Kata Dori, bagaimana pengguna jalan tidak marah. Jalan Ir. H. Juanda boleh dibilang sebagai titik temu berbagai kalangan. Baik itu mahasiswa UIN Jakarta dan Institut Islam Al-Qur’an (IIQ), maupun para pekerja yang PP Ciputat-Jakarta.
Masalahnya, sudah tahu jalanan tak pernah sepi, infrastruktur yang tersedia pun kurang memadai. Termasuk jalanan yang sempit dan minimnya transportasi publik di sana.
“Pemerintahnya juga aneh, suka ubah-ubah aturan lalu lintas yang jelas-jelas cuma nambah macet. Paling aneh nutup U-Turn di UIN,” jelasnya.
Tak cocok ditinggali orang yang kesabarannya setipis tisu
Alhasil, Dori pun menyebut kalau sebaik-baiknya Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan, ia adalah seburuk-buruknya tempat bagi orang yang nggak sabaran. Mengutip kata dia, “nggak cocok ditinggali orang yang kesabarannya setipis tisu.”
Tak cuma soal macetnya saja. Dori juga menyoroti manusia-manusia yang terjebak di tengah jalanan padat itu.
Termasuk pemotor yang suka nyerobot dan memakan trotoar, hingga angkot-angkot yang berhenti sembarangan. Pendeknya, kata Dori, “sudah tahu macet, tingkah manusianya pun makin nambah macet.”
“Makanya, nggak denger kata-kata ‘anjing’ di jalanan saja udah untung. Karena kalau lagi macet gitu, kayaknya semua orang jadi darah tinggi,” ujarnya.
Ciputat sendiri pernah didaulat sebagai kawasan terpanas di Indonesia–mengalahkan Bekasi yang dicap sebagai “planet lain”. Dori pun menduga, bisa jadi panasnya Ciputat bikin orang-orangnya lebih gampang emosi.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Pahit Kerja di Tanah Abang: 5 Tahun Tak Bisa Mudik, Terjebak dalam Sepinya Lebaran Jakarta atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












