Awalnya, bagi Belva (23) hidup di Surabaya atau Jakarta tak bakal ada bedanya: sama-sama kota besar, metropolitan, dan menawarkan kebebasan. Namun, anggapan itu kian luntur ketika ia mulai kuliah di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Makanya, Belva pun memutuskan pindah ke Universitas Indonesia (UI) Jakarta, agar lebih bisa mengekspresikan diri tanpa takut mendapat stigma buruk dari masyarakat–hal yang tak didapat di Surabaya.
Belva sendiri lahir di Gresik, Jawa Timur. Namun sejak kecil, ia sudah diajak bolak-balik pergi ke Surabaya oleh keluarganya. Entah sekadar jalan-jalan, mencari hiburan, atau acara keluarga. Maka, Kota Pahlawan bukanlah tempat yang asing baginya.
Setelah lulus SMA pun, dia memutuskan kuliah di Unair Surabaya. Kebetulan, Belva masuk Jurusan Ilmu Komunikasi melalui jalur SBMPTN. Tak sedikit juga teman-teman sekolahnya yang masuk ke kampus negeri ini.
Alih-alih merasa senang, Belva justru merasa terkekang terhadap stigma orang-orang di sekitarnya. Ia merasa ada panggilan jiwa yang membuatnya ingin mengejar sesuatu lebih besar. Menurutnya, hal itu perlu didukung oleh lingkungan yang tepat, khususnya di tahun-tahun krusial dalam hidup.
Ia merasa tak boleh menyia-nyiakan kesempatan untuk menyatu dengan orang-orang di kota besar. Sebab dari sana ia bisa bebas berekpresi tanpa ada keterikatan atau ekspektasi dari teman-teman lamanya, serta budaya masyarakat yang kolektif. Dalam hal ini khususnya, masyarakat sering mengstigmatisasi kebebasan berekspresi.
Mengalami konflik internal dalam diri
Belva merasa senang ketika dirinya lolos SBMPTN – bahkan dengan nilai yang bagus. Sayangnya, ketika mengikuti masa perkuliahan di Jurusan Ilmu Komunikasi Unair selama dua tahun, ia mulai resah dengan kebebasan yang diinginkan.
Menginjak usia remaja Belva kerap mengalami konflik internal dalam dirinya. Ada masa ketika dirinya merasa dekat dengan masalah spiritualitas, di mana ia merasa apa yang dipelajari selama ini mulai dari pengalaman, perasaan, maupun pengamatan pribadinya sudah berbeda.
“Rasanya tidak enak dan saya tidak bisa menggambarkan perasaan itu, ” lanjutnya.
Konflik internal itu membuatnya tidak semangat mengikuti perkuliahan. Terlebih lagi, stigma dari orang-orang di sekitar membuatnya tidak nyaman. Misalnya, pendapat orang-orang tentang cara berpakaiannya yang dianggap sudah jauh berbeda dengan nilai agama.
“ Aku bisa melihat bahwa itu akan lebih sulit kalau di Surabaya dengan banyak teman SMA aku. Aku ingin sesuatu yang segar,” katanya.
Lingkungan beracun
Selama kuliah dan berada di sebuah organisasi, Belva merasa lingkungannya sudah beracun . Beberapa kali dia melihat teman-temannya bergosip di belakang. Kesenjangan sosial dalam pergaulan pun semakin tinggi. Sementara, ia menginginkan lingkungan dengan pemikiran yang luas, terbuka, dan dinamis.
“Jadi yang oke atau keistimewaan makin percaya diri, yang belum malah makin minder ,” ujarnya.
Dia sendiri merasa tidak berada dalam lingkungan istimewa, sehingga rentan di- bully . Alih-alih, menghakimi hidup orang lain Belva ingin mencari lingkungan yang bisa membuatnya optimis dan bertumbuh. Mempelajari soal mimpi-mimpi atau tujuan di masa depan.
“Suatu hari aku pernah duduk sama dengan lingkaran istimewa. Dan mereka benar-benar membicarakan orang . Dan aku merasakan energi mereka yang rendah , ”dia.
Oleh karena itu, dia berpikir ulang untuk mencari lingkungan yang baik. Hal pertama yang dia lakukan adalah mengenali dirinya sendiri dan apa yang dia mau. Selama ini, jauh dari dalam lubuk jantung dia ingin merantau ke Jakarta dan kuliah di Universitas Indonesia (UI).
“Dari segi ‘jiwa’, aku lebih dinamis, terbuka , dan ambis, itulah kenapa aku lebih memilih hidup di Jabodetabek,” ucapnya.
Alasan pindah ke Jakarta












