Awalnya hanya dua orang remaja yang dititipkan kepada Gus Yayan dan istri untuk dapat bimbingan, baik secara pendidikan maupun religi. Kemudian berkembang menjadi panti asuhan atau Lembaga Kesejahteraan Sosial dan Anak (LKSA) Daarul Muthola’ah. Istri Gus Yayan sampai terkaget-kaget dengan tindakan suaminya yang kadang di luar nalar.
***
Akhirnya saya berkesempatan ngobrol dengan Kiai Muhammad Wiyanto atau dikenal juga dengan panggilan Gus Yayan, Selasa 28 Oktober 2025. Sehari sebelumnya saya gagal bertemu dengannya, karena pagi hingga siang hari dia ada kegiatan.
Di sore yang mendung dan gerimis tersebut saya ngobrol dengan Gus Yayan yang didampingi istri tercinta, Eko Utami di pendopo, Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Daarul Muthola’ah, di Kalioso RT.02 Jetiskarangpung Kalijambe Sragen.
“Kalau pagi saya ngajar, Mas. Saya itu guru SD,” katanya memberi penjelasan mengapa tidak bisa ditemui pagi hari.
Berawal sebagai pekerja sosial lepas

Ditemani istri, kiai muda berusia 40-an ini lantas bercerita panjang tentang bagaimana LKSA Daarul Muthola’ah yang juga pondok pesantren ini berdiri dan menjadi rumah asuh bagi sekitar 31 santri dari berbagai daerah.
“Awalnya itu sekitar tahun 2012, ada dua orang anak yang dikirim oleh orang tuanya. Satu dari Ngawi, satunya lagi dari Boyolali. Orang tuanya titip agar anak mereka didampingi dari segi sekolah dan kehidupan keseharian, termasuk pembimbingan religinya,” kata Gus Yayan.
Anak-anak setingkat SMA itu kemudian dicarikan sekolah oleh Gus Yayan. “Awalnya dua orang, lima orang, delapan orang, sampai akhir 2014 itu ada sekitar 15-18 orang,” kata sang istri, Eko Utami melanjutkan.
Jauh sebelum kedatangan dua orang anak itu Gus Yayan sudah bersinggungan dengan aktivitas sosial. Ia datang ke Sragen tahun 2005, daerah asal istrinya. Gus Yayan lantas menjadi pekerja sosial freelance, hal yang sudah ia lakukan sejak masih menjadi mahasiswa pecinta alam (Mapala) di Institut Teknologi Nasional Yogyakarta (ITNY).
Ia kemudian berkesempatan untuk mengikuti pendidikan dan latihan pekerja dan advokasi sosial di Balai Besar Kementerian Sosial atas fasilitas dari Dinas Sosial Kabupaten Sragen. Setelah itu, Gus Yayan semakin fokus menangani permasalahan sosial meski belum memiliki lembaga resmi.
Belajar dan terinspirasi dari sang guru yang mengurusi ODGJ
Gus Yayan bercerita persentuhannya dengan aktivitas sosial ia lakukan jauh sebelum tinggal di Sragen, bahkan sebelum kuliah. Salah satu yang mendorongnya bergiat di kegiatan sosial adalah kiai di tempat ia nyantri di Pasuruan, tempat kelahirannya.
“Ada guru saya, namanya Kiai Abu Bakar Kholil. Beliau guru saya saat nyantri di Pondok Pesantren Metal Muslim Al-Hidayat,” ujar Gus Yayan.
Gurunya itu memang tidak bisa disebut secara formal sebagai pekerja sosial. Cuma, perhatiannya kepada permasalahan sosial di masyarakat luar biasa tinggi. Sosok Kiai Abu Bakar Kholil ini terbilang kontroversial karena melakukan hal-hal yang oleh orang umum dianggap aneh.
“Beliau mengumpulkan ODGJ di Jawa Timur. Bahkan mengendarai sendiri truk dari Banyuwangi hingga Ngawi, lantas orang-orang itu dibawa untuk tinggal di pesantrennya,” ujar Gus Yayan.
Di satu waktu, bahkan pernah terkumpul hingga 600-an ODGJ. “Yang menangani, memandikan mereka, ya kami, santri-santrinya,” ujar Gus Yayan tertawa.
“Doktrin beliau yang selalu saya ingat: ‘Kita harus jadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Tapi manfaat itu jangan hanya untuk orang-orang yang masih mampu berpikir, tapi juga untuk mereka yang sudah di jalan, tak ada yang menolong,’” lanjut Gus Yayan mengingat pesan gurunya.
Awalnya dikira jadi tempat singgah sementara
Meski pengalaman tersebut terjadi saat Gus Yayan masih SMP, tapi apa yang ia lihat dan rasakan di Ponpes Metal Muslim Al Hidayat itu begitu membekas. Sampai saat ia kuliah pun, pengalaman itu masih melekat sehingga jadi pendorong tersendiri baginya untuk aktif menjadi pekerja sosial.
“Dulu, saya sempat bilang ke istri, suatu ketika ingin punya lembaga sosial, karena saat itu kan saya sudah aktif jadi pekerja sosial,” kata Gus Yayan. Ia dan istrinya tidak punya target waktu untuk mendirikan lembaga tersebut, sampai kemudian di tahun 2012 ada dua orang anak yang dititipkan kepada mereka. Pendopo di
Awalnya, istri Gus Yayan mengira dua orang yang tinggal di rumahnya hanya tinggal untuk sementara. Apalagi saat itu ia juga masih bekerja. “Saya akhirnya bilang ke abah, ‘Mosok kita nginepin orang dua hari lebih tanpa lapor Pak RT? Nanti bisa masalah. Apalagi anaknya orang tinggal lama di sini, kita nggak punya legalitas.’”
Singkat cerita, anak-anak yang dititipkan ke rumah mereka makin banyak. “Di tahun 2013 ada tambahan 7 orang, jadi total ada 8 orang, dengan satu anak perempuan. Semua kami santuni sejak awal,” kata Gus Yayan. Proses perizinan menjadi rumah asuh atau LKSA akhirnya baru selesai di tahun itu.
Gaji sebagai guru habis untuk menghidupi anak asuh
Dari mana biaya untuk menyantuni anak-anak tersebut?
“Saya kan kerja jadi guru, komitmen kami berdua saat itu di tahun 2013, semua penghasilan saya, didedikasikan untuk semua yang ada di sini,” kata Gus Yayan. Selain penghuni LKSA, ia dan istrinya memiliki 5 anak. Hal ini yang membuat urusan dapur di rumah kadang menjadi kalang kabut.
Bu Eko mengungkapkan, dari awalnya hanya menampung dua hingga 8 anak. Dalam dua tahun, jumlahnya melonjak jadi belasan. “Tahun 2013–2014 itu sudah 15 sampai 18 orang,” kenangnya.
Tantangan pun datang, bukan hanya soal pengasuhan, tapi juga soal dapur. “Saat itu anak saya masih empat, nah kadang sebagai ibu rumah tangga saya juga bingung, saya nggak kebagian gaji suami, semua untuk kebutuhan panti. Itu pun masih kurang, anak-anak kan masa pertumbuhan, makannya banyak,” kata Bu Eko tersenyum.
Untungnya ia punya teman yang tahu lika-liku kehidupannya dengan Gus Yayan. Temannya itu jualan beras. Ia kemudian memberanikan diri untuk mengambil beras dulu dan membayarnya saat Gus Yayan gajian.
Gus Yayan tertawa mendengar istrinya menceritakan soal beras tersebut. “Iya, benar, kami sampai berhutang beras. Gaji saya nggak cukup untuk membayar beras, itu benar-benar terjadi,” kata Gus Yayan. Kondisi tersebut membuatnya nggak enak dengan istrinya. Tapi karena sudah komitmen sejak awal, ia meyakinkan istrinya.
“Saya bilang ke ibunya anak-anak, ‘kita harus punya keyakinan-karena ini janjinya Allah-suatu ketika, walaupun tidak punya sawah, kita panen,” kata Gus Yayan.
Kiai yang tak mau sebar proposal untuk cari donatur
Menurut Gus Yayan, awal-awal LKSA Daarul Muthola’ah berdiri, kondisinya memang cukup sulit. Ia juga tidak mau mengembangkan lembaga yang ia dirikan dengan pola-pola menyebar proposal ke donatur atau membuat kotak-kotak infak untuk dititipkan di warung.
“Sejak awal, komitmen saya dengan ibunya anak-anak itu, LKSA ini sudah diniatkan tidak merepotkan orang lain, dan harus tanggung jawab dalam mengelolanya, tidak mengandalkan bantuan pihak lain,” kata Gus Yayan.
Selain mengandalkan gajinya sebagai guru SD, ia dan istrinya mencoba beberapa usaha ekonomi produktif untuk mendukung operasional LKSA. Usaha itu seperti penyediaan air minum galon, jasa persewaan sound system, juga peternakan kambing.
“Jadi kalau 2013 LKSA sudah terlembagakan, usaha yang kita bangun mulai cukup stabil itu di tahun 2015,” ujar Gus Yayan.
Gus Yayan mengatakan, komitmen untuk mandiri dan tidak menyebar proposal karena masih ada anggapan, bahwa lembaga seperti panti asuhan itu hanya alasan untuk memperkaya diri, bahkan ada yang menganggap sebagai lembaga pengemis yang terlembagakan.
Ada juga yang menganggap mengeksploitasi anak. Ini karena biasanya ada yang santri di awal tahun misalnya disuruh keliling bawa kalender, bawa proposal kesana-kemari, atau membuat kotak infak. “Saya sih merasa risih, kalau lembaga lain silakan,” kata Gus Yayan.
Gus Yayan memang melibatkan anak-anak di LKSA dalam beberapa usaha LKSA, tapi hanya pada waktu senggang. Tujuannya juga agar anak-anak tersebut tidak cengeng, mandiri, dan tidak menjadi anak-anak yang tergantung hal-hal yang sifatnya dibantu orang lain.
“Misalnya, saat senggang, mereka mengantar galon air mineral itu ke pelanggan. Mereka dapat bagian seribu rupiah tiap galon, dan itu dilakukan cuma saat waktu senggang saja. Jangan sampai anak-anak ini, dari awalnya di rumah itu butuh ditolong, di sini malah image-nya jelek,” jelas Gus Yayan.
Hal-hal di luar nalar yang jadi warna hidup LKSA Daarul Muthola’ah
Istri Gus Yayan, Bu Eko Utami membenarkan bahwa kesepakatan awal dengan suaminya, lembaga sosial yang mereka dirikan memang mandiri, tidak bergantung dengan pihak lain. Persoalan ada yang membantu, itu bukan karena diminta. Konsekuensinya, Bu Eko harus berhitung dengan cermat operasional pondok.
Masalahnya kadang Gus Yayan melakukan hal-hal di luar nalar orang kebanyakan. “Di luar nalar itu maksudnya begini, Mas. Tiba-tiba beliau menyodorkan kuitansi material bangunan untuk segera dibayar. Atau minta uang untuk bayar tukang. Tanpa tahu punya uang atau nggak,” kata Eko Utami tertawa.
Setiap kali ia protes, Gus Yayan selalu menyampaikan bahwa, ‘kita harus punya keyakinan, janji Allah itu nyata’.
Hal ini membuatnya harus bersiasat. “Saya akhirnya pakai metode titip uang dulu ke toko bangunan, jadi kalau nanti tiba-tiba saya pesan material, tinggal dikurangi dari deposit saya,” kata Bu Eko tertawa.
Kadang juga ada kejadian-kejadian yang unik. Misalnya, tiba-tiba pagi hari, di depan pintu rumah mereka sudah ada karung beras dengan isinya.
“Kita keluar rumah subuh-subuh, di depan pintu sudah ada dua karung beras. Siapa yang ngasih dan kapan nganternya, kita tidak tahu. Tapi yang jelas manusia,” kata Gus Yayan tertawa.
Masalah beras yang sempat membuat Bu Eko Utami pusing akhirnya teratasi di tahun 2015. Itu pun juga bisa dikatakan terjadi di luar nalar. Ceritanya, ada sebuah yayasan di Solo yang rutin membagikan beras ke lembaga sosial. LKSA Daarul Muthola’ah tidak masuk dalam radar mereka. Suatu hari, dalam perjalanan dari Solo ke Sumberlawang (Sragen), tim lembaga tersebut melewati jalan dekat panti.
“Ndilalah mereka membuka Google Maps, dan tahu ada panti asuhan, mereka datang dan melakukan interview. Alhamdulillah kami dapat kiriman rutin sekitar 250-300 kilogram sebulan, padahal awalnya bukan sasaran bidik pemberian bantuan,” kata Gus Yayan.
Hal-hal di luar nalar seperti itu bukan sekali dua kali terjadi, bahkan sampai sekarang masih terjadi. Ia lantas menunjuk rumah tempat tinggalnya bersama Gus Yayan dan anak-anaknya. “Gus Yayan itu selalu mengedepankan kepentingan anak-anak LKSA. Rumah tinggal kami itu malah sampai nggak kepikiran, sampai nggak sempat renovasi. Musim hujan seperti ini biasanya baru ketahuan ada yang bocor,” katanya tersenyum.
Dari banyak hal di luar nalar yang Gus Yayan lakukan, ia mendapatkan pelajaran penting. “Saya dikasih ilmu: sabar, ikhlas, yakin. Kalau kita yakin, Allah yang kasih jalan,” katanya.
Menjadikan anak-anak LKSA Daarul Muthola’ah sebagai bagiandari keluarga
Di Oktober 2025, ada sekitar 31 anak yang terdiri 15 putri dan 16 putra usia sekolah SMP hingga SMA, tinggal di LKSA. Anak asuh laki-laki tinggal di asrama kecil yang letaknya sekitar 30 meter dari kompleks utama, berdampingan dengan area makam desa. Sedang 15 lainnya adalah anak asuh perempuan yang tinggal di bangunan tak jauh dari rumah yang ditempati Gus Yayan dan istrinya.
Gus Yayan dan istrinya tak pernah memilih siapa yang akan menjadi anak asuhnya. Tidak ada seleksi ketat, tidak ada kriteria sosial yang membatasi.
“Tiap tahun fluktuatif, karena di awal tahun kami tidak tahu yang direkomendasikan masuk siapa. Kami tidak pernah nolak, seberapa pun yang hadir di sini, apapun kondisinya, kami anggap sebagai kiriman dari Gusti Allah, kami terima,” kata Gus Yayan.
Menurut Gus Yayan, anak-anak itu datang dari berbagai latar belakang: ada anak yatim, korban kekerasan rumah tangga, anak dari keluarga miskin, hingga remaja yang pernah berhadapan dengan hukum.
Sebagian datang karena direkomendasikan aparat desa, sebagian lagi diantar keluarga yang tak lagi sanggup mengurus. Namun, bagi Gus Yayan, semua diterima dengan cara yang sama: seperti keluarga yang pulang ke rumah.
“Pendekatan pertama kami adalah bagaimana caranya menyatu dengan anak-anak,” ujar Gus Yayan.
Selain anak asuh mengikuti pendidikan umum di sekolah, ada tiga kurikulum utama di LKSA Daarul Muthola’ah, yaitu keagamaan, kemandirian, dan satu lagi ekstra sebagai pendukung.
Untuk keagamaan, sejak awal anak-anak masuk sudah dikondisikan dalam proses 24 jam. Jadi bukan hanya belajar agama, tapi juga dibiasakan ibadah dan berakhlak baik. Setiap sore sampai malam mereka belajar, kemudian berlanjut lagi keesokan paginya.
Selain itu, ada kurikulum kemandirian. Isinya dua hal utama: penanaman karakter baik, seperti disiplin, mengelola waktu, tidak cengeng dan siap untuk mandiri dengan bekal ilmu yang dimiliki.
“Kami punya workshop konveksi dan sablon, serta bengkel las listrik dan bongkar kendaraan ringan di belakang,” kata Gus Yayan.
Kegiatan ketiga yang menjadi pilar pendukung adalah ekstrakurikuler. Kegiatan tersebut meliputi rebana dan pencak silat.
“Kami juga terbuka semisal ada pihak yang mau memberikan pelatihan teater untuk santri kami, kami itu pesantren yang moderat. Selama itu bisa memberi bekal ilmu pada anak asuh, akan kami dukung,” kata Gus Yayan.
10 budaya malu di LKSA Daarul Muthola’ah
Di LKSA Daarul Muthola’ah ada satu kegiatan rutin tiap pagi yang juga jadi bagian membangun karakter anak asuh. Sebelum berangkat sekolah diadakan apel pagi dengan membaca 10 Budaya Malu:
- Malu tidak ibadah,
- Malu tidak salat jamaah,
- Malu tidak ngaji,
- Malu tidak sekolah,
- Malu tidak bermasyarakat,
- Malu tidak berakhlak,
- Malu tidak berpikir,
- Malu tidak disiplin,
- Malu tidak tepat waktu,
- Malu tidak hidup bersih dan tidak rapi.
“Saya tanya ke teman-teman psikolog, ‘kira-kira, sia-sia nggak saya minta anak asuh untuk membacanya setiap pagi’. Artinya apakah penanam karakter tersebut bisa tersimpan di alam bawah sadar mereka,” ujar Gus Yayan.
Mengutip jawaban psikolog tersebut, ternyata yang ia lakukan sudah bagus. Ia yakin pembiasaan tersebut nantinya akan masuk, meski saat ini terkesan ogah-ogahan, tapi nantinya bisa jadi kompas hidup dalam menjalani kehidupan.
Cita-cita anak asuh LKSA Daarul Muthola’ah dan alasannya ingin jadi dokter
Saya lantas ngobrol dengan Syifana (17), anak asuh di Daarul Muthola’ah yang saat ini duduk di kelas XI SMK jurusan farmasi. Ia bercita-cita ingin menjadi dokter spesialis orthopedi. Cita-cita itu muncul setelah mengikuti kegiatan motivasi yang diadakan oleh Djarum Foundation.
“Saya dimotivasi bahwa saya itu hebat, saya itu membanggakan. Itu membuat saya percaya diri. Awalnya saya merasa kurang pinter, tapi setelah dengar cerita kakak-kakak yang mengisi acara, saya yakin saya bisa,” katanya.
Syifana mengungkapkan awalnya ia merasa tak mungkin bisa dapat beasiswa atau kuliah di luar negeri. Tapi, mendengar motivasi yang diberikan narasumber, ia jadi yakin, bahwa siapapun bisa meraih cita-citanya.
Ia juga merasa bahwa lingkungan di Daarul Muthola’ah sangat kondusif. “Saya sangat nyaman di sini, dari yang belum bisa baca Alquran sekarang sudah bisa,” ujarnya.
Anak asuh lainnya, Saad Hasan A Sajali (15) asal Jakarta mengaku makin mantap untuk meraih cita-citanya menjadi dokter setelah ikut kelas motivasi dari tim Djarum Foundation. “Saya tahun depan dapat beasiswa 3 tahun full di SMK Kesehatan Mandala Bhakti,” kata siswa SMP kelas 9 yang tinggal di LKSA sejak kelas 5 SD.
Saad merasa yakin bisa meraih cita-citanya karena ditunjukkan pengalaman dari tim motivator yang latar belakang keluarganya seperti dirinya tapi bisa dapat beasiswa dan menjadi atlet. “Kami dimotivasi agar pantang menyerah, bahwa kita itu bisa,” katanya.
Saad juga berjanji akan memanfaatkan beasiswa dari Djarum Foundation dengan sebaik-baiknya. “Saya ingin jadi dokter karena pekerjaannya membantu orang lain,” kata anak asuh Daarul Muthola’ah yang juga hobi pencak silat.
Program purna asuh untuk anak-anak yang lulus
Selepas lulus SMA/SMK, anak-anak asuh di LKSA Daarul Muthola’ah nantinya akan mendapat pilihan apakah kembali ke keluarganya, kuliah, atau bekerja. Kalau mau kuliah, maka sebisa mungkin pihak LKSA akan mencarikan beasiswa lewat program pemerintah, atau orang tua asuh.
Begitu juga kalau ingin kerja, akan dikoneksikan ke jaringan-jaringan yang LKSA punya. “Misalnya, di sekitar LKSA itu sentra konveksi, kami salurkan ke sana. Ada juga jaringan kita yang punya warung, kita masukan ke sana kalau anaknya mau,” kata Gus Yayan.
Gus Yayan sangat berterima kasih karena menjadi salah satu mitra dari BSDF. Salah satunya adalah sebagai pengasuh mendapat banyak bantuan non-materi yang sangat bermanfaat. “Salah satunya kami bisa tahu potensi anak-anak ini sejak awal. Sehingga kami bisa mengarahkan masa depan mereka lebih terarah,” kata Gus Yayan.
Psikolog pendamping LKSA Daarul Muthola’ah
Tim pendamping psikologi dari Bakti Sosial Djarum Foundation (BSDF), CVR Abimanyu saat dihubungi Mojok membenarkan bahwa salah satu program yang mereka kerjakan di LKSA Daarul Muthola’ah adalah pelatihan konseling karier. Tujuan dari pelatihan ini adalah membantu pengasuh memahami perjalanan anak dari masa lalu hingga masa depannya. Anak-anak yang dulunya bingung setelah lulus SMA kini mulai bisa diarahkan sesuai potensi masing-masing.
“Kami memperkenalkan alat asesmen sederhana yang legal dan mudah digunakan, untuk memotret kemampuan dan minat anak-anak. Dengan begitu, Gus Yayan dan para pengasuh bisa menentukan arah pengembangan anak secara lebih tepat,” kata Abimanyu.
Misalnya, ada anak yang potensial di bidang olahraga, ada yang berbakat di bidang seni, atau yang punya kemampuan sosial tinggi. Semua ini jadi terlihat setelah proses asesmen dan pelatihan dilakukan.
“Menurut saya Gus Yayan itu sosok pribadi yang open minded, sehingga potensi anak dapat diteruskan dalam program-program yang ada,” kata Abi.
Ia melihat program-program yang ada di LKSA Daarul Muthola’ah seperti program naik gunung, apel pagi, pencak silat, bengkel, hingga pelatihan keterampilan konveksi jadi bekal bagi anak asuh dalam pembentukan karakter termasuk membangun mental yang tangguh.
BSDF sendiri menjalankan program capacity building atau penguatan kapasitas bagi para pengasuh dan anak-anak asuh. Sebelum pembuatan program terlebih dulu tim psikolog melakukan asesmen menyeluruh, baik kepada pengasuh maupun anak-anak asuh. “Dari asesmen itu, kami bisa melihat situasi pengasuhan, kekuatan, serta potensi dan area yang perlu diperbaiki,” ujar Abi.
Setelah asesmen, kami menyusun dan memberikan pelatihan berjenjang. Pelatihan meliputi parenting system, positive parenting, konseling dasar, hingga konseling karier. “Saya dan tim rutin datang kembali untuk melihat sejauh mana materi diterapkan, apa kesulitannya, dan apakah ada kasus atau kendala yang muncul. Jadi, antara pelatihan satu dengan pelatihan berikutnya selalu berkesinambungan.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA:Asrama Kecil di Kudus yang Menumbuhkan Mimpi Besar Anak-Anak Kurang Beruntung atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan