Ada banyak mitos mengenai sekolah di rumah atau homeschooling. Kebanyakan adalah stigma buruk yang dilekatkan pada siswa dan orang tua yang menjalaninya. Padahal, melalui homeschooling, siswa lebih menikmatinya. Ia mendapatkan banyak hal yang tak bisa diperoleh dari sekolah formal kebanyakan.
Khalifah Anggara Puri Mahacinta (12) adalah salah satu siswa homeschooling. Pertama kali bertemu dengan perempuan asal Jogja ini, saya dibikin kagum.
Bagaimana tidak, anak berusia 12 tahun, masih kelas 6 SD, sudah bisa berpikir kritis mengenai dunia politik. Dalam sebuah forum, ia berbicara dengan sangat meyakinkan mengenai topik yang rasa-rasanya cuma bisa ditelan oleh orang dewasa.
Artikulasinya juga mumpuni. Sementara rasa percaya dirinya tak bisa diragukan lagi. Berbicara mengenai topik politik di depan puluhan orang dewasa, tentu butuh keberanian ekstra. Ini pun menepis anggapan lama kalau siswa-siswa homeschooling itu gagap sosial alias tak percaya diri di depan publik.
“Kalau saya justru orangnya senang bersosialisasi dengan orang lain. Bukan tipe penyendiri, harus berinteraksi,” kata perempuan yang akrab disapa Puri itu kepada Mojok, Jumat (10/5/2024) malam.
Memutuskan homeschooling karena mendapat diskriminasi
Puri pernah mengenyam pendidikan formal, yakni saat jenjang Taman Kanak-Kanak (TK). Sayangnya, ia dianggap “terlalu aktif” buat anak seusianya.
Rahmawati, ibu dari Puri, bercerita kalau putrinya kerap dapat omelan guru karena terlalu sering bertanya mengenai banyak hal. Ia juga sering membantah gurunya hingga bikin jengkel.
“Saya ingat betul, guru bilang kalau Puri nggak bisa sekolah di sana. Kata guru, Puri nggak memungkinkan masuk sekolah formal,” kata perempuan yang bekerja di lembaga swadaya masyarakat Kota Jogja tersebut.
Ternyata, Rahmawati menyadari kalau anaknya memang istimewa. Pada usia 7 tahun, Puri didiagnosa mengalami Disleksia, sehingga ia memiliki pola pikir dan pemahaman yang berbeda dengan anak-anak lain.
“Akhirnya saja belajar mengenai kurikulum belajar bagi anak. Banyak buku saya pelajari, yang akhirnya saya nemu yang namanya homeschooling. Yang mana orang tua bisa mengajari anak secara independen, sesuai kebutuhan anak, tak terikat sekolah formal, tapi juga sah dalam undang-undang,” ungkapnya.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sendiri memang mengakomodasi homeschooling sebagai salah satu alternatif pembelajaran yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Terutama oleh orang tua yang ingin mendidik anak mereka secara independen dan tak terikat sekolah formal.
Anak-anak yang mengikuti homeschooling sendiri terdaftar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Mereka juga mendapatkan ijazah yang bisa digunakan buat kuliah bahkan mendaftar beasiswa.
Lebih bisa menggali potensi anak
Menurut Rahmawati, dalam hal pembelajaran, antara homeschooling dengan sekolah formal nyaris sama. Bedanya, melalui homeschooling, anak-anak tidak terikat dengan kurikulum sekolah.
“Keluarga bebas menentukkan kurikulum sendiri,” jelasnya. “Makanya saya juga ikut belajar mengenai ini. Saya harus memastikan apa yang disukai anak, apa potensinya, yang kemudian nanti saya eksplor,” sambungnya.
Dengan demikian, anak-anak homeschooling tetap mendapat mata pelajaran umum seperti matematika dan sains. Hanya porsinya saja yang beda. Anak-anak lebih banyak belajar tentang apa yang mereka suka.
Puri, misalnya, mengaku sangat menyukai antropologi dan menulis. Makanya, selama homeschooling materi ini yang lebih banyak ia dapatkan.
“Teman-teman aku yang sekolah formal punya hak untuk memilih apa yang mereka suka itu kan saat SMA. Menurutku itu sudah sangat telat banget,” kata Puri.
“Sementara aku sudah sejak SD bisa belajar hal-hal yang memang aku suka.”
Nggak enaknya, tetap saja diremehkan oleh masyarakat dan negara
Meskipun amat menikmati proses belajar homeschooling, Puri mengaku memang masih ada yang meremehkan. Ia menyadari masih ada yang menganggapnya tak berpendidikan hanya karena tak menimba ilmu di sekolah formal.
Tak hanya masyarakat awam saja yang tak mengakui homeschooling, bahkan pejabat negara pun juga masih melihatnya secara sinis.
Hal yang paling diingat Puri terjadi 2023 lalu. Kala itu, ia hendak berangkat ke Nepal buat mendaki Gunung Annapurna. Sayangnya, visanya dipermasalahkan lembaga imigrasi hanya karena dia homeschooling.
Perdebatan panjang pun terjadi antara orang tua Puri dan orang-orang yang mempermasalahkan visanya. Untungnya, setelah melalui perdebatan panjang, visanya dapat diterima karena secara legalitas memang sah.
“Jadi kan di undang-undang itu kita legal, sudah diatur juga kok. Mirisnya ini ada lembaga yang tak paham. Anak-anak homeschooling masih dipandang remeh, aku bilangnya masyarakat kelas dua mungkin, ya,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News