Nasib Introvert KKN di Desa Sendiri, Malah Merasa Paling Asing Karena Selama Ini Kurang Srawung

Nasib Introvert KKN di Desa Sendiri, Malah Merasa Paling Asing Karena Selama Ini Kurang Srawung.MOJOK.CO

Ilustrasi Nasib Introvert KKN di Desa Sendiri, Malah Merasa Paling Asing Karena Selama Ini Kurang Srawung (Mojok.co/Ega Fansuri)

Konon, KKN di desa sendiri adalah berkah. Alasannya, kita sudah paham medan dan kultur, sehingga lebih mudah buat memetakan program kerja yang tepat. Namun, hal itu tak berlaku bagi introvert yang jarang bergaul. Mereka tetap merasa asing meski ada di desa sendiri.

Salah satu pengalaman unik tersebut dialami Resti (23), mahasiswa salah satu PTN Jogja yang tahun lalu menyelesaikan KKN. Saat pembagian kelompok dan penetapan lokasi diumumkan, ia terkejut lantaran diterjunkan ke desanya sendiri di wilayah Gunungkidul.

“Awalnya mastiin, bener nggak, jangan-jangan cuma namanya yang sama. Eh, ternyata benar, aku KKN di tempat sendiri,” ungkap Resti, yang baru-baru ini ditemui Mojok pada Jumat (2/8/2024).

Pada awalnya, Resti merahasiakan hal tersebut dari teman-teman satu kelompok. Ia mengaku tak mau kelompoknya berekspektasi lebih kepadanya. Lebih-lebih, dia juga takut ditunjuk jadi ketua kelompok karena merasa tak terlalu pandai bergaul.

Namun, lambat laun “rahasia” tadi terbongkar. Alhasil, ketakutannya tadi pun kejadian. Teman satu kelompoknya menaruh harapan besar padanya. Pendeknya, meski tak jadi ketua, Resti seperti ujung tombak di kelompoknya.

“Mampus!,” ungkapnya, mengingat perasaannya kala itu. “Pada mikir aku paham seluk beluk desaku. Padahal aku ini introvert yang pulkam cuma sebulan sekali. Itu pun di desa aku juga jarang srawung.” imbuhnya.

Bingung, tak tak tahu caranya berkomunikasi dengan kepala desa

Sebenarnya, Resti sudah coba berkomunikasi ke teman-temannya kalau dia tak bisa diandalkan untuk urusan KKN. Meskipun KKN di desa sendiri, sifatnya yang introvert dan jarang bergaul justru bakal menyulitkan kelompoknya.

Namun, teman-teman kelompoknya malah ngayem-ayemi. Mereka tetap percaya kalau Resti adalah ujung tombak karena dianggap paham seluk beluk desa.

“Udah nggak bisa berkata-kata lagi waktu itu. Rasanya pengen jadi buah-buahan aja biar nggak perlu pusing-pusing mikir,” kata Resti.

Cobaan pertama ia rasakan saat survei lokasi. Kalau boleh jujur, Resti hanya mampu membantu menunjukkan arah ke desanya saja. Kalau urusannya sudah berkomunikasi ke kepala desa atau tokoh masyarakat setempat, ia nol besar.

Masalahnya, teman-temannya keukeuh menyerahkan urusan tersebut ke Resti. Kata mereka, “itu mandat dari ketua kelompok”.

Alhasil, apa yang ia takutkan kembali kejadian. Sesampainya di desa sendiri, Resti sempat memampirkan teman-teman ke rumahnya. Sambil istirahat, Resti tanya-tanya ke ayahnya terkait kepala desa yang akan mereka jumpai.

“Ya gimana, aku aja nggak tahu kepala desa siapa, rumahnya di mana, orangnya seperti. Karena aku memang se-introvert itu, nggak pernah bergaul,” ujarnya.

Saat mereka mulai beranjak ke rumah kepala desa, Resti sangat overthinking. Ketakutan-ketakutan ia rasakan. Keringat dingin juga membasahi wajahnya. Ia panik, karena selama ini belum pernah berkomunikasi dengan kepala desa.

Dan, sesampainya di tujuan, terjadilah hal yang bikin Resti mau pingsan. Ternyata kepala desa juga tak tahu kalau Resti adalah warga desa tersebut.

“Sumpah rasanya malu banget sama teman-teman kelompok KKN. 20 tahun lebih hidup di sini, aku merasa nggak tahu apa-apa dengan daerah sini. Merasa asing banget,” ucap Resti, dengan getir.

Boro-boro sejahterakan warga, sama tetangga sendiri saja asing

Nyaris tiga bulan KKN Resti jalani dengan penuh kengenesan. Satu-satunya kontribusinya di kelompok adalah penginapan gratis. Kebetulan, Resti punya satu rumah kosong milik pamannya yang ditinggal merantau ke kota. Selama KKN, teman-temannya diinapkan di sana.

Selebihnya, Resti malah seperti beban. Bagaimana tidak: berkomunikasi dengan tokoh masyarakat tidak pandai, bersosialisasi pun kikuk. Bahkan, program kerja individu yang “cuma” sosialisasi ke ibu-ibu PKK pun terasa sangat berat.

“KKN yang cuma dua bulanan itu rasanya kayak lama banget. Nggak selesai-selesai saking aku nggak betahnya,” ujar perempuan asal Gunungkidul ini.

Pengalaman penuh adrenalin sebagai introvert yang KKN di desa sendiri juga dialami Fiko (24). Alumnus UGM yang pernah KKN di Gunungkidul ini mengaku, dirinya serasa menjadi orang paling asing–saking jarang bergaul dengan pemuda sekitar.

Fiko bahkan mengaku, tak jarang ia mendapat cacian dan sindiran dari tetangga-tetangganya. Dari yang ia dengar, beberapa warga desa menganggap Fiko selama ini tak pernah andil di kegiatan-kegiatan desa. Sementara giliran KKN, dia sok bikin kontribusi.

“Aslinya sakit hati dengarnya. Tapi apa boleh buat, memang aslinya aku jarang srawung. Sah-sah aja mereka nuduh macem-macem,” ungkapnya, Rabu (7/8/2024).

Mahasiswa KKN ini tak menyukai kultur pemuda desa yang suka mabuk-mabukan

Fiko punya alasan mengapa ia seolah jaga jarak dengan para tetangganya. Kalau Resti memang aslinya sulit bersosialisasi, Fiko mengaku memang tak terlalu suka dengan kultur pemuda desanya.

Berdasarkan cerita Fiko, alumnus UGM ini merupakan satu-satunya pemuda yang “well educated”. Dalam artian bisa mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi.  Sementara banyak pemuda di desanya yang lulus SMA langsung kerja.

“Nggak tahu kenapa, aku udah berusaha nongkrong bareng tapi memang nggak bisa nyambung obrolannya,” ujar mahasiswa yang pernah KKN di desa sendiri ini.

“Jujur, aku berusaha membumi. Tapi mereka yang kerap jaga jarak, dibilangnya omonganku ndakik-ndakik, nggak cocok bagi mereka,” imbuhnya, menegaskan rasa sakit hatinya.

Ditambah lagi, Fiko juga tak terlalu menyukai kultur pemuda desa yang menurutnya doyan mabuk-mabukan. Menurutnya, mau sedekat apa dia dengan seseorang, kalau sudah mabuk maka rasa ilfeel yang ia rasakan.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA Warga Desa Sebenarnya Muak dengan Mahasiswa KKN: Nggak Bantu Atasi Masalah Desa, Cuma Bisa bikin Les dan Acara 17 Agustusan

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version