Program perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), atau bedah rumah, memberi napas baru bagi warga miskin Jogja seperti Eny dan Wasirah. Dari rumah bocor, kini mereka memiliki ruang aman dan sehat untuk hidup kembali.
***
Pagi itu, Minggu (26/10/2025), suara palu memecah keheningan di Kampung Prawirodirjan, Kelurahan Prawirodirjan, Kemantren Gondomanan, Jogja. Beberapa pekerja tampak memindahkan tumpukan batako ke depan rumah kecil yang berdiri di gang sempit.
Di antara mereka, Eny Widiastuty berdiri dengan mata berbinar. Ia menatap pondasi rumah barunya yang mulai terbentuk.
Rumah lama Eny, dulunya memang hampir roboh. Dindingnya saja dari papan lapuk. Atap juga bocor di banyak sisi, sementara lantainya cuma plesteran semen lembap yang menebarkan aroma apek tiap kali hujan turun.
“Malah kalau hujan besar, aduh ini airnya sampai masuk-masuk, Mas,” katanya, ketika ditemui Mojok.
Hari itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun hidup dalam keterbatasan itu, akhirnya Eny merasa lega. Rumah barunya itu dibangun melalui program perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (RLTH) alias bedah rumah dari Pemerintah Kota (Pemkot) Jogja.
“Saya awalnya nggak nyangka bisa dapat bantuan. Dulu cuma bisa pasrah karena nggak punya biaya buat perbaikan.”
Hidup di rumah reyot bersama anak yang putus sekolah
Eny sudah lama hidup dalam keterbatasan. Ia seorang janda yang sehari-harinya bekerja serabutan. Apa saja dilakukan demi menambah penghasilan.

Kendati demikian, penghasilannya memang tak menentu. Kadang cuma cukup untuk membeli beras, kadang juga malah tak terbeli.
“Boro-boro mau renov rumah, beli beras saja kadang masih susah,” ungkapnya.
Eny juga bercerita, anaknya bahkan sempat putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan.
“Waktu itu saya cuma bisa pasrah. Tapi alhamdulillah, sekarang dia bisa lulus lewat kejar paket,” kata Eny.
Kehidupan mereka berjalan seadanya. Setiap musim hujan, ember-ember plastik berjejer di lantai untuk menampung air dari atap bocor. Bila angin kencang datang, dinding bahkan bergoyang hebat hingga Eny takut rumah itu akan benar-benar roboh. Kini, pondasi rumah permanen mulai berdiri di tanah kecil itu.
“Biar sederhana, yang penting nggak bocor lagi,” katanya sambil tersenyum.
Belum pernah renovasi setelah gempa Jogja
Cerita serupa juga datang dari Wasirah, lansia 65 tahun asal Kecamatan Umbulharjo. Ia masih ingat betul pagi kelabu pada Mei 2006, ketika gempa besar mengguncang Jogja.
Kala itu, rumahnya runtuh sebagian. Dinding retak, dan genting saling berjatuhan. Setelah itu, hidupnya tak pernah sama.
Selama hampir dua puluh tahun, ia dan keluarganya tinggal di rumah yang nyaris roboh. Tiap malam, angin masuk dari sela-sela dinding. Bila hujan turun, air mengalir ke ruang tamu.
“Dulu, Mas, tidur aja pernah harus geser-geser kasur biar nggak kena air,” ujarnya sambil tertawa getir.
Wasirah sempat berencana memperbaiki rumah, tapi penghasilannya dari menjual jajanan di pasar tak pernah cukup. Anak-anaknya pun kini bekerja serabutan dan belum mampu membantu banyak.
Hingga akhirnya, pada September 2025 lalu, ia mendapat kabar bahwa rumahnya masuk daftar penerima bantuan RTLH atau bedah rumah.
“Saya nggak bisa ngomong apa-apa waktu itu, Mas. Cuma bisa bersyukur,” ujarnya.
Rumah yang layak berkesinambungan dengan kesehatan warga
Program perbaikan RTLH sudah berjalan beberapa tahun terakhir di Kota Jogja. Tujuannya sederhana, yakni memastikan setiap warga, terutama berpenghasilan rendah, lansia, dan pensiunan, memiliki hunian yang layak, sehat, dan aman.
Wali Kota Yogyakarta Hasto Wardoyo menegaskan bahwa perbaikan rumah bukan hanya soal kenyamanan, tetapi juga kesehatan masyarakat.
“Rumah yang tidak layak, seperti atap bocor dan dinding lembap, bisa menjadi sumber penyakit menular. Salah satunya TBC,” ujarnya.
Menurut Hasto, lingkungan kumuh menjadi akar dari banyak masalah kesehatan.
“Stunting itu 70 persen sumber pengaruhnya dari lingkungan yang tidak sehat. Maka, penyelesaian lingkungan kumuh juga bagian dari pencegahan stunting,” katanya.
Dalam pandangan pemerintah kota, memperbaiki rumah berarti memperbaiki kualitas hidup warga. Rumah yang bersih dan terang bukan hanya membuat penghuninya sehat, tapi juga menumbuhkan rasa percaya diri dan semangat untuk bekerja lebih baik.
Program bedah rumah dalam angka
Berdasarkan data dari Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (DPUPKP) Kota Yogyakarta, hingga akhir 2024 terdapat 1.627 unit rumah tidak layak huni di wilayah Kota Jogja. Pemerintah setempat mengklaim jumlah itu terus menurun sejak pertengahan 2025.
Untuk terus menekan angka tersebut, Pemkot menargetkan 100 unit rumah diperbaiki hingga akhir 2025. Hingga September ini saja, misalnya, 39 unit telah rampung direhabilitasi. Sisanya masih dalam proses pengerjaan bertahap di 14 kemantren yang ada di Kota Jogja.
Program ini menggunakan dana APBD Kota Jogja dengan dukungan CSR dan swadaya warga sekitar melalui semangat gotong royong. Pemerintah menanggung material utama seperti semen, genting, dan besi, sementara warga berpartisipasi lewat tenaga dan bantuan logistik.
“Program ini menjadi bukti bahwa gotong royong masih menjadi kekuatan utama warga Kota Yogyakarta. Tidak hanya pemerintah, tetapi juga kemantren, kelurahan, dan warga turut berperan aktif,” ungkap Hasto Wardoyo.
Pernyataan itu bukan sekadar formalitas. Di banyak kampung, pembangunan rumah warga miskin sering berubah menjadi kegiatan bersama.
Misalnya, tetangga Wasirah dan Eny juga ikut membantu menyiapkan adonan semen, sedangkan pemuda kampung bergantian mengangkat bata. Bahkan ada juga ibu-ibu yang menyiapkan makanan untuk para pekerja.
Pembangunan rumah, dalam konteks ini, menjadi simbol kebersamaan sosial yang masih hidup di tengah kota yang makin padat.
Program bedah rumah menumbuhkan harapan baru
Sore mulai turun di Prawirodirjan. Eny duduk di depan rumah barunya yang masih beraroma semen. Di sudut ruang tamu, beberapa kardus berisi perabot lama tertata rapi. Ia belum sempat menata semuanya, tapi wajahnya memancarkan kegembiraan.
Di Umbulharjo, Wasirah melakukan hal serupa. Ia kini bisa tidur tenang tanpa takut hujan. Ia juga bercerita anaknya mulai mengecat dinding ruang agar lebih segar, katanya.
“Biar kelihatan terang dan adem,” katanya.
Program bedah rumah ini mungkin tidak mengubah hidup warga seketika. Namun, dari rumah sederhana itulah, harapan tumbuh kembali. Pelan-pelan, tapi nyata.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Lansia di Kota Jogja Butuh Berkegiatan untuk Tetap Bugar dan Produktif, Sekolah Lansia Menjadi Jawabannya atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan