Di jurusan bahasa asing, baik pendidikan atau sastra, pasti ada satu-dua mahasiswa yang jadi tour guide. Apalagi bagi mahasiswa di Jogja, jelas banyak yang ingin kerja seperti ini, sebab ya, kita tahu sendiri, Jogja adalah surganya wisata. Pekerjaan tersebut adalah salah satu pekerjaan yang jelas-jelas menampung dan membutuhkan orang-orang yang menguasai bahasa asing. Selain itu, pekerjaannya menyenangkan karena tidak terpaku di kantor dan meja kerja. Istilahnya, kerja sembari main lah.
Tapi, banyak yang tak tahu benar-benar bagaimana rasanya jadi guide, dan seperti apa kerjanya.
Saya bertanya pada Basir Ridwan (30), salah satu tour guide Jogja yang saya kenal. Basir sudah menekuni dunia guide ini sejak lama, lebih dari 7 tahun, sejak mahasiswa hingga sekarang. Dari Basir lah, saya tahu banyak hal tentang dunia guide.
Basir awalnya menekuni dunia ini seperti mahasiswa pada umumnya, harus menghadapi kenyataan kalau dia harus sudah mulai bayar kuliah sendiri. Dia lalu memutar otak, mencari cara untuk cari uang, lewat kerja apa yang kira-kira bisa dijalani sambil kuliah.
“Kebetulan suka dolan, terus kebetulan juga kuliah bahasa Inggris, jadi coba daftar jadi guide. Alhamdulillah lolos, terus mulai training 3 bulan, lanjut bisa bawa tamu sendiri di bulan ketiga, dan keterusan sampe sekarang, kira-kira udah 7-8 tahun lah.”
Like a duck in the water, Basir langsung nyetel dan klop dengan kerjaannya. Dia yang memang suka main, suka ketemu orang baru, dan ngobrol, bikin dia merasa bahagia. Bahkan, dia merasa tidak seperti kerja, tapi main yang dibayar. Hal ini bikin dia betah. Dari yang awalnya coba-coba, kini jadi pekerjaan utama.
Beda destinasi, beda bayaran
Bicara pekerjaan, pastinya akan bicara gaji juga. Tour guide pun tak luput dengan ini. Dan pemasukan jadi guide ini amat lumayan, apalagi untuk mahasiswa part time.
Tapi, bayaran yang diterima bervariasi, tergantung destinasi dan beratnya tour, serta ketetapan agency. Agency punya standar sendiri untuk menetapkan “gaji” guide. Bahasa yang digunakan pun memengaruhi gajinya. Guide dengan sertifikat khusus pasti juga punya gaji yang beda, ungkap Basir.
Basir lalu memberi contoh agar penjelasannya mudah dimengerti. Misal ada freelance tour guide, bisa bahasa Inggris, dan masih baru, dia bisa mendapat tarif sekitar 300-600 ribu per hari. Itu pun ya masih tergantung destinasi dan tournya.
“Maksudnya, tour di Kraton beda bayarnya sama tour di Kawah Ijen.”
Tentu ini sangat lumayan. Jika per minggu hanya mengambil sehari kerja saja, katakanlah mendapat bayaran terendah sekitar 300 ribu, maka per bulan sudah bisa meraup 1.2 juta. Itu sudah separuh UMR Jogja, uang yang cukup tinggi untuk mahasiswa. Pekerjaan ini, tentu amat menggiurkan.
Tapi tak berarti pekerjaan ini mudah. Kelihatannya mudah, tapi tidak sama sekali. Uang besar biasanya diikuti beban yang sama besarnya.
Syarat jadi tour guide yang baik
Bagi Basir, kerja guide ini sebenarnya tak mudah-mudah amat. Kelihatannya memang hanya memandu dan cerita, tapi tak sesepele itu. Memandu dan bercerita itu memang kelihatannya sepele, tapi kan untuk memahami apa yang diomongkan, harus melek informasi juga. Butuh effort untuk memahami masalah global dan lokal. Bahasa malah bukan kesulitan utama bagi Basir. Itu semua bisa sambil dipelajari.
“Kalo ada yang pengen jadi tour guide, syaratnya kudu seneng dolan dan ngobrol sama orang baru. Ngobrol ini nggak cuma ngobrol materi destinasi ya, tapi semua hal, serandom apa pun. Karena banyak turis asing yang baru pertama ke Indo dan penasaran banyak hal.”
Maka dari itu, banyak hal yang harus dipersiapkan oleh orang-orang yang ingin jadi tour guide, terlebih jika ingin menjadikan pekerjaan ini sebagai pekerjaan utama.
“Aku menyarankan (ini jadi pekerjaan utama), asal udah punya banyak pengalaman dan udah banyak relasi agent-agent tour. Sama kudu fleksibel bawa turis asing dan lokal, karena nek asing tok ada musimnya, biasanya pas Europe (sedang) summer.”
Baca halaman selanjutnya
Pariwisata Jogja sedang tak baik-baik saja
Pariwisata Jogja menurun
Tak ada gading yang tak retak, tak ada pekerjaan yang selamanya enak. Tour guide pun tak luput dari hal ini.
Beberapa kali Basir harus menghadapi banyak cobaan dalam melakoni pekerjaannya. Macet, gangguan cuaca, kadang tempat wisata yang tutup tiba-tiba adalah beberapa faktor yang bikin pekerjaannya terganggu. Selain faktor eksternal, kadang cobaan yang harus dia lalui adalah klien dia sendiri. Orang luar negeri yang jadi kliennya tak semuanya ramah, kadang, pada titik tertentu, sulit untuk dihadapi.
“Sebenernya tergantung personal bule itu ya, nggak bisa disama ratakan. Tapi rata-rata banyak guide yang sepakat bule Prancis dan Italia yang sering bikin sebel. Tapi top tier bule yang ruwet adalah turis Cina.”
Saya iseng bertanya, adakah bule yang komplain tentang Jogja. Yang mengejutkan adalah, tak banyak bule komplain tentang Jogja. Setidaknya, tidak secara eksplisit. Yang dikeluhkan paling hanya kemacetan dan panasnya cuaca, selain itu tidak. Mungkin karena yang dilihat dari Jogja adalah yang bagus-bagusnya aja, terang Basir.
Komplain dari bule mungkin sedikit, nyaris tak ada malah. Tapi, komplain datang malah dari para tour guide. Bukan komplain, tepatnya, sambatan, keluhan. Pariwisata Jogja sedang menurun, dan itu berimbas pada para guide. Dan Basir pun merasakan ini.
“Tahun ini, iya, kerasa. Khusus Jogja emang menurun. Salah satu penyebabnya adalah ada rute baru penerbangan dari Kuala Lumpur ke Surabaya, jadi banyak bule yang langsung ke Surabaya, Bromo, Ijen, lanjut ke Bali, jadi Jogja ke-skip,” terang Basir.
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin
BACA JUGA Kenapa Turis Indonesia Lebih Sibuk Berbelanja dan Berfoto Ria daripada Turis Eropa?
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.