“Jakarta seperti magnet buat orang-orang yang mau mengejar mimpi. Entah itu soal karier, bisnis, atau sekadar mencari pengalaman baru,” kata Maulia (23), perempuan asal Surabaya yang pernah tinggal di Jakarta.
Maulia atau yang akrab dipanggil Maul pertama kali menginjakkan kakinya di Jakarta pada tahun 2017 sekadar untuk jalan-jalan. 6 tahun kemudian, ia baru mendapatkan kesempatan magang di salah satu perusahaan media dan hampir bekerja selama beberapa bulan di sana.
Selama dua tahun tinggal di Jakarta, Maul merasa kehidupan Jakarta tak pernah mati, sama seperti Surabaya. Lampu-lampu kendaraan yang selalu menyorot mata di malam hari, kelap-kelip cahaya dari gedung-gedung tinggi, suara klakson yang memekakan telinga, dan jalanan yang dipenuhi lautan manusia.
Namun, kata Maul, Surabaya seolah masih punya jam tidur ketimbang Jakarta. Setidaknya, saat tengah malam atau di atas jam tersebut, suasana di Kota Pahlawan masih terlihat lengang. Bahkan, kita masih bisa menikmati suasana malam dengan sepeda motor dan berputar-putar tanpa arah.
“Di Jakarta nggak begitu. Rame banget! Selalu,” kata Maul.
Hustle life di Jakarta itu nyata
Para pendatang di Jakarta memiliki latar belakang yang lebih beragam. Namun, meski berbeda suku, ras, dan agama tapi tujuan mereka tetap sama, yakni mengadu nasib dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik.
“Dengan niat mencari rezeki, mereka akhirnya tidak ingin gagal atau tidak ingin pulang ke kampung halaman tanpa hasil. Jadi nggak salah kalau mereka dituntut kerja lebih keras di sana. Lama-lama, hati juga ikut mengeras sampai mati rasa dengan hustle life seperti itu,” tutur Maul.
Senada dengan Maul, Elyza (21) yang pernah satu tahun tinggal di Jakarta berujar jika kehidupan di Kota Megapolitan tersebut memang keras. Ia merasa orang-orang seperti bekerja selama 24 jam, karena suasana kotanya yang tak pernah sepi.
“Orang-orang sudah siap kerja dari subuh dan berangkat pakai commuter line. Perawakannya sudah macam zombie. Sedangkan kalau di Surabaya tidak begitu, sekitar jam 23.00 WIB ke atas biasanya sudah mulai sepi,” tutur perempuan asal Surabaya itu.
Belum ada yang menandingi Surabaya
Padatnya Kota Jakarta tak terlepas dari fenomena urbanisasi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperkirakan jumlah pendatang baru di Jakarta tahun 2025 sekitar 10 ribu sampai 15 ribu orang. Meski pun jumlahnya terus turun dari tiga tahun terakhir, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung tetap membuka peluang luas bagi mereka yang ingin mengadu nasibnya ke ibu kota.
Ia menjelaskan, salah satu penyebab penurunan terjadi karena rencana pemindahan ibu kota negara ke Ibu Kota Nusantara atau IKN yang terletak di Kalimantan Timur. Para perantau pun tak lagi memusatkan hati di Jakarta, tapi tersebar merata ke kota lain.
“Sekarang ini pemerataan pembangunan tidak hanya terpusat di Jakarta, juga terjadi di mana-mana,” ujar Pramono dikutip dari laman resmi RRI, Rabu (9/4/2025).
Belum ada yang menandingi panasnya Surabaya
Tak pelak, hiruk-pikuk Kota Jakarta membuat Elyza maupun Maulia sering kelelahan secara fisik maupun mental. Lebih-lebih saat terjebak macet. Rasanya, energi mereka langsung terkuras habis.
“Sangking suntuknya dengan hustlelife di sana, terkadang aku butuh waktu sendiri sambil mengisi energi,” ujar Maulia.
Masalahnya, Maul lebih suka ke wisata alam untuk menghilangkan penat. Sedangkan, Jakarta jauh dari ekspetasi itu bahkan sekadar taman-taman kota saja jarang terlihat. Oleh karena itu, Maul memilih solusi dengan berjalan-jalan di tempat ramai seperti pasar.
Khususnya pasar yang tidak pernah dia datangi sebelumnya. Di sanalah, Maul merasa tak ada orang lain yang mengenalnya secara pribadi. Namun, dari sana pula ia bisa bertemu dengan orang-orang baru.
“Bertemu dan berbincang dengan orang yang nggak aku kenal bisa membuatkan menemukan cerita-cerita hidup yang menarik dan memotivasi,” ujarnya.
Lagi-lagi, Elyza sepakat dengan Maul. Ia berujar taman kota di Surabaya lebih banyak dijumpai dan sering dikunjungi oleh warga ketimbang di Jakarta. Bahkan, kota yang sempat menempati posisi pertama dengan tingkat polusi terburuk di dunia itu terasa pengap.
“Pertama kali datang ke Jakarta aku langsung sakit panas dalam dan batuk. Akhirnya aku pindah ke daerah Jakarta Selatan karena menurutku lebih rindang,” ujar Elyza.
Untuk menghadapi setres, Elyza lebih memilih menonton konser gratis dan berkunjung ke berbagai festival. Kalau ke alam-alam, supaya melihat yang ijo-ijo, paling mentok ya di Gelora Bung Karno. Anehnya, panas di Surabaya masih tak bisa ditandingi meski lebih banyak taman kota.
“Kalau di Surabaya aku lebih mending me time atau di rumah aja, panasnya bukan main!” kata dia.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Merindukan Lebaran “Berdarah” di Negeri Mamala, Pengalaman yang Tidak Bisa Dirasakan di Jakarta atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
