Aksara Jawa Bukan Hal Kuno, Punya Potensi Bikin Kota hingga Anak Muda Jadi Keren

Ilustrasi - Jawacana berupaya mempopulerkan kembali aksara Jawa karena potensial di episentrum Jogja. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Jika mendengar atau membincangkan aksara Jawa, dalam benak anak muda zaman sekarang cenderung menganggapnya sebagai sesuatu yang kuno: jauh tertinggal. Sehingga, tak heran jika kemudian muncul keengganan untuk mengenal, mempelajari atau bahkan sampai di titik melestarikan. Padahal, menurut Jawacana, warisan luhur tersebut memiliki potensi besar, salah satunya dalam episentrum Jogja.

Akasara Jawa masih bisa kontekstual hingga saat ini. Sebab, jika memakai pendekatan yang lebih luas–tidak hanya tolok ukur masa lalu–aksara ini punya banyak potensi untuk dikembangkan. Tak cuma dalam aspek keilmuan, tapi bahkan di sektor pariwisata.

Setidaknya itulah gambaran dari Paksi Raras Alit (38), seniman Jogja sekaligus pendiri lembaga Jawacana (sebuah lembaga untuk nguri-uri aksara Jawa).

Momentum mempopulerkan aksara Jawa (lagi)

Dalam sejarahnya, budaya Jawa (termasuk juga aksara Jawa) memang mengalami siklus naik turun. Pernah dalam satu masa suatu budaya Jawa akan berada di atas. Lalu perlahan-lahan surut hingga akhirnya lenyap. Namun, akan datang masanya ia akan kembali menyala lagi. Begitu kira-kira penjelasan dari Paksi.

Misalnya musik atau lagu berbahasa Jawa. Jauh sebelum era Denny Caknan cs saat ini, musik dan lagu Jawa sebenarnya sudah pernah sangat populer.

“Sebut saja era Manthous yang naik daun pada medio 90-an. Lalu hilang. Pada awal 2000-an muncul lagi lagu-lagu Didi Kempot. Kemudian surut lagi. Terus sekarang naik daun lagi lewat Denny Caknan cs,” papar alumnus S1 dan S2 Sastra Jawa Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut dalam momen ngobrol dengan Kepala Suku Mojok, Puthut EA, pada Selasa (11/6//2024).

Jawacana berupaya mempopulerkan kembali Aksara Jawa karena potensial di Jogja MOJOK.CO
Puthut EA dan Paksi Raras Alit selaku pendiri Jawacana, sebuah lembaga untuk mempopulerkan kembali aksara Jawa karena potensial bagi episentrum Jogja. (Dok. Mojok)

Dari lagu, menyusul beberapa film full bahasa Jawa yang ternyata tak kalah laris dari lagu-lagu Denny Caknan cs. Misalnya trilogi Yowes Ben karya Bayu Skak (dan tentu masih banyak lagi film-film berbahasa Jawa lain yang sama larisnya).

Paksi membacanya sebagai momentum yang sangat pas untuk juga menaikkan kembali pamor aksara Jawa. Sebab, ia bisa dibilang sudah tercerabut dari masyarakat Jawa sendiri. Ia telah lama terpisah dari bahasanya sendiri.

“Dalam suatu periode sejarah ,  bahasa Jawa terpisah dari aksara Jawa saat muncul aksara latin. Bahasa Jawa kemudian jadi lebih bebas, tidak harus tekstual dengan aksara (Hanacaraka). Karena ada medium lain yang dipaksakan menjadi populer, yakni alfabet. Akhirnya bahasa Jawa tercerabut dari aksaranya,” ungkap seniman yang namanya sudah tersohor di jagat kesenian Jogja itu.

Jawacana sebagai upaya

Atas diskursus tercerabutnya aksara dan bahasa tersebut, sebenarnya ada dua paham.

Paham pertama menyebut bahwa aksara Jawa dan bahasa Jawa harus menempel. Artinya, aksara Jawa harus tetap eksis selama bahasa Jawa masih eksis.

Sementara paham kedua mengatakan kalau antara keduanya tidak harus saling menempel. Jika aksara Jawa tak seekis bahasa Jawa, ya lumrah saja. Sebab pada dasarnya tradisi masyarakat Jawa (khususnya) adalah tradisi lisan alias tradisi tutur. Bukan tradisi tulis.

“Tulis itu kesannya budaya ningrat. Karena zaman dulu hanya orang-orang dalam keraton saja yang bisa menulis. Rakyat biasa tidak, hanya bertutur dan mendengar. Jadinya yang bisa aksara Jawa terbatas, golongan ekslusif aja,” beber Paksi.

Terlepas dari dua paham tersebut, Paksi punya dorongan tersendiri kenapa ia ingin mempopulerkan kembali aksara Jawa.

“S1 saya konsentrasinya Filologi, pernaskahan, bacanya manuskrip. Nah, setelah itu mendapat “hidayah” bahwa ternyat ada banyak sekali PR yang belum diungkapkan. Salah satu metode terbaiknya adalah menguasai aksara Jawanya itu,” terang Paksi.

Sebab, manuskrip yang jumlahnya sangat banyak itu mengandung knowledge yang sangat banyak pula. Tak sekadar ilmu kuno seperti pesugihan atau santet. Bahkan disiplin ilmu yang sangat relevan hingga saat ini. Misalnya ilmu merawat lingkungan hingga mengobati mental health.

Dari situ, akhirnya pada 2016 Paksi mendirikan Jawacana (berbasis di Jogja) sebagai upaya untuk mempopulerkan kembali aksara Jawa di kalangan anak muda. Jawacana rutin mengadakan kelas-kelas dengan jaminan bisa baca tulis aksara Jawa, sebelum nanti masuk ke aspek lebih dalam lagi.

“Awal berdiri sulit sekali cari murid. Tapi tadi, seiring hype-nya lagu dan film berbahasa Jawa per 2019, makin ke sini ternyata banyak juga anak-anak muda yang ingin belajar aksara Jawa. Malah sampai nolak-nolak murid,” ungkap Paksi.

Potensi aksara Jawa dalam episentrum Jogja dan anak muda

Menggali aspek knowledge dalam lingkup pernaskahan barangkali adalah sesuatu yang klise. Namun, upaya nguri-uri aksara Jawa tidak berhenti di situ saja. Sebab, kata Paksi, dalam sekup episentrum Jogja aksara Jawa juga punya potensi yang menjanjikan.

“Aksara Jawa ini bisa jadi penghias pariwisata Jogja loh. Kalau ini dioptimalkan, barangkali kita bisa seperti Thailand atau Korea yang secara visual kota akan menjadi lebih menarik,” papar Paksi. Karena di Thailand dan Korea sendiri memang banyak titik wisata yang berhias aksara lokalnya.  Konsep tersebut pun tak cuma bisa diterapkan di Jogja, tapi juga di kota/daerah lain.

Paksi Raras Alit selaku pendiri Jawacana saat momen ngobrol bareng Puthut EA (Dok. Mojok)

Selain itu, wacana nguri-uri aksara Jawa ini juga bisa dikombinasikan dengan dinamika perubahan zaman hari ini.

Misalnya bisa saja memadukannya dengan platform visual seperti Canva atau yang sejenis: masuk dalam ranah desain grafis.

“Kalau dulu menatah prasasti di batu, sekarang menatah prasasti di Canva. Kan keren juga. Bisa juga jadi tato (karena saat ini tato menjadi kesenian yang cukup banyak digandrungi),” jelas Paksi.

Paksi menegaskan, kalau bicara soal pelestarian, mau tak mau memang harus menjadi muda. Karena jumlah yang akan terdampak dari kalangan anak muda banyak sekali. Meskipun juga tidak mengeliminasi golongan-golongan lama (tua).

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Gaya Sex dalam Budaya Jawa untuk Menghasilkan Keturunan Unggul Menurut Serat Susila Sanggama

Tonton obrolan Paksi Raras Alit dan Puthut EA serta video lainnya di YouTube Mojokdotco

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version