Jalan Tak Terduga Atlet Para-Badminton: Berhasil Mengharumkan Nama Negara Setelah Kehilangan Satu Kaki di Usia Remaja

Ilustrasi - Jalan Tak Terduga Atlet Para-Badminton: Berhasil Mengharumkan Nama Negara Setelah Kehilangan Satu Kaki di Usia Remaja (Mojok.co/Ega Fansuri)

Jalan tak terduga dilalui atlet para-badminton, Wiwin Andri. Kehilangan kaki di usia remaja, ia justru berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia.

***

Sore itu, Rabu (29/10/2025), tribun GOR Manahan Solo belum terlalu penuh. Namun, suara raket sudah bersahut-sahutan sejak pagi, berpadu dengan gemuruh shuttlecock yang jatuh di lantai kayu.

Di tribun, seorang pria bertubuh tegap berjalan menggunakan satu kaki dengan bantuan kruk. Bersamanya, seorang perempuan menuntun dengan sabar.

Nama pria ini Wiwin Andri (30). Ia merupakan atlet para-badminton Indonesia di kelas Wheelchair 2 (WH 2) yang ikut bertanding di Polytron Indonesia Para Badminton International (PIBI) 2025 sore itu. Sementara perempuan yang menemani Andri adalah istrinya.

PIBI 2025 sendiri terselenggara atas kolaborasi Bakti Olahraga Djarum Foundation, Polytron, bersama BWF dan NPC Indonesia. Kejuaraan yang diikuti atlit dari 24 negara berlangsung di GOR Indoor Manahan Solo, 29 Oktober hingga 2 November 2025.

PIBI 2025 mempertandingkan 22 kategori. Meliputi sektor tunggal putra dan putri masing-masing enam kategori, ganda putra empat kategori, ganda putri tiga kategori, dan ganda campuran tiga kategori; dengan klasifikasi WH 1, WH 2, SL 3, SL 4, SU 5 dan SH 6.

WH 2, kelas yang diikuti Wiwin, merupakan kategori untuk pemain dengan disabilitas pada tungkai bawah yang bermain menggunakan kursi roda. Saat saya temui, ia tengah bersiap menghadapi lawannya, Munna Khalid dari India, sekitar pukul tujuh malam.

“Tadi siang lawan Malaysia menang dua set. Nanti malam jam tujuh pertandingan kedua lawan India,” ungkapnya, dengan senyum ramah.

Saya cukup lama mengobrol dengan Wiwin. Pria ini sangat ramah dan penuh gairah bertanding. Namun, tak banyak yang tahu, di balik senyumnya sore itu, sepuluh tahun lalu Wiwin hampir kehilangan arah setelah kecelakaan merenggut kaki kanannya. 

Ia mengaku sempat  frustrasi dan menjalani hari-hari tanpa tujuan, berusaha menerima kenyataan baru yang tidak pernah ia bayangkan. Kini, dalam turnamen yang diselenggarakan Bakti Olahraga Djarum Foundation itu, Wiwin hadir sebagai atlet yang menempuh perjalanan panjang untuk kembali menemukan jati dirinya.

Kecelakaan yang mengubah segalanya

Sebelum tahun 2011, hidup Wiwin sama seperti remaja lain di Palembang. Ia aktif, gemar olahraga, dan banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Namun, di usia 16 tahun, kecelakaan sepeda motor mengubah segalanya.

“Saya kehilangan kaki kanan, jadi difabel sejak saat itu,” kisahnya. 

“Waktu itu, jujur saja sebagai remaja SMA ya, dunia rasanya berhenti. Saya nggak tahu mau ngapain, marah ke diri sendiri juga percuma,” imbuhnya.

Masa pemulihan dari trauma berlangsung lama. Pendek kisah, setelah berdamai dengan keadaan, ia memutuskan pindah ke Jakarta. Di sana, ia mulai belajar menata ulang hidupnya. 

para badminton, wiwin andri.MOJOK.CO
Atlet Para Badminton Indonesia, Wiwin Andri, sedang menjalani persiapan sebelum bertanding menghadapi Munna Khalid asal India. (Mojok.co/Eko Susanto)

Ia mengakui, meski sudah berusaha berdamai, hidup dalam kondisi yang sama sekali berbeda tak pernah mudah. Apalagi di masyarakat, kelompok penyandang disabilitas masih dipandang liyan.

“Tapi dari situ saya belajar, bahwa kalau mau step up, ya saya harus bangkit. Nggak boleh terpuruk terus.”

Pertemuan pertama dengan para-badminton

Jawaban datang beberapa tahun kemudian, pada akhir 2014. Seorang teman mengajaknya menonton latihan para-badminton di sebuah gedung olahraga. Saat itu, ia hanya ingin melihat, tanpa rencana apa pun. Tapi pemandangan di depan mata menggugah minatnya.

“Awalnya cuma nonton, tapi dalam hati saya bilang, kayaknya saya bisa,” ucapnya sambil tersenyum. 

Wiwin sendiri mengaku bahwa sebelum kecelakaan ia sudah aktif bermain badminton. Tapi sekadar hobi saja, bukan profesional. Makanya, ia merasa cukup “lucu” saja kalau jalan hidupnya menjadi atlet badminton justru terjadi saat ia kehilangan kaki.

“Nah itu dia letak lucunya takdir, Mas. Justru saya punya jalan jadi atlet malah saat kaki tinggal satu,” ucapnya sambil tertawa.

Kendati demikian, berlatih badminton dengan menggunakan kursi roda bukan perkara mudah. Ia menjelaskan, kursi roda khusus para-badminton sangat berbeda dengan kursi roda biasa.

Dua roda utamanya dipasang miring ke luar (cambered wheels), biasanya dengan sudut 20-25 derajat. Kemiringan ini dirancang buat memberi keseimbangan saat pemain saat, misalnya, berbelok cepat atau menahan dorongan keras dari lawan. 

Wiwin Andri harus adaptasi ekstra untuk bisa mengoperasikan kursi roda khusus. (Mojok.co/Eko Susanto)

Sementara dii bagian depan terdapat roda kecil (caster) yang menjaga kursi tidak terjungkal saat melaju atau menukik ke depan mengejar shuttlecock. Di sinilah letak perbedaannya, yang kata Wiwin, kursi roda atlet di-setting lebih ramping, ringan, dan disesuaikan dengan postur tubuh atlet.

“Artinya beda atlet, beda kursi roda. Karena satu kursi biasanya sudah di-setting khusus sama postur atlet,” katanya. “Lucunya di situ juga, Mas, jadi sebelum adaptasi sama badmintonnya, saya juga kudu adaptasi sama kursi rodanya juga.”

Alhasil, latihan-latihan awal bukan sekadar mengasah teknik, tapi juga melatih kesabaran. Wiwin mengaku awal memakai kursi roda khusus ini, jatuh sudah menjadi makanan sehari-hari.

“Karena nggak terbiasa, ya sering jatuh. Bahkan awal-awal itu, ketika lagi main di turnamen pun masih jatuh juga.”

Sepuluh tahun perjalanan yang dibayar tuntas

Dari situlah perjalanan panjang Wiwin dimulai. Ia mulai mengikuti turnamen kecil di tingkat daerah, lalu naik ke ajang nasional. 

Tahun 2015, ia menjejak panggung internasional untuk pertama kali di Asian Para Games (APG) Singapura. Ia belum membawa medali, tetapi pengalaman itu menanamkan tekad baru.

“Waktu itu saya kalah di awal, tapi lihat atlet-atlet lain yang semangatnya luar biasa, saya jadi malu sendiri,” ujarnya. “Saya pulang dengan niat: latihan lebih keras lagi.”

Sejak itu, hari-harinya diisi dengan latihan rutin, turnamen, dan jatuh bangun yang tiada habisnya. Ia mengikuti kejuaraan di berbagai negara: Thailand Open, Japan Open, Spain Open.

Tahun 2015 adalah panggung internasional pertama untuk atlet para badminton ini. Yakni di ASEAN Para Games (APG) Singapura. (Mojok.co/Eko Susanto)

Hingga akhirnya, satu dekade setelah kecelakaan yang mengubah hidupnya, Wiwin berdiri di podium tertinggi ASEAN Para Games 2022, yang kala itu diselenggarakan di Solo. Ia berhasil mengibarkan Bendera Merah Putih setelah berhasil meraih medali emas.

“Jujur saja dulu rasanya tidak percaya, Mas. Justru setelah saya hampir kehilangan semuanya, di situ malah saya bisa mengharumkan nama negara di mata dunia.”

Ingin para-badminton lebih banyak dikenal

Setelah 2022, Wiwin tetap aktif bertanding. Ia kembali naik podium di Asian Para Games 2024 di Kamboja dengan raihan medali perak. Kini, ia tengah mengejar poin untuk menuju kualifikasi Paralimpik.

Meski sudah berprestasi, ia sadar perhatian publik terhadap olahraga disabilitas masih minim. 

“Orang cuma tahu waktu kita menang,” ujarnya. “Padahal prosesnya panjang dan nggak gampang. Latihan tiap hari, alat susah, dan nggak semua orang tahu perjuangan di baliknya.”

Wiwin berharap liputan dan dukungan terhadap atlet disabilitas semakin luas. Menurutnya, perjuangan mereka bukan soal mencari simpati, tetapi soal pembuktian. 

Menjelang malam, Wiwin bersiap turun ke lapangan. Di pinggir tribun, sang istri masih duduk, menatapnya dengan mata penuh doa. Pertandingan berlangsung ketat. Setelah tiga gim, Wiwin akhirnya menang tipis atas atlet India, Munna Khalid: 18-21, 21-14, 23-21.

Begitu pertandingan usai, ia tersenyum, melambaikan tangan ke arah tribun, lalu menatap istrinya sebentar. Tak ada selebrasi berlebihan, hanya rasa lega yang sulit disembunyikan.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Naik Level! 24 Negara Ikut Indonesia Para Badminton International 2025 di Solo atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version