3 Alasan Orang Sleman Malas Bukber ke Bantul, Selain Karena Egois dan Jogja Selatan Isinya Gondes

Kecamatan Tempel Sleman Tak Cocok Bagi Mahasiswa UGM-UNY Mageran, Terlalu Jauh Buat Nglaju Tapi Terlalu Dekat Untuk Ngekos,MOJOK.CO

Ilustrasi Kecamatan Tempel Sleman Tak Cocok Bagi Mahasiswa UGM-UNY Mageran, Terlalu Jauh Buat Nglaju Tapi Terlalu Dekat Untuk Ngekos (Mojok.co/Ega Fansuri)

Ada banyak alasan mengapa warga Sleman malas ketika diajak buka bersama alias bukber ke daerah Bantul. Bagi Annisa Ramadhani (25), warga Srandakan, Kabupaten Bantul, salah satunya, ya karena orang-orang Sleman memang egois aja.

Annisa sendiri merupakan narasumber Mojok untuk liputan “Bagi Warga Bantul Ajakan Bukber di Sleman Adalah Bentuk Diskriminasi dan Ketidakadilan, Apa Orang Jogja Utara Memang Egois?”. Melalui tulisan tersebut, ia mengeluhkan soal egoisnya orang-orang Sleman yang selalu menolak ajakan bukber di Bantul. Alhasil, orang-orang Bantul pun kudu “ngalah”. Mereka terpaksa melakukan perjalanan selama satu jam ke arah Jogja Utara cuma demi ngayem-ayemi orang Sleman.

Nah, dalam tulisan kali ini, saya akan gantian mendengarkan cerita Fany Astuti (24), warga Sleman yang mau menjelaskan “pledoinya” soal mengapa ia selalu menolak ajakan bukber ke area Bantul.

“Banyak gondes di sana,” guraunya pada Minggu (24/3/2024) lalu, yang diikuti gelak tawa. “Enggak kok, Mas, becanda itu. Aku punya beberapa alasan kenapa enggak mau bukber kesana,” sambungnya.

Fany sendiri merupakan mahasiswa salah satu PTN di Jogja. Pada bulan puasa tahun ini, ia sudah mendapatkan dua undangan bukber dari teman kelas dan organisasi. Dua-duanya berlokasi di Sleman.

Banyak klitih di wilayah Bantul

Alasan pertama ini hubungannya dengan nyawa. Ya, Fany bercerita, ia malas bukber ke daerah Bantul karena wilayah tersebut banyak terjadi kejahatan jalanan alias klitih.

“Di berita-berita ‘kan kelihatan, Mas, warga Bantul beberapa kali nangkep klitih. Kayaknya di Bantul emang banyak klitihnya. Belakangan kan sempat ramai juga videonya di Instagram” jelasnya.

Hal itu jelas menjadi pertimbangan utamanya. Meski agenda bukber itu umumnya sore hari, nongkrongnya bisa sampai malam. Yang dengan demikian, pulang bukber menjadi momen degdegan, karena takut ketemu klitih. Enggak lucu kalau sorenya haha-hihi bareng teman, malemnya amit-amit malah kena bacok.

Akan tetapi, alasan Fany ini  sebenarnya enggak terlalu make sense. Memang, dalam beberapa waktu ke belakang ada berita yang menampilkan warga berhasil menangkap para klitih di daerah Bantul. Namun, merujuk data yang dikeluarkan Polda DIY, dari tujuh titik yang paling rawan klitih di Jogja, hanya satu titik di Bantul yang masuk daftar.

Ketujuh titik ini meliputi Jalan Gedongkuning, Jalan Panggang-Jiluk, Jalan Veteran, Jalan Laksada Adisucipto, Jalan Tempel-Seyegan, Jalan Kaliurang, dan Titik Nol Km. Dengan demikian, wilayah di Jogja lain, termasuk Sleman, masih jauh lebih rawan klitih, bukan?

Baca halaman selanjutnya…

Bantul itu “bukan lagi bagian Jogja”?

Bantul daerahnya terisolasi

Kalau kata Atfi, salah satu kawan saya dari komunitas, vibes Bantul itu udah beda dari daerah lain di Jogja. Perjalanan ke sana pun rasanya “sudah seperti motoran ke Purworejo”, saking jauhnya, kata dia.

Hal ini juga diamini Fany, yang bahkan menyebut Bantul sebagai daerah terisolasi. “Terisolasi” yang dia maksud di sini adalah jauh dari modernitas, jauh dari pusat-pusat keramaian kota, dan lokasinya berada di pinggir banget.

“Ini guyon aja sih, Mas. Kata temen-temenku kalau ke Bantul itu rasanya udah masuk portal ke dunia lain,” candanya. 

Pernyataan Fany itu mungkin ada benarnya juga. Sebab, Bantul memang jauh dari pusat-pusat komersial dan hiburan seperti mal. Di sana memang tak ada mal. Jadi, kalau warga Bantul ingin shopping atau nonton mereka harus ke Jogja atau Sleman terlebih dahulu.

Ya, karena enggak ada yang merekomendasikan tempat bukber di Selatan

Alasan ketiga dari Fany ini bisa jadi diskriminatif karena seolah tak mewakili suara orang-orang Bantul. Kata Fany, dalam setiap pengambilan keputusan soal lokasi bukber, nyaris tak ada yang merekomendasikan tempat makan di Bantul.

“Entah karena emang enggak ada yang asyik, atau emang di Sleman kebanyakan pilihan tempat yang enak. Jadi yaudah tiap bukber ke utara aja. Teman-temanku yang Bantul biasanya nurut-nurut aja,” kata Fany.

Namun, ini jelas berbeda dengan apa yang Annisa sampaikan. Menurut Nisa, sapaan akrabnya, dia sebagai “perwakilan” orang Bantul sudah kerapmenawarkan opsi yang lebih bijak. Misalnya, memilih tempat bukber yang lokasinya di tengah-tengah Kota Jogja. Jadi, teman-temannya yang dari utara maupun dirinya yang di selatan mendapat “keadilan”. Sayangnya, opsi ini selalu ditolak.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Suara Hati Sarjana Kerja di Jakarta Dapat Gaji Setengah UMR, Sering Dibanding-bandingkan dengan Adik Lulusan SMA di Kampung yang Penghasilannya Lebih Besar

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version