporter yang sedang sweeping nomor kendaraan di lingkungan kosnya.
“Jujur mencekam banget kalau diingat-ingat,” kenang Adil. “Banyak orang masuk ke gang-gang kos. Meriksa motor satu-satu. Ada yang bawa balok kayu, udah kayak siap perang.”
Penumpang setia KA Penataran ini mengaku kalau dirinya tak terlalu paham apa yang sebenarnya terjadi. Meski lahir di Surabaya, kota yang gila bola, ia sama sekali tak mengikuti perkembangan olahraga tersebut. Soal rivalitas kedua kelompok suporternya pun ia juga masa bodo.
Sial baginya. Nomor kendaraannya adalah L. Adil tak bisa mengelak kalau dia berasal dari Surabaya. Alias, dia menjadi salah satu sasaran sweeping para suporter.
“Malu ngakuinnya, tapi aku ya jujur-jujur aja saat itu nangis. Pasrah aja mau diapain,” jelasnya.
Saat dalam kondisi pasrah, untungnya pemilik kos berdebat panjang dengan para suporter. Adil tak terbukti sebagai bonek, seperti yang mereka asumsikan tadi. Ia pun bisa bernapas lega.
“Sumpah trauma itu masih membekas. Tapi aku bingung juga, resign dari kerjaan nggak mungkin tapi kalau gini-gini terus bisa kena hajar di jalanan. Makanya aku putusin laju aja pakai KA Penataran. Biarpun capek tapi nyawa aman.”
Belajar banyak, di KA Penataran banyak orang lebih menderita daripada dirinya
Saat awal-awal berkomitmen buat pulang pergi Surabaya-Malang pakai KA Penataran, Adil mengaku merasa amat menderita. Bagaimana tidak, pukul 5 pagi dia sudah dituntut buat ada di Stasiun Wonokromo. Sebab, kalau ikut keberangkatan berikutnya pukul 7 pagi, ia bakal terlambat sampai kantor.
Jam kerjanya rampung pukul 4 sore, sedangkan keberangkatan KA Penataran dari Malang ke Surabaya pukul setengah 7 malam. Waktu tunggu hampir 3 jam ini yang kadang membuatnya stres.
“Lima hari dalam seminggu, waktuku habis di kereta. Berangkat subuh, terus sampai rumah lagi jam 9 malam. Itu udah nggak ada kehidupan lagi, langsung tidur biar besok nggak telat,” keluhnya.
Ia sempat mencoba beberapa opsi. Pakai bus, misalnya, yang ternyata lebih mahal dan jam keberangkatan tak tentu. Sementara kalau pakai motor, lebih tidak mungkin karena bakal menguras tenaga. Belum lagi kalau ada sweeping lagi, bakal repot.
Namun, rasa lelah itu ternyata tak seberapa kalau dibandingkan pekerja lain yang bernasib sama sepertinya.
“Di KA Penataran ini aku berangkatnya sering ketemu bapak-bapak. Kita naik bareng, stasiun tujuan aja yang beda. Bapak ini petugas kebersihan, kayak tukang kebon gitu di Malang. Gajinya kecil banget, masyaallah, mana katanya udah 20 tahun lebih kerja di sana.”
Bapak-bapak petugas kebersihan itu baru satu orang. Ketika jam 5 pagi, kata Adil, Stasiun Wonokromo sudah penuh “dengan orang-orang kayak zombie”. Wajah-wajah lelah yang mungkin baru tidur beberapa jam tersebut sudah harus berdesak-desakan dalam kereta menuju Malang.
“Gimana nggak merasa ditampar, aku masih muda udah ngeluh. Mereka-mereka ini sudah sepuh tapi masih semangat,” tutup lelaki yang sejak 2023 lalu telah bekerja di Jogja.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News