Film animasi “Jumbo” meraup 6 juta penonton sejak penayangan perdananya. Film animasi garapan Ryan Adiandhy tersebut lantas masuk ke dalam 10 besar film Indonesia terlaris sepanjang masa. Menggeser Miracle in Cell No.7 (2022), Vina: Sebelum 7 Hari (2024), Dilan 1991 (2019) dan Sewu Dino (2023).
Film Jumbo pada dasarnya bukan film animasi belaka. Pakar psikologi anak Universitas Gadjah Mada (UGM), Wulan Nur Jatmika menyebut, animasi karya anak bangsa itu menyajikan realitas sosial dan pesannya yang mendalam.
Pesan berlapis dalam film animasi Jumbo
Dalam analisis Wulan, film animasi Jumbo memuat pesan berlapis yang bisa ditangkap berbeda oleh penonton di segala usia.
Film ini mengandung pesan moral tentang persahabatan, cara menjadi teman yang baik, saling tolong-menolong, serta cerita petualangan seru yang menghibur untuk anak-anak.
Sementara Bagi penonton dewasa, alur cerita Jumbo memberi kesan nostalgia melalui dinamika psikologis setiap karakternya.
“Secara pribadi, saya sangat mengapresiasi para seniman yang telah bekerja keras mewujudkan film ini dengan kualitas animasi, alur cerita, serta perkembangan karakter yang baik, diperkaya dengan banyak hikmah yang bisa dijadikan bahan refleksi,” tutur Wulan dalam keterangan tertulisnya, Senin (21/4/2025).
Anak-anak yang tumbuh tanpa orangtua di film animasi Jumbo
Selain itu, bagi Wulan, film animasi Jumbo menyajikan berbagai realitas sosial: perihal bagaimana pengaruh keluarga dan lingkungan pada kondisi psikologis anak.
Salah satunya adalah Adverse Childhood Experiences (ACEs), yakni kejadian atau peristiwa yang terjadi sebelum anak menginjak usia 18 tahun dan berpotensi menimbulkan trauma.
Kejadian seperti kehilangan peran orang tua, diabaikan, menyaksikan atau mengalami kekerasan, dan disfungsi sosial keluarga dapat menyisakan pengalaman traumatis bagi anak.
Secara reflketif, ACEs dapat ditemukan pada latar belakang beberapa karakter film “Jumbo”. Misalnya, Don yang kehilangan orang tua atau Atta yang tumbuh tanpa orang tua dan harus hidup dalam kemiskinan.
Ada pula karakter Maesaroh dan Nurman yang dikisahkan hidup bersama kakek tanpa peran orang tua secara emosional.
“Kondisi ini mencerminkan realita sosial Indonesia, di mana anak-anak dengan ACEs bisa dengan mudah ditemukan di sekitar kita,” ungkap Wulan.
Baca halaman selanjutnya…
Banyak anak tumbuh di lingkungan penuh perundungan
Perundungan di lingkungan anak-anak
Selain itu, Wulan juga menyoroti isu perundungan anak-anak yang diceritakan dalam hubungan antara Don dan Atta.
Menurutnya, perundungan adalah masalah nyata nan kompleks pada lingkungan anak-anak. Baik pelaku maupun korban berpotensi mengalami masalah kesehatan mental di kemudian hari.
“Anak yang menjadi pelaku perundungan biasanya juga bukan tanpa sebab. Banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari pola asuh negatif, pengalaman masa lalu sebagai korban, hingga lingkungan sosial yang tidak sehat,” jelas pakar psikologi anak UGM itu.
Di film animasi Jumbo, Don tetap tampil ceria dan percaya diri meski selalu jadi korban perundungan. Pasalnya, dia mendapat dukungan emosional yang baik dari lingkungannya.
Kasus ini, lanjut Wulan, menunjukkan bahwa pencegahan perundungan tidak bisa dilakukan secara parsial. Perlu ada upaya untuk meminimalisir faktor-faktor resiko seperti pola asuh negatif, lingkungan yang penuh tekanan, atau ketidaksetaraan sosial.
Sebagai upaya preventif, perlu adanya penguatan faktor protektif, yakni kedekatan yang baik dengan orangtua atau pengasuh, dukungan sosial, lingkungan sekolah yang aman, dan sistem dukungan di masyarakat.
Peran keluarga dan lingkungan pada pengembangan karakter anak
Merujuk pesan-pesan berlapis tersebut, Wulan menggarisbawahi betapa pentingnya peran keluarga dan lingkungan bagi pengembangan karakter anak.
Anak membutuhkan bekal cinta dan kasih sayang yang tulus tanpa syarat, nilai-nilai kehidupan, dan panduan moral yang baik.
Kehadiran orangtua diperlukan untuk memberi arahan agar anak mampu mengenal dan mengatur emosi diri, serta mendapatkan ilmu dan wawasan yang luas.
“Dengan bekal-bekal itu, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang kuat, sehat, mandiri, dan siap menghadapi tantangan hidup,” pungkas pakar psikologi anak UGM tersebut.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Film Qodrat 2: Ketika Perempuan Buruh Pabrik Dieksploitasi Kapital sekaligus Jadi Tumbal atau liputan Muchaamd Aly Reza lainnya di rubrik Liputan
