Pengalaman Tak Terduga saat Tinggal Setahun di Bantaran Kali Code Jogja, Motor Parkir Sembarang Tak Hilang

Ngekos di Kali Code Bikin Saya Tahu Sisi Gelap Mahasiswa Teknik UGM.MOJOK.CO

Ilustrasi Ngekos di Kali Code Bikin Saya Tahu Sisi Gelap Mahasiswa Teknik UGM (Mojok.co/Ega Fansuri)

Di luar dugaan, tinggal di bantaran Kali Code Jogja yang dianggap kumuh ternyata tidak semengerikan itu. Bahkan, saya justru merasa nyaman dan terbayang untuk tinggal lagi di sana jika ada kesempatan.

Kali Code yang membelah Sleman, Kota Jogja, dan Bantul ini punya panjang sekitar 41 kilometer. Hulunya berada di kaki Gunung Merapi dan bermuara di Sungai Opak.

Permukiman di bantaran Kali Code kerap dianggap kumuh dan kotor. Di sebagian titik sungainya memang banyak sampah.

Namun, saya pernah mengontrak rumah di permukiman bantaran Kali Code dekat pusat Kota Jogja pada 2018 silam. Jika mengingat kembali, itu terkesan seperti pilihan yang cukup aneh. Pasalnya, saya bersama seorang teman kuliah di daerah Condongcatur, Sleman. Rumah kami, jaraknya barangkali tidak sampai 100 meter dari badan sungai.

Teman saya, menemukan kontrakan murah itu lewat OLX. Saat itu, harganya hanya Rp8 juta per tahun dengan spesifikasi dua kamar, satu kamar mandi, ruang tamu, dan dapur. Selain murah, saat itu kami terpikir untuk tinggal di pusat Kota Jogja agar akses ke mana-mana mudah.

Permukiman bantaran Kali Code yang aman

Kami tinggal di Kampung Jogoyudan, Jetis, Kota Jogja. Kampung yang padat dengan akses jalan yang cukup sempit. Salah satu tantangan awal terasa saat pindahan. Mobil pick up nyaris tidak muat masuk gang.

Namun, setelah itu kami mendapati bahwa kehidupan di sana terasa begitu hangat. Warganya ramah dan banyak anak-anak yang bisa bermain bebas di jalanan.

Kehangatan suasana di permukiman tepi Kali Code (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Kehidupan kampung yang kami tinggali sepintas terlihat keras. Namun, ternyata sangat aman. Padatnya permukiman dengan lahan yang terbatas membuat kebanyakan rumah tidak punya garasi untuk parkir kendaraan.

Motor pun setiap hari kami parkir di pinggir gang depan rumah. Awalnya khawatir, tapi pemilik kontrakan meyakinkan bahwa daerah itu aman.

“Di sini hampir semuanya memarkirkan kendaraan di pinggir gang,” kata pemilik kontrakan.

Di kampung, ada beberapa tempat parkir bersama, namun tentu tidak cukup untuk mewadahi semua motor milik warga. Sehingga, pinggiran gang jadi pilihan utama.

Setahun tinggal di kampung bantaran Kali Code, bahkan sesekali lupa mengunci stang motor, ternyata tetap aman. Hal itu jadi salah satu pengalaman di luar dugaan bagi kami.

Tidak terganggu nyamuk

Awalnya saya sempat menduga bahwa tinggal di permukiman padat dekat sungai akan terganggu dengan nyamuk. Namun, ekspektasi itu terbantahkan selama tinggal di sana.

Lingkungan cukup bersih dan tidak ada genangan air dari got yang membuat nyamuk bersarang. Meski, ada gangguan lain dari tikus dan kecoak yang kerap datang. Pasalnya, bangunan rumah kami berada di kampung bagian bawah dengan sinar matahari yang tidak terlalu mencukupi.

Tinggal di perkampungan padat membuat kami kerap berinteraksi dengan warga yang kebanyakan bekerja di sektor informal. Banyak di antara mereka yang bekerja sebagai ojol maupun tukang parkir. Bahkan, sesekali saya kaget saat sedang berada di kawasan sekitar Tugu Jogja dan Malioboro karena bertemu dengan bapak-bapak tetangga kontrakan yang sedang bekerja memarkirkan kendaraan.

Pengalaman tinggal di bantaran Kali Code sebagai perantau membuat kami melihat realitas kehidupan kebanyakan warga Jogja. Jauh dari ingar bingar kemewahaan pariwisata yang biasa digembor-gemborkan.

Tantangan di bantaran sungai Jogja

Memang, kami tinggal tidak persis di bantaran kali. Saya pernah berbincang dengan Rozi (22), lelaki yang dulu pernah ngekos persis di rumah tepi Kali Code. Begitu membuka jendela kamar, aliran sungai sudah terlihat.

Rozi tinggal di sana selama hampir enam bulan saat mengikuti bimbingan belajar khusus jelang seleksi masuk kuliah. Pasalnya, tempat bimbingan belajarnya berada di kawasan Kotabaru Jogja.

“Nggak bawa kendaraan jadi cari yang terjangkau dengan jalan kaki,” katanya.

Tinggal persis di pematang sungai membuatnya punya pengalaman yang berbeda dengan saya. Ia mengaku, Kali Code kadang mengeluarkan bau.

“Kadang kalau siang, begitu matahari terik, itu seperti bau comberan terangkat dari sungai,” kelakarnya.

Namun, selain hal itu baginya tidak banyak masalah saat tinggal di sana. Biasanya yang ngekos di perkampungan sekitar sana adalah pekerja.

Sebenarnya, saya dan rekan sempat ingin melanjutkan tinggal lebih lama di sana. Namun, ia mendapat pekerjaan yang memaksanya harus mencari tempat tinggal lain yang lebih dekat dengan kantornya. Sehingga, kami pun berpisah dengan kontrakan di tepi Kali Code.

Sisi lain, bantaran Kali Gajahwong di selatan Jogja saat musim hujan (Gusti Aditya/Mojok.co)

Kendati begitu, Kampung Jogoyudan yang termasuk permukiman di tepi Kali Code yang relatif tertata. Pasalnya, lokasinya berada di jantungnya Jogja. Jika menilik bantaran lebih ke selatan, situasinya bisa berbeda karena perhatian pemerintah tidak sebaik di kawasan pusat perkotaan.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Nestapa Para Manusia Tanpa Rumah dan Ditinggal Keluarga yang Bernaung di Sekitar UGM Bertahun-tahun

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version