Di Jawa Timur, setiap ada orang yang baru mau mulai mendaki, sering kali diarahkan ke Gunung Penanggungan yang terletak di Mojokerto-Pasuruan. Katanya, gunung tersebut sangat cocok untuk pendaki pemula. Tapi benarkah demikian?
***
Ada banyak gunung tinggi nan indah di Jawa Timur yang jadi incaran pendaki. Sebut saja Gunung Lawu, Argopuro, Semeru, Ijen, bahkan kalau yang mau ekstrem ada Gunung Raung.
Iffah (25) baru mulai tertarik mendekati menjelang lulus kuliah pada 2021. Banyak teman sekelasnya di sebuah kampus Surabaya yang sudah lebih dulu suka mendaki.
Dari situ dia merasa agak iri. Sebab, sepulang dari pendakian, teman-teman Iffah pasti akan mengunggah momen-momen seru selama pendakian. Belum lagi foto-foto indah dari atas gunung yang diunggah di Instagram.
Selepas merampungkan skripsi, Iffah merasa perlu sesekali mencoba mendaki gunung. Maka dia pun bilang ke salah satu teman kelasnya: intinya kalau ada agenda mendaki lagi, Iffah mau ikut. Mau healing sejenak dari kepusingan skripsi.
“Kata temenku, kalau untuk pemula, coba dulu ke Gunung Penanggungan. Mereka sebenarnya sudah tuwuk (bosen) dengan gunung satu itu. Tapi untuk mendaki tipis-tipis, akhirnya beberapa dari teman kelasku gas ke sana (ada tiga orang yang ikut, jadi empat orang sekalian Iffah),” tutur Iffah, Sabtu (18/1/2025).
Iming-iming jalur pendek Gunung Penanggungan via Tamiajeng
Ada lima jalur pendakian Gunung Penanggungan. Bisa melalui Mojokerto atau Pasuruan. Antara lain:
Mojokerto: Jalur Jolotundo (Desa Seloliman, Trawas), Kedungudi (Desa Kedungudi, Trawas), Ngoro (Desa Wotanmas Jedong, Ngoro), dan Tamiajeng (Desa Tamiajeng, Trawas).
Pasuruan: Jalur Wonosunyo (Desa Wonosunyo, Gempol).
“Lagi-lagi karena aku pemula, teman-teman mempertimbangkan lewat Tamiajeng. Katanya lebih pendek,” ungkap Iffah.
Karena disebut jalur pendek itulah kenapa akhirnya Tamiajeng menjadi jalur populer di kalangan pendaki. Jalur ini menyediakan empat pos perhentian sebelum ke puncak.
“Kami mulai tracking jam 9-an pagi kalau aku nggak salah ingat. Sebelum berangkat, aku dimotivasi, ini gunung pendek, cuma 1.700-an mdpl. Jadi nggak berat. Nggak seperti temen-temen yang sudah mendaki 2.000-an mdpl ke atas,” ucap Iffah.
Tentu saja Iffah begitu bersemangat. Dia sudah kebayang-bayang bakal sampai puncak, lalu ambil banyak foto untuk dia unggah di media sosialnya.
Terjal, curam, dan menyiksa
Pendakian pun dimulai. Kondisi Iffah masih aman setidaknya hingga di pos 2. Sebab, dari pos 2 ke pos 3 jalurnya cenderung landai. Hanya memang agak panjang.
Nafas tentu saja ngos-ngosan. Tapi Iffah masih merasa, kalau jalurnya seperti itu, rasa-rasanya mudah untuk melewatinya sampai puncak.
“Ujian sebenarnya ternyata menyambut di pos 3. Karena sudah mulai terjal. Aku beberapa kali minta berhenti untuk ambil napas, minum, dan menyelonjorkan kaki,” terang Iffah.
Jalan terjal masih berlanjut hingga ke pos 4. Selain terjal, vegetasi di jalur setelah pos 4 menuju puncak bayangan juga terbilang rapat. Iffah akhirnya mulai banyak meminta jeda.
Nah, trek paling menyiksa adalah setelah puncak bayangan menuju puncak sesungguhnya Gunung Penanggungan.
“Itu menyiksa banget, sih. Jalurnya bebatuan. Terus bentuk treknya nggak miring lagi, tapi lurus-rus-rus,” ungkap Iffah.
Menyerah untuk menggapai puncak Gunung Penanggungan
Rombongan Iffah sampai di puncak bayangan selepas asar. Mereka langsung mendirikan tenda. Di sana sudah ada beberapa pendaki yang bersantai di tenda masing-masing.
Karena memburu matahari terbenam, teman-teman Iffah menghendaki langsung tracking ke puncak sore itu juga. Iffah, dengan sisa-sisa tenaga pun memaksakan diri untuk ikut.
Namun, hanya beberapa langkah percobaan menuju puncak Gunung Penanggungan, Iffah menyerah. Nafasnya terasa habis. Pahanya terasa nyeri. Sementara matanya pun berkunang-kunang seiring keringat dingin terasa merembes dari punggungnya.
“Asli kaki sakit banget rasanya. Aku mau nangis. Akhirnya aku milih buat puter balik. Aku turun, nggak lanjut ke puncak,” ujar Iffah
Iffah memilih menunggu teman-temannya dengan berbaring di tenda. Dalam benaknya, “Ngapain ya aku nyiksa tubuh kayak gini. Kan lebih enak healing ke Recheese aja.”
Ketika teman-temannya kembali, Iffah langsung melayangkan protes: katanya jalur pendek? Katanya Gunung Penanggungan cocok buat pemula? Teman Iffah meresponsnya dengan tawa, melihat Iffah yang protes sambil merengek menahan tangis.
Pemandangannya memang tak mengecewakan
Meskipun tidak sampai puncak, Iffah merasa pendakian yang menyiksa itu cukup terbayar dengan pemandangan dari puncak bayangan.
Dari puncak bayangan Gunung Penanggungan, tampak pijar lampu-lampu penduduk. Itu pemandangan malam hari. Kalau pemandangan pagi hari, tampak kabut-kabut tipis menyelimuti rumah-rumah penduduk di bawah.
Sejak pagi-pagi sekali, Iffah sudah duduk-duduk di depan tenda. Mengambil gambar dengan kamera ponselnya.
“Kalau mau yang lebih indah, kapan-kapan mendaki lagi di gunung yang lebih tinggi. Tinggal milih, ada Lawu, ada Semeru kalau mau lihat betapa indahnya Ranu Kumbolo.” Begitu ucap salah satu teman Iffah yang menyusul bangun.
Iffah hanya tersenyum getir menerima usulan itu. Batinnya, Gunung Penanggungan yang katanya buat pemula saja sebegini menyiksa, apalagi gunung-gunung dengan ketinggian di atas 2.000-an mdpl. Bisa pingsan di jalur pendakian.
Rekomendasi buat pemula di Mojokerto
Teman sependakian Iffah, Bani (26), juga mengamini kalau Gunung Penanggungan memang tidak cocok buat pemula. Gunung tersebut sebenarnya lebih tepat disebut trek iseng-iseng untuk para pendaki yang sudah terbiasa mendaki gunung-gunung tinggi.
Lantas, apakah ada gunung yang cocok untuk pemula? Ini subjektif. Tapi Bani mencoba memberikan rekomendasinya: gunung atau bukit di Mojokerto.
“Pertama banget. Aku rekomendasikan Bukit Lorokan di Pacet, Mojokerto. Tingginya cuma 1.100 mdpl. Itu nggak terlalu terjal, nggak nanjak banget juga. Jalur ringan,” terang Bani.
Bukit Lorokan saat ini malah lebih seperti spot wisata, alih-alih jalur pendakian. Sebab, banyak kalangan non pendaki yang tektokan (naik-turun langsung) di bukit ini. Walaupun cocok juga untuk nge-camp. Pemandangannya juga, kata Bani, benar-benar memanjakan mata.
“Kalau di bawah Penanggungan, ada Gunung Pundak. Tingginya kira-kira 1.500-an mdpl. Menurutku cukup ringan. Nggak semenyiksa Penanggungan,” sambung Bani.
Lalu berturut-turut ada Bukit Watu Jengger (1.100 mdpl) hingga Bukit Semar (933 mdpl).
Bagi yang suka situs kuno dan hawa mistis
Konon, Gunung Penanggungan—yang punya nama kuno Gunung Pawitra—merupakan puncak Mahameru yang terpotong dan jatuh di Mojokerto.
Mitologi Jawa banyak yang menyebut, Gunung Semeru awalnya berada di Jambudwipa (ada yang menyebut India, ada yang menafsirikan Bali). Lalu dipindah oleh dewata ke Jawadwipa (pulau Jawa).
Namun, di tengah pemindahan dengan cara diterbangkan itu, puncak Semeru (Mahameru) ada yang grompal hingga jatuh membentuk gunung sendiri: Gunung Penanggungan.
Dalam serat Nagarakartagama gubahan Empu Prapanca tercatat, gunung ini memiliki nilai spiritual penting di masa Kerajaan Majapahit. Sebab, gunung ini sering menjadi titik pertapaan. Pertapa yang paling fenomenal adalah penguasa Majapahit terakhir, Prabu Brawijaya V.
“Kalau yang suka sejarah, suka situs-situs, bisa lewat jalur Jolotundo. Nanti bakal nemu banyak situs peninggalan masa lalu,” ujar Bani.
“Jalur itu juga cocok buat orang yang suka dengan hawa mistis. Karena sampai saat ini, gunung ini masih dianggap keramat,” sambungnya.
Sulit mencari malam hening
Lanjut Bani, Gunung Penanggungan bukan hanya tidak cocok buat pemula. Tapi tidak cocok juga untuk yang mencari ketenangan di atas gunung.
Sebab, karena anggapan gunung buat pemula tadi, Gunung Penanggungan nyaris selalu riuh. Apalagi kalau di akhir pekan atau hari libu nasional. Pasti penuh sesak..
“Paling menyebalkan itu kalau ada pendaki-pendaki yang bawa sound dan gitar. Jangan harap bisa menikmati malam yang hening. Karena mereka pasti teriak-teriak, nyanyi-nyanyi. Itu mengganggu sekali,” imbau Bani.
“Yang bawa sound akan nyetel musik kenceng-kenceng, sudah kayak denger sound horeg,” tandasnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: 9 Jam “Menghilang” di Gunung Lawu Magetan hingga Bisa Kembali berkat Kiriman al-Fatihah atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan