Akrab dengan montir bengkel—apalagi jika si montir adalah pemilik bengkel sendiri—memberi saya banyak keuntungan. Saya yang sebenarnya tidak paham-paham amat otomotif akhirnya lolos dari kemungkinan-kemungkinan dibodohi.
***
Sejak SMA saya tiap hendak servis motor saya mesti pindah-pindah bengkel. Sering kali nemu bengkel yang mahal, tapi hasilnya tidak maksimal.
Tidak sekali-dua kali pula saya dibodohi. Misalnya, karena si montir tahu saya tidak paham-paham amat otomotif, akhirnya ia menyodorkan banyak bagian yang harus diganti baru. Hasilnya, setelah saya iyakan, habisnya bisa besar.
Baru saya tahu kemudian dari beberapa teman, ternyata ada montir yang penuh siasat saat berhadapan dengan konsumen. Kalau si konsumen menunjukkan gestur tidak paham, itu menjadi celah bagi montir untuk menguras habis kantong konsumen.
Bengkel biasa saja tapi…
Dari seorang teman, saya dikenalkan dengan sebuah bengkel rumahan di Lasem. Konon, ia dulu awalnya seorang montir di bengkel resmi sebuah brand otomotif.
Setelah keluar ia lalu membangun bengkel sendiri. Pelanggannya banyak karen dikenal sebagai bengkel yang jujur, harga tak kemahalan, tapi hasilnya maksimal.
Saya pertama kali ke bengkel tersebut di awal-awal masa kuliah. Sebelum keberangkatan saya ke Surabaya pada 2017 silam.
Sejak membuktikan sendiri testimoni orang-orang, saya akhirnya menjadikannya langganan. Alih-alih servis di Surabaya, saya lebih sering membawa motor saya pulang untuk sekadar servis.
Kami pun lama-lama menjadi akrab, sampai sekarang. Bertukar nomor ponsel pula. Alhasil, setiap kali hendak ke bengkelnya, saya pasti akan mengirim pesan pendek dulu: buka atau tutup?
Ikatan primordial di perantauan
Selama tujuh dari Surabaya, saya tidak bisa menemukan bengkel yang benar-benar jujur dan bisa diakrabi. Alhasil, pilihannya ya selalu membawa pulang motor untuk diservis di bengkel langganan di Lasem.
“Di Surabaya kan banyak bengkel, Ly,” tanya si montir tiap saya membawa motor ke bengkelnya.
“Lebih mantap di sini, Kak,” jawab saya.
“Heleh, bilang aja di sini lebih murah,” tukas si montir. Saya pun tertawa. Memang, itu pertimbangannya: Lebih murah, hasil maksimal, dan minim risiko penipuan.
Saat awal-awal pindah ke Jogja pada awal 2024 lalu pun begitu. Saya agak kesulitan menemukan bengkel yang membuat saya benar-benar mantap.
Sampai akhirnya saya menemukan sebuah bengkel biasa di sekitar Jalan Besi Jangkang. Si pemilik, anak muda umur 24-an, ternyata asal Kediri, Jawa Timur.
Karena saya mengaku lama di Surabaya dan punya pasangan asal Jombang (Jawa Timur) juga, akhirnya hanya butuh sehari saja kami langsung akrab. Karena merasa punya ikatan primordial: Sama-sama asal Jawa Timur yang tengah merantau ke Jogja.
Montir bengkel suka diakrabi
Barang kali tidak semua. Namun, dalam dua bengkel langganan saya—yang memang model rumahan—keduanya sama-sama mengaku suka diakrabi.
Untuk bengkel di Lasem, ia memang cenderung fokus ketika sudah mengotak-atik motor. Hanya sesekali ia akan mengajak bicara. Bisa pembahasan sederhana atau menginformasikan kerusakan-kerusakan yang ia temui di motor.
Akan tetapi, ia mengaku suka ketika akrab dengan pelanggan. Bukan semata karena potensi pelanggan balik lagi. Tapi juga merasa dimanusiakan. Pelanggan datang tidak sekadar menganggapnya sebagai “pesuruh”.
Sementara dalam konteks bengkel langganan saya di Jogja, si montir memang butuh teman ngobrol. Semakin akrab dengan banyak orang, maka ia merasa semakin punya banyak teman.
Untung di pelanggan
Pada dasarnya relasi antara si montir dengan pelanggan memang melahirkan simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan satu sama lain. Montir butuh pelanggan, pelanggan butuh motornya dibereskan.
Dari sisi pelanggan, keakraban dengan montir bengkel—setidaknya bagi saya—memberi sejumlah keuntungan.
Pertama, si montir tidak akan tega jika mencoba mencurangi. Alhasil, dalam kasus saya, si montir akan memberi beberapa pertimbangan jujur atas kendala-kendala yang ia temui di motor saya. Cukup diakali atau harus diganti. Kalau diganti harganya berapa. Kalau ada harga yang lebih murah pasti akan ditawarkan.
Kerena kejujuran itu, alhasil saya tak pernah khawatir jika meninggal bengkel di motor lebih dari sehari. Karena si montir akan tetap mengerjakannya dengan baik walaupun tanpa saya pantau.
Kedua, beberapa kali saya mendapat potongan harga. Kan lumayan. Bahkan misalnya saya tidak bawa uang lebih, si montir sering melonggarkan pembayaran: Membayar besok-besok kalau balik lagi tak masalah.
Tentu saja saya bayar di lain hari. Menjalin hubungan baik dengan si montir bengkel ternyata menyenangkan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Bengkel Motor Jogja bikin Kaget Orang Surabaya Gara-gara Servis Motor Berujung Pemorotan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
