Tak ingin kondisi mentalnya terganggu karena bos yang toxic, beberapa orang memilih untuk resign atau keluar dari pekerjaan. Beberapa yang lainnya memilih untuk bertahan karena hidup tanpa pekerjaan adalah sesuatu yang berat.
***
Hujan rintik-rintik di Jumat malam, 19 Januari 2024 mempertemukan saya dengan Reza (31) di sebuah kafe kopi di bilangan Jalan Palagan, Sleman, Yogyakarta. Reza mewanti-wanti saya untuk menyembunyikan nama aslinya karena menjaga perasaan teman-temannya.
Resign karena bos yang toxic dan intervensi pekerjaan
Sekitar dua minggu yang lalu ia akhirnya memutuskan resign dari pekerjaannya sebagai salah satu produser di sebuah production house di Yogyakarta. “Aku gabung baru Februari 2023, secara gaji tinggi untuk ukuran Jogja, tapi aku sudah nggak tahan,” katanya.
Perusahaan tempatnya bekerja mengelola beberapa channel YouTube dengan subscriber di atas 1 juta. Tugasnya sebagai produser adalah mengonsep konten dari pra-produksi hingga pasca-produksi. “Yang buat jengkel awalnya karena apa yang saya rencanakan bos selalu intervensi tanpa komunikasi lebih dulu,” katanya.
Misalnya saja, tanpa konfirmasi pada dirinya sebagai pihak yang bertanggungjawab, bos sekaligus pemilik usaha itu meminta tim editing untuk mengedit video sesuai kemauannya. Padahal tanggung jawab itu harusnya pada diri Reza sebagai produser.
Lebih dari itu, yang membuatnya overthinking dan mulai berpikir dirinya tidak kompeten adalah omongan bos di belakangnya. “Dia bilang ke karyawan lain kalau hasil editing saya jelek. Padahal kalau diomongin langsung ke saya kan lebih enak. Kalau diam-diam, kan saya malah jadi kepikiran,” kata Reza.
Banyak hal lain yang menurut Reza menilai atasan sekaligus pemilik usaha tersebut toxic. Kejadian itu terus berulang selama berbulan-bulan, Reza memutuskan untuk resign. Ia tidak ingin mentalnya justru terganggu karena menghadapi bos yang toxic di tempat kerja.
Berani resign meski istri sedang hamil
Keputusannya resign tergolong berani karena istrinya dalam kondisi mengandung 6 bulan yang merupakan anak pertamanya.
“Saya sudah mantapkan sih untuk mundur, kalau soal rezeki, yakin saja ada,” kata Reza. Ia tidak mau setiap hari justru kepikiran dengan apa yang bosnya lakukan padanya.
Kebutuhan sehari-hari ia tutupi sebagai freelance editor video wedding. Di sisi lain, ia kembali menekuni cita-citanya untuk serius menekuni dunia film.
Dalam sebuah kesempatan lainnya saya bertamu dengan Olga (28) yang akhirnya memutuskan keluar dari pekerjaannya di Jakarta di sebuah agensi kreatif. Ia tidak kuat dengan karakter bosnya yang selalu berkata kasar pada anak buahnya, termasuk dirinya.
“Kasar banget omongannya, sukanya maki-maki karyawan. Takut lah kalau ketemu dia di kantor,” katanya. Kadang atasannya juga sengaja menciptakan konflik antar-karyawan.
Awalnya ia mencoba bertahan karena bekerja di sebuah perusahaan besar adalah cita-citanya. Selain itu, ia masih menghadapi pikiran, kalau resign maka ia akan mulai dari nol lagi.
Ia tahu teman-temannya di tempat kerja juga merasakan hal yang sama. Namun, padatnya pekerjaan dan tuntutan kebutuhan sehari-hari membuat dirinya dan teman-temannya mengabaikan pikiran yang timbul tenggelam untuk resign.
Kena psikosomatis karena bos yang kasar
Dokter juga mendiagnosisnya kena psikosomatis, yaitu suatu kondisi yang menggambarkan saat munculnya penyakit fisik yang diduga disebabkan atau diperparah oleh kondisi mental. “Jantung berdebar-debar, nyeri kepala, sesak napas, susah tidur, tidak nafsu makan itu alami,” kata Olga.
Puncaknya saat kondisi mentalnya itu juga berpengaruh pada fisiknya. Ia kena tipes. Titik itu menurutnya jadi waktu yang tepat untuk resign dan keluar dari bos yang toxic.
“Orang tua juga mendukung keputusanku. Mereka minta aku pulang ke Jogja dan bantu usaha mereka. Tapi selain itu juga mengambil beberapa pekerjaan freelance,” kata Olga.
Cerita Olga, mirip yang Herta (27) alami. Sudah setahun ini ia menjadi karyawan di sebuah startup asal Jepang. Ia kebetulan bekerja di kantor yang ada di Jogja. Herta bahkan sampai menilai dirinya nggak berharga sebagai manusia.
Salah seorang atasan selalu menekan dan mengkritiknya di depan karyawan lain. Padahal ia termasuk karyawan baru yang butuh pendampingan.
Situasi semakin buruk karena ada sebagian karyawan lain yang menurutnya juga toxic. “Mereka selalu ngomong manis di depan kita, tapi pas nggak ada, omongannya kejam,” kata Herta saat ngobrol di warung makan di kawasan Jalan Magelang.
Selamat dari bos beracun karena pindah divisi
Ia sudah menyiapkan surat untuk resign sampai kemudian atasan lain di tempatnya bekerja “menyelamatkannya”. “Atasanku yang lain memindah aku ke divisi yang tidak mengharuskan ketemu dengan atasan satunya yang toxic dan kerjanya tak menuntut sering berkomunikasi dengan teman-teman yang toxic,” katanya tertawa.
Soal atasan dan lingkungan toxic, Herta sebenarnya pernah mengalaminya. Bahkan kondisinya lebih parah dari kantornya yang sekarang. Ia bahkan langganan ke psikolog dan psikiater karena kondisinya mentalnya yang terganggu.
Ia saat itu memilih bertahan karena ia membayangkan hidup tanpa pekerjaan juga akan lebih berat dari sekadar menghadapi atasan yang toxic.
“Tapi, pas pandemi kan WFH ya, nah itu titik aku merenung. Kalau aku terus kerja dengan atasan dan lingkungan kerja yang toxic, kondisi mentalku nggak akan membaik dan aku juga dari sisi karier mungkin nggak berkembang. Aku akhirnya memutuskan resign,” kata Herta.
Mengutip Tempo.co, soal atasan yang toxic ternyata banyak terjadi di organisasi di seluruh dunia. Seorang profesor dari Universitas Johannesburg di Afrika Selatan menunjukkan sekitar tiga dari 10 pemimpin itu toxic. Universitas Manchester pernah melakukan studi kepada 1.200 orang, hasilnya riset tersebut menemukan efek kepemimpinan yang beracun adalah penindasan di tempat kerja, perilaku kerja kontraproduktif, ketidakpuasan kerja, ketegangan psikologis, serta depresi dan kelelahan.
Resign karena bos toxic adalah pilihan terakhir
Namun, pilihan untuk resign ketika menghadapi bos yang toxic sebaiknya menjadi pilihan terakhir. Mengutip The Muse yag dilansir Kompas.com, resign di waktu yang tepat karena atasan yang toxic sebaiknya jika sudah kehabisan opsi lain untuk merasa nyaman dan tenang dalam bekerja.
Selain itu, keluar dari tempat kerja karena atasan yang toxic setelah sebelumnya melakukan beberapa upaya terlebih dulu. Misalnya, memberi tahu atasan yang toxic secara lugas. Langkah lain adalah memahami (bukan memaafkan) dari setiap perilaku toxic bos atau atasan. Langkah lain adalah bisa berkonsultasi dengan divisi lain atau orang dengan jabatan lebih tinggi di tempat kerja.
Jika tidak ada opsi lain resign adalah pilihan. Namun, sebaiknya tidak terburu-buru keluar dari pekerjaan sebelum mendapat tempat kerja baru.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammm Izzuddin
BACA JUGA Derita Fresh Graduate yang Kerja: Kami Nggak Manja dan Lebai, Kami Itu Capek!
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News