Hutan Produktif di Oasis laiknya oase. Ia menjadi rumah bagi burung-burung di tengah Kota Kudus yang minim lahan terbuka hijau. Di sana, puluhan jenis burung tinggal, mencari makan, dan beranak-pinak.
***
Pagi itu, suara kicau bersahutan dari arah timur kawasan Oasis Kretek Factory, Kabupaten Kudus. Di sela barisan pohon salam dan juwet yang rimbun, seekor kutilang melintas cepat, meninggalkan bayang di atas kepala.
Di bawahnya, rerumputan masih lembap oleh bekas siraman air yang tersisa. Kawasan asri ini, yang oleh pengelolanya disebut Hutan Produktif, adalah ruang hidup bagi puluhan jenis burung. Ia menjadi tempat burung hinggap, mencari makan, bahkan beranak-pinak.
“Dari awal kami ingin area ini jadi tempat tinggal satwa,” kata Meiady Ariyanto, General Service Landscape Oasis, Kudus, yang membersamai saya pagi itu, Selasa (7/10/2025).
“Harapannya nggak cuma burung. Mamalia, reptil, semua mendapat tempatnya,” imbuhnya.
Pria yang akrab disapa Memed ini mengaku sebagai “kicau mania” alias pecinta burung. Alhasil, ia dengan senang hati menemani saya berkeliling Hutan Produktif untuk melihat burung-burung apa saja yang tinggal di sana.

Hutan Produktif Oasis jadi kawasan semi konservasi
Hutan Produktif Oasis sendiri terletak di sisi timur kawasan industri seluas 82,4 hektare tersebut. Dari total luasan lahan itu, 60 persen lebih merupakan ruang terbuka hijau (RTH), dengan 18 hektare di antaranya dikhususkan sebagai hutan ini.
Angka ini jauh melampaui kewajiban ruang terbuka hijau untuk kawasan industri, yang menurut aturan hanya 30 persen.
Di tengah Kabupaten Kudus yang hutan alamnya kian menyusut–sebagian besar tersisa di lereng Pegunungan Muria–keberadaan ruang hijau seperti di Oasis terasa langka.
Data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) mencatat, tutupan hutan di Kudus hanya sekitar 12 ribu hektare, atau tak sampai seperempat wilayah kabupaten. Maka, area seluas 18 hektare di jantung kawasan industri ini seolah menjadi titik hijau kecil yang bertahan di dataran rendah Kudus, tempat kehidupan liar masih bernafas.
Memed menyebut konsep yang mereka jalankan sebagai “semi-konservasi”: area yang dijaga, tapi tidak dilepaskan sepenuhnya pada alam. Tanaman tetap dirawat, disiram, dan diremajakan bila tua.
“Kami masih melakukan perawatan, tapi tidak mengubah siklus alami,” ujarnya.
Di sinilah manusia dan alam bertemu di titik tengah, di mana kehidupan burung dijaga tanpa mengurungnya dalam batas buatan. Kawasan semi-konservasi ini menjadi rumah bagi burung, mamalia kecil, hingga reptil.
Burung mondar-mandir cari makan
Sepanjang berkeliling bersama Memed pagi itu, saya melihat sendiri kehidupan yang dimaksudnya. Dari kejauhan terdengar kicauan berlapis-lapis; di antara ranting, burung-burung kecil melintas cepat.
Seekor perkutut Jawa melompat di dahan rendah, sementara dua ekor burung pipit berkejaran di tepi kolam irigasi. Mereka mondar-mandir cari makan, yang memang sangat melimpah di Hutan Produktif.
Beberapa burung tampak waspada, langsung menjauh begitu kami lewat. Namun, ada pula yang tampak terbiasa dengan manusia–hinggap santai di dahan pohon salam, mematuk buah yang sudah matang.
“Kalau sudah biasa, mereka malah ikut mendekat,” kata Memed, menatap ke atas sambil tersenyum.
Namun, saya tak seberuntung itu untuk menyaksikan semua penghuni hutan ini. Beberapa jenis yang menurut saya “cantik”, seperti sepah dan perenjak, belum menampakkan diri.
“Biasanya muncul siang,” ujar Memed.
Ada lebih dari 42 jenis burung di Hutan Produktif Oasis
Memed bercerita, selama beberapa tahun terakhir, timnya mencatat lebih dari 42 jenis burung yang pernah singgah atau menetap di Oasis. Ada yang endemik Jawa, tapi tak sedikit pula jenis non-endemik yang diduga berasal dari peliharaan warga lalu lepas dan beradaptasi di sana.
“Bahkan rangkong Kalimantan pun ada,” tuturnya. “Mereka bisa hidup karena sumber dayanya cukup. Serangga ada, buah ada, air ada.”
Suatu pagi, ada kisah yang masih membuatnya tertawa jika diingat. Seekor rangkong Kalimantan tiba-tiba muncul di kawasan hutan. Ukurannya besar, suaranya nyaring, paruhnya melengkung indah.
“Saya sampai kaget,” kata Memed. “Soalnya di pasaran, burung itu bisa sampai lima juta rupiah.”
Ia menduga burung tersebut bukan datang dari hutan liar, melainkan hasil peliharaan yang tak sengaja lepas. Tapi anehnya, burung itu tampak betah. Selama berhari-hari ia tinggal, bertengger di pohon nangka yang sedang berbuah.
“Ya mungkin dia merasa nyaman di sini,” kata Memed sambil tersenyum. “Ada makanan, ada tempat aman, siapa juga yang mau pergi?”
Kisah rangkong itu menjadi semacam penegasan bahwa burung-burung di Oasis datang dari berbagai latar belakang. Ada yang benar-benar berasal dari alam bebas dan memilih menetap karena lingkungan cocok. Ada pula yang berasal dari peliharaan manusia, terlepas entah karena kelalaian atau kebetulan, lalu menemukan rumah baru di sini.
“Yang dari peliharaan kadang balik lagi, tapi ada juga yang menetap,” katanya.
Sistem pemantauan
Untuk memastikan keberlangsungan itu, Memed dan timnya membentuk sistem pemantauan jangka panjang. Kamera trap dipasang di beberapa titik, dibantu tim penghijauan dan ahli fauna.
Dokumentasi dilakukan melalui foto dan video. Hasilnya menjadi semacam catatan kecil tentang bagaimana kehidupan bisa bertahan di ruang-ruang antara industri dan alam.
Sumber makanan pun diatur dengan cermat. Selain buah-buahan yang memang ditanam–seperti salam, juwet, nangka, mangga, pisang, hingga pepaya–burung-burung juga mendapat tambahan biji-bijian alami: milet, niger, dan abah.
“Tapi kami tidak memberi pur,” kata Memed. “Burung liar tidak mau makan pur. Mereka tetap butuh makanan dari pohon.”
Ia mengatakan, setiap kali buah sudah matang, tidak dipanen. Tapi dibiarkan masak di pohon agar bisa disantap burung, tupai, atau kelelawar malam.
Meski disebut “hutan produktif”, kawasan ini tidak diproduktifkan untuk manusia. Pohon-pohon di sini memberi hasil bukan dalam bentuk kayu atau uang, melainkan rasa hidup yang lebih seimbang.
“Produksi kami bukan bahan mentah, tapi keseimbangan ekosistem.”
Burung-burung di Oasis tersebar merata di setiap blok, dari A hingga F. Tak ada area khusus bagi spesies tertentu. Hanya burung air yang cenderung memilih wilayah basah seperti danau atau saluran irigasi.
Suara mereka menjadi bagian dari ritme sehari-hari para pekerja yang melintas. Di tengah kawasan industri yang sibuk, Oasis menawarkan narasi lain: bahwa pembangunan tak harus meminggirkan kehidupan liar. Ia bisa berjalan berdampingan, sejauh ada niat untuk memelihara
“Bagi kami,” katanya pelan, “selama burung-burung itu masih mau datang, berarti tempat ini masih asri.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: PPT BLDF Kudus, Tempat Pohon-Pohon Langka Menemukan Rumahnya atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan