Saat sebagian orang sibuk merayakan pergantian tahun baru bersama keluarga maupun teman, perasaan kesepian bisa jadi muncul di tengah hiruk pikuk tersebut. Sebuah survei dari Amerika Serikat menyatakan kesepian banyak dialami Gen Z. Dampaknya bisa memengaruhi psikologis dan mengganggu aktivitas sehari-hari.
Bagi pembaca yang merasakan gejala kesepian sampai depresi dengan kecenderungan berupa pemikiran untuk bunuh diri, segera konsultasikan ke pihak-pihak yang dapat membantu seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental.
***
Adril (21) merasa tidak ada yang istimewa menjelang pergantian tahun. Baginya, tahun baru hanyalah istilah dari 2024 ke 2025. Tidak ada makna khusus yang membuatnya bahagia.
Mahasiswa akhir di Universitas Airlangga (Unair) itu mengaku tetap kesepian di kosannya. Dia tidak mau membuat resolusi yang muluk-muluk. Seperti lirik lagu Cincin karya Hindia, semoga hidup kita terus begini-gini saja, katanya.
“Aku 2023 ke 2024 malah sendirian di kos waktu di Surabaya. Nah itu aku merayakannya dengan tidur dan nugas,” kata Adril kepada Mojok pada Jumat (27/12/2024).
Adril sudah hampir empat tahun merantau di Surabaya. Pemuda asal Nganjuk itu mengaku ada perasaan kosong saat sedang sendiri. Sementara dia ingin menceritakan keluh kesahnya, tapi tidak tahu kepada siapa.
Merujuk pada jurnal Loneliness Matters: a Theoretical and Empirical Review of Consequences and Mechanisms, Louise C Hawkley dan John T Caioppo menjelaskan kesepian adalah kebutuhan emosional yang dimiliki individu. Di mana mereka menginginkan kebersamaan dan rasa terhubung dengan orang lain.
Gen Z tak punya tempat berkeluh kesah
Lagi-lagi, tidak ada yang istimewa bagi Adril untuk menyambut tahun baru. Masih sama seperti malam-malam sebelumnya, Adril mengaku sering khawatir perihal hidup. Soal masa depannya nanti, akan bekerja apa dia setalah lulus? Bagaimana caranya membantu kebutuhan keluarga, termasuk bertahan hidup?
Pikirannya sering kalut di atas jam 00.00 WIB. Kalau kata generasi Z alias gen Z seperti dirinya, itu adalah jam-jam rawan overthinking. Di saat itu juga dia merasa kesepian. Tidak ada tempat untuk bercerita.
“Walaupun sebetulnya masih ada banyak teman yang mendengarkan kisah curhatan dan sebagainya, cuman someone to talk yang benar-benar aku maksud ini ya orang benar-benar mau mendengarkan semua keluh kesahku,” ujarnya.
Bahkan, Adril mengaku sering kali kesulitan saat ingin menceritakan masalahnya kepada teman-temannya. Dia takut dianggap lemah sebagai anak laki-laki. Sebab pandangan bahwa laki-laki tidak bercerita itu nyata di sekitarnya.
“Jadi ya, aku merasa buat apa curhat ke teman? Lebih baik dipendam sendiri saja,” ujar Adril pada akhirnya.
Kepala Sub Instalasi Promosi Kesehatan Rumah Sakit Jiwa Radjiman Wediodiningrat, Noerul Ikmar, mengatakan ada konstruksi gender di masyarakat bahwa laki-laki dianggap lemah bahkan tidak jantan ketika mengekspresikan emosinya.
“Keadaan ini dapat menjadi bibit munculnya toxic masculinity,” kata Noerul dikutip dari laman resmi Kementerian Kesehatan RS Radjiman Wediodiningrat pada Jumat (27/12/2024).
Noerul menjelaskan kalau toxic masculinity dapat membuat laki-laki merasa takut dan berusaha menutup diri dari lingkungan sekitar, bahkan bisa menjadi trauma yang berkepanjangan. Pada akhirnya, mereka dituntut untuk tegar bagaimanapun kondisinya.
Gen Z lebih banyak alami kesepian
Perasaan kesepian tak hanya dirasakan oleh Adril. Sebuah perusahaan penyedia layanan telemedis dan farmasi di Amerika Serikat, RedBox Rx melaporkan ada 53 persen generasi Z yang mengaku kesepian.
Jumlah itu lebih banyak dibandingkan generasi X yang hanya 43 persen, boomers yang hanya 29 persen, dan pre-boomers yang hanya 17 persen. Laporannya terangkum dalam “2024 Mental Health Survey”. Di mana ada 2.208 orang dewasa di Amerika Serikat yang mereka wawancarai sejak 15-17 Desember 2023.
Sementara itu, Psikolog Herdiana Muktikanti menjelaskan generasi muda yang lahir di era teknologi lebih rentan mengalami kesepian. Sebab, generasi tersebut alias Gen Z lebih aktif bermain media sosial guna mengimbangi kebutuhan sosialnya di masyarakat.
“Para generasi muda lebih banyak menghabiskan waktu screen time dibandingkan dengan people time,” ujar Herdiana seperti dikutip dalam laman resmi Informasi dan Komunikasi Direktorat Kemahasiswaan Institute Teknologi Bandung (ITB) pada Jumat (27/12/2024).
Gen Z menganggap jumlah likes, komentar, dan followers di media sosial adalah bentuk kedekatan relasi. Padahal, persepsi itu tidak tepat dan justru menyebabkan seseorang kehilangan waktu berelasi secara nyata dengan orang sekitar. Media sosial juga cenderung menunjukkan kebahagiaan mereka. Tak terkecuali pada tahun baru nanti.
Keluar dari “pandemi” kesepian
Biasanya untuk mengatasi perasaan kesepian, Adril lebih memilih tidur atau bermain game di ponsel genggamnya. Kadang-kadang, dia juga mengajak temannya ngopi di angkringan. Meskipun, solusi itu juga tidak mengatasi masalahnya.
Menurut Adril, dia masih bisa mengatasi perasaan kesepiannya. Jadi tidak perlu sampai konsultasi ke psikolog. Selain mahal, Adril merasa masih ada tempat murah yang bisa dijadikan untuk merenung.
“Toh ada yang lebih murah, seringnya ya di kursi Indomaret ketimbang layanan psikolog,” kata Adril.
Sementara itu, Herdiana mengatakan langkah awal untuk mengatasi kesepian adalah menyadari bahwa dirinya sedang kesepian. Sebab, itu menjadi “alarm” diri untuk berubah. Di mana, dirinya membutuhkan hubungan yang berkualitas bersama orang lain.
“Saat merasakan kesepian itu artinya tubuh memberikan tanda bahwa kita harus mulai membangun relasi dengan kualitas yang baik,” kata dia.
Selain itu, seseorang yang merasa kesepian harus mengubah cara pikirnya memandang dunia dan orang lain. Misalnya dengan berpikir bahwa selama ini orang lain tidak pernah menolak Anda.
Serta, tidak terlalu berpikir berlebihan tentang bagaimana seharusnya Anda bisa diterima di lingkungan tersebut. Cobalah mulai dari hal-hal kecil seperti menyapa tetangga, bertanya kabar kepada teman dekat atau kerabat lama.
Selain itu, Herdiana mengusulkan agar masyarakat khususnya Gen Z lebih bijak menggunakan media sosial. Bangunlah kualitas hubungan yang baik dengan orang-orang yang mempunyai passion yang sama.
Terakhir, carilah pertolongan dengan bercerita ke orang-orang yang dapat kamu percaya. Atau mencari profesional saat perasaan kesepian mulai mengganggu aktivitasmu.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Kisah Pilu Mahasiswa Kesepian, Menangis dalam Kesendirian dan Ditinggalkan Teman
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News