Sejak diresmikan Presiden Jokowi sebagai bandar udara komersial pada 2021, Bandara Ngloram di Cepu, Blora, justru malah sepi bagai kuburan. Proyek yang memakan anggaran hingga Rp132 miliar ini nyaris tak berfungsi, tak punya dampak positif di aspek ekonomi, dan malah cuma merugikan petani.
Padahal, baik presiden maupun Bupati Blora, Arief Rohman–yang menghadiri peresmian–berharap Bandara Ngloram dapat mengangkat perekonomian warga sekitar. Terutama dalam hal investasi serta distribusi barang ke Cepu dan Bojonegoro dari provinsi-provinsi lain.
Nyatanya, tiga tahun setelah diresmikan, bandara ini tak menunjukkan geliat sebagaimana mestinya. Pada Minggu (15/9/2024) lalu, reporter Mojok mendatangi satu-satunya bandara di Blora tersebut.
Jalanan menuju bandara amat lengang. Sepanjang berkendara, kami hanya menemui beberapa motor dan mobil yang melintas. Padahal, saat itu sedang terjadi momen libur panjang dan bandara-bandara di kota lain sedang sibuk-sibuknya.
Saat memasuki jalur utama menuju bandara, kami menyaksikan bahwa akses masuk dikunci. Tempat tersebut seolah terlarang buat dimasuki orang luar. Saya bahkan sempat berpikir kami salah jalan masuk.
Namun, di tengah kebingungan kami, untungnya ada Aldi (bukan nama sebenarnya), salah seorang petugas Bandara Ngloram yang saat itu tengah menikmati sorenya di rumah.
Aldi sendiri merupakan pekerja asal Solo. Ia tinggal di “rumah dinas” yang memang disediakan pihak bandara bagi para pekerjanya. Lokasinya tepat berada di depan bandara.
“Sabtu, Minggu, sama tanggal merah memang kami libur, Mas,” jelasnya. “Ya, gimana, Mas. Memang begini kondisinya. Sepi, nggak ada aktivitas apa-apa,” sambungnya.
Saking sepinya, petugas Bandara Ngloram nggak ngapa-ngapain
Sebagai informasi, Bandara Ngloram sebenarnya pertama kali dibangun pada 1978 dan beroperasi antara 1980-1984 sebagai bandara khusus melayani penerbangan pertambangan minyak Blok Cepu.
Sempat mati, pada 2021 lalu ia kembali diaktifkan untuk melayani penerbangan komersial dari Blora ke berbagai wilayah. Proyek pembangunannya sendiri termasuk perluasan area dan pembangunan terminal penumpang seluas 3.526 meter persegi, yang diklaim berkapasitas 210.000 penumpang per tahun.
Sayangnya, jangankan dua ratus ribu penumpang per tahun, Aldi sendiri mengaku lupa kapan terakhir mereka melayani penerbangan. Seingatnya, terakhir kali mereka melayani penerbangan komersial adalah akhir 2021 lalu; jalur Jakarta-Blora via maskapai Citilink.
“Tapi abis itu nggak ada lagi. Bisa dibilang itu satu-satunya maskapai di sini,” terangnya.
“Sisanya biasanya kami melayani carteran aja. Misal kalau ada pejabat datang, via pesawat pribadi. Tapi itu pun juga jarang, saya pun lupa kapan terakhir melayani.”
Aldi juga menjelaskan, memang sejak 2023 lalu Bandara Ngloram mulai melayani penerbangan feeder untuk jamaah umroh. Namun, sekarang belum ada lagi.
“Jadi ya begini-begini aja petugas bandara kayak kami di sini, Sabtu-Minggu bisa santai karena bandara libur. Tapi kalau pun masuk ya kami nggak ngapa-ngapain karena memang tak ada kegiatan,” ungkap Aldi.
“Ngepel, nyapu, kalau bosan ya nyabutin rumput, Mas,” guraunya, sambil tertawa.
Bukan ramai penumpang, malah jadi rumah bagi tikus-tikus
Mengingat tak ada petugas lain di bandara yang bisa ditemui, Mojok pun berlanjut menyisir area dan menemui Ali Sanjaya. Ia merupakan petani yang memiliki sawah di sekitaran Bandara Ngloram.
Tiap hari, Ali dan banyak petani lain harus kucing-kucingan dengan petugas bandara buat memasuki sawah mereka sendiri. Sebab, akses menuju sawah terblok oleh jalan masuk bandara yang membelah area persawahan.
“Sawah saya kan di tengah-tengah, Mas, jadi harus pakai motor dulu. Ditinggal di samping jalan, terus kaminya mbludus dari celah-celah pagar,” kata Ali, menjelaskan caranya masuk ke sawahnya sendiri.
Saya pikir, itu satu-satunya kerepotan yang dialami para petani sendiri. Ternyata, Ali mengaku ada masalah lain yang para petani rasakan sejak bandara dibangun, yakni tikus.
Menurut Ali, sejak bandara dibangun, hama tikus makin sulit petani basmi. Alasannya, kawanan hewan pengerat itu sembunyi dan berkembang biak di celah sempit bawah jalan utama Bandara Ngloram yang berada luar jangkauan mereka.
“Kalau dulu, ada tikus gampang kami usirnya. Masih mudah dibasmi,” katanya. “Sekarang tikus-tikus itu lari ke bawah beton jalan, Mas, pada beranak pinak di sana. Susah kami ngatasinnya.”
Ali pun sangat menyayangkan hal ini, sebab dahulu petani sekitar mengusulkan agar jalan dibangun melayang di atas persawahan. Nyatanya, aspirasi mereka tak diterima dan hasilnya, kini yang ada malah petani menanggung deritanya.
“Dulu pas dibangun, mungkin maksudnya biar ramai. Biar ekonomi maju. Tapi ya selama ini gini-gini aja, Mas, wong bandaranya sepi. Nggak ada dampak apa-apa, malah kami yang makin susah,” tukasnya.
Warga Blora tak butuh bandara, tapi jalan yang bagus
Pengamat Kebijakan Publik, Antony Bachtiar, sebenarnya sudah lama melihat bahwa pembangunan Bandara Ngloram untuk komersial memang kurang penting. Pada 2018, Tony, sapaan akrabnya, dilibatkan dalam proses pembangunan bandara. Ia beberapa kali dimintai masukan dalam hal kapasitasnya sebagai akademisi Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah (STAIM) Blora.
Menurut Tony, Blora belum memenuhi berbagai aspek atau urgensi untuk membangun bandara komersial. Sebab, sebagai sebuah kawasan, baginya Blora belum punya nilai jual.
“Ingin jadi kota industri, Blora tak bisa. Untuk jadi kota pariwisata pun tak punya objek wisata. Makanya, Blora ini tak jelas. Kebijakan pemerintah daerahnya bahkan sering terombang-ambing, cuma mengikuti kota-kota yang mengelilinginya tapi tak pernah berhasil,” ujarnya, saat Mojok temui Sabtu (14/9/2024).
“Sederhananya begini, orang-orang itu naik pesawat mahal-mahal ke Blora mau cari apa? Kerja nggak, buat berwisata pun juga nggak,” sambungnya.
Selain itu, sebagian besar warga Blora juga masih hidup dalam garis kemiskinan. Dengan demikian, menurut Tony pembangunan pun harus berorientasi untuk mempermudah akses mereka dalam memenuhi kebutuhan harian.
“Orang Blora itu butuhnya jalan yang bagus, transportasi publik darat yang mumpuni. Kalau sudah begitu, mereka enak sehari-hari buat mobile mencari uang,” jelasnya.
“Kok tiba-tiba bangun bandara. Kalau warganya saja masih kesulitan secara ekonomi, lantas siapa yang mau naik pesawat. Makanya lebih penting benahi dulu infrastruktur yang dibutuhkan warga.”
Mojok juga menemui Laman (41), salah seorang warga Blora. Sebagai warga asli, Laman mengaku terkejut ketika melihat Bandara Ngloram kembali dibangun. Baginya, itu tak lebih dari cara pemerintah memoles rupa dengan membangun monumen besar tapi tanpa memikirkan dampaknya bagi warga.
“Bagi mereka yang penting kan bikin bangunan gede-gede. Berhasil nggaknya pikir belakangan. Kami warga Blora udah nggak kaget lagi sama proyek mangkrak,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA Bandara Ngloram di Kecamatan Cepu Blora Dipaksa Mati Suri Berkali-kali
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News