Hingga sekarang, hanya segelintir driver ojol di Jogja generasi pertama yang masih bertahan. Saya beruntung, sempat menjadi pelanggan Puthot Hartanu, mantan ojek untuk mahasiswa UGM yang akhirnya setia 9 tahun jadi driver GoRide Gojek.
Puthot mengantar saya dari Stasiun Tugu Jogja menuju sebuah resto di Jalan Palagan, Sleman. Dengan ramah, di atas Honda Vario 125 keluaran terbaru miliknya, driver ojol senior di Jogja berbagai pengalamannya selama melayani pelanggan.
Sebelum jadi driver ojol, Puthot buka usaha warung kelontong di rumahnya yang terletak dekat UGM. Namun, sembari berjualan, ia juga terdaftar sebagai jasa antar jemput warga UGM.
“Dulunya saya itujasa antar jemput mahasiswa UGM. Sekitar tahun 2011-2015 saat belum ada ojol di Jogja,” tuturnya pada perjalanan (28/2/2024) siang lalu.
Seingatnya, ada sekitar 40 orang yang terdaftar sebagai jasa antar jemput khusus untuk civitas akademika UGM. Biasanya, menjemput mahasiswa dari kos menuju kampus atau sebaliknya.
Saat itu, UGM pernah menerapkan aturan pembatasan akses kendaraan noncivitas akademika untuk masuk kampus. Sehingga, para jasa antar jemput ini dibekali kartu identitas khusus.
“Jadi keberadaan kami memang sepengetahuan pihak keamanan UGM dan Polsek Bulaksumur,” kenangnya.
Pada 2015, saat raksasa aplikasi ojek online Indonesia, Gojek, mulai membuka layanannya di Jogja. Pangkalan jasa antar jemput UGM didatangi, para drivernya pun dapat tawaran untuk bergabung.
“Saat itu daftar ojol ya masih deg-degan Mas. Banyak pro kontra dengan ojek pangkalan. Sampai sekarang pun masih ada itu zona merah di Stasiun Lempuyangan,” kenangnya.
Namun, karena penawaran hasil yang menarik, Puthot pun akhirnya mendaftar. Saat Gojek launching pertama kali di Jogja pada Kamis 16 November 2015 silam, setidaknya ada 200 driver yang tergabung termasuk Puthot.
“Pas, 16 November tahun ini saya sembilan tahun,” ujarnya seperti terharu.
Manis pahit jadi driver ojol generasi pertama di Jogja
Driver ojol sempat jadi profesi yang begitu menjanjikan pada masa-masa awal. Puthot ingat, beberapa kali ia bisa dapat sampai Rp500 ribu sehari. Meski keuntungan kotor, tapi itu jumlah yang lumayan baginya.
Seiring berjalannya waktu, keuntungannya memang perlahan berkurang seiring penyesuaian kebijakan aplikator. “Ya begitulah, terjadi hampir di semua aplikasi, ketika pelanggan sudah banyak pasti ada penyesuaian harga,” tuturnya.
Masa terberat sebagai driver ojol ia alami selama pandemi Covid-19. Orderan menyusut drastis. Maklum, saat itu driver ojol dikategorikan sebagai salah satu kalangan paling rentan terhadap penyebaran virus.
“Ibaratnya kami ini kan palang pintu pertama orang dari rumah sakit dan berbagai tempat. Sulit pokoknya zaman itu,” tuturnya.
Baca halaman selanjutnya…
Ditinggal teman satu per satu, tapi pilih tetap bertahan
Ditinggal teman yang satu-satu perlahan mundur
Saat ini, menurut Puthot, tinggal sedikit driver ojol generasi pertama di Jogja yang masih bertahan. Para driver senior yang masih banyak eksis kebanyakan angkatan 2016/2017.
“Ya pada pindah, macam-macam alasannya. Ada yang naik kelas jadi driver GoCar, ada yang buka usaha, sampai kerja yang lebih menjanjikan,” terangnya.
Namun, Puthot memilih tetap setia sebagai driver ojol. Meski penghasilannya sudah tidak sebanyak saat masa-masa awal, namun menurutnya masih bisa untuk menambal kebutuhan harian.
Selain Puthot, pernah ada driver ojol generasi pertama yang ramai jadi pemberitaan media. Namanya, Bagong Seobardjo. Uniknya, Bagong merupakan driver dengan nomor pendaftaran 001 di Gojek Jogja. Artinya, lelaki yang berlatarbelakang kerja di manajemen kesenian pertunjukan inilah yang paling awal mendaftar.
Para driver ojol hidup di jalanan. Bertemu banyak orang mengoleksi banyak cerita dan kenangan. Mendengar kisah mereka selalu menarik.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel lainnya di Google News