Sibuk mengerjakan skripsi bikin mahasiswa PTN di Jogja mengabaikan telepon ibu dan jarang pulang. Ia akhirnya menyesal setelah ibunya meninggal.
***
Penyesalan memang selalu datang di akhir. Kalimat itu sering terdengar klise, tetapi bagi sebagian orang, rasanya seperti kenyataan yang menampar. Tidak ada yang benar-benar siap ketika sesuatu, atau seseorang, tiba-tiba pergi untuk selamanya sebelum mereka sempat menemuinya.
Di tengah kesibukan kuliah, tumpukan revisi, dan ambisi lulus tepat waktu, banyak mahasiswa percaya bahwa “ambis” adalah kunci. Begitu pula Jelita, mahasiswa PTN Jogja asal Magelang. Ia mengira, kesibukannya akan berbuah manis suatu hari nanti. Sialnya, yang terjadi malah sebaliknya: penyesalan yang tak ada habisnya.
“Ambis” skripsian sampai lupa segalanya
Awal 2024, Jelita resmi memasuki semester kedelapan—batas terakhir baginya menikmati beasiswa KIP Kuliah. Delapan semester bukan sekadar aturan akademik, melainkan garis pemisah antara masih bisa kuliah atau harus berhenti di tengah jalan karena tak mampu membayar sendiri.
Ia paham betul, sebagai anak sulung yang tinggal bersama ibu dan dua adik yang masih SD dan SMP, lulus tepat waktu adalah satu-satunya cara untuk meringankan beban keluarga.
Itulah alasan mengapa ia begitu ambis. Siklus hidupnya gitu-gitu aja: kos, kampus, perpustakaan, dan warkop untuk mengerjakan skripsi. Notifikasi WhatsApp, termasuk telepon ibu, ia matikan. Grup kelas jarang ia buka. Pesan-pesan pribadi ia sisihkan.
“Semua itu, dulu aku anggap cuma akan bikin buyar fokus skripsianku,” katanya, Kamis (6/11/2025) lalu. Bahkan telepon ibunya, yang biasanya ia sambut sambil bercanda, belakangan sering ia biarkan menjadi panggilan tak terjawab.
“Aku cuma mikir, nanti kubalas kalau skripsinya lagi nggak mumet,” ujarnya.
Skripsi yang ia kerjakan sendiri tidak mulus. Revisi datang berlapis-lapis. Belum lagi saat melihat progres teman-temannya seangkatannya malah bikin dirinya makin cemas. Ada yang sudah seminar, ada yang tinggal menunggu sidang. Jelita merasa tertinggal, dan itu membuatnya semakin menutup diri. Dalam kepalanya, hanya ada satu tujuan: lulus sebelum beasiswa berhenti.
Abaikan telepon ibu, berbuah sesal
Hingga suatu siang, saat Jelita berkutat dengan revisi-revisi yang tak kunjung usai, di perpustakaan, ia melihat dua panggilan tak terjawab dari ibunya.
“Nanti aku telpon balik,” pikirnya, dalam hati. Namun, pada malamnya, kelelahan membuatnya langsung tertidur tanpa membuka riwayat panggilan itu lagi.
Dua hari kemudian, pagi baru merayap di kos ketika pintunya diketuk keras. Di ambang pintu berdiri om dan tantenya, wajah mereka tegang.
“Jel, kamu ikut kami sekarang. Ibumu jatuh. Dokter bilang kemungkinan serangan jantung.”
Jelita merasakan tubuhnya mendadak dingin. Ia mengikuti mereka tanpa sempat memproses apapun. Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti lorong panjang yang tak berujung. Mobil itu melaju cepat, tetapi semua terasa lambat. Udara pagi yang lembap, suara klakson, bahkan hiruk-pikuk di jalanan Jogja-Magelang, seolah tak benar-benar ia dengar.
Setibanya di rumah sakit, dunia runtuh dalam satu kalimat singkat: ibunya sudah tidak ada.
Tak ada waktu untuk bicara. Tak ada kesempatan menjawab panggilan telepon yang beberapa kali ia lewatkan. Tak ada “ibu, maaf” yang bisa ia ucapkan langsung. Yang tersisa hanya ruang IGD yang bau obat-obatan, tubuhnya yang lemas, dan penyesalan yang bakal menghantuinya sampai kapan pun.
“Aku benar-benar nggak bisa berdiri waktu itu. Rasanya kayak jatuh ke jurang. Yang paling sakit adalah… aku sebenarnya sempat bisa angkat telepon itu,” katanya, berusaha menahan suara yang bergetar.
Sejak hari itu, skripsi tak lagi berarti apa-apa. Ia pulang ke rumah dan menolak kembali ke kos. Revisi yang dulu membuatnya cemas kini terasa kecil sekali dibandingkan kehilangan yang ia hadapi.
Adik-adiknya membutuhkan kehadirannya. Rumah terasa kosong, tetapi ia tahu ia harus tetap tinggal.
Jelita memutuskan cuti kuliah semester berikutnya. Ia menghabiskan hari-harinya merapikan rumah, menemani adik belajar, mengurus hal-hal yang biasanya dikerjakan ibu.
Di sela itu semua, ia mencoba berdamai dengan rasa sesal yang kadang tiba-tiba kembali menyerang. Sesekali ia berusaha memulai lagi membaca bab skripsinya, tetapi pandangannya cepat kabur oleh kenangan. Ia butuh waktu, dan untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya berhenti berlari.
“Kadang aku mikir, kalau aku lebih sering pulang, kalau aku angkat telpon ibu hari itu, mungkin rasanya nggak seberat ini,” kata Jelita. “Tapi ya sudah. Yang bisa aku lakukan sekarang cuma menjaga adik-adik dan mencoba hidup pelan-pelan.”
Tak mau jatuh ke penyesalan kedua
Kisah Jelita yang jarang pulang dan mengabaikan telepon ibu karena kesibukan kuliah, bukan satu-satunya. Ada pula Rio, yang pernah berada di posisi serupa, tetapi memilih hidup dengan cara berbeda setelah mengalami kehilangan.
Sekitar 2014, ketika masih SMA, Rio pergi mendaki gunung bersama teman-temannya. Ia mematikan ponsel karena ingin menikmati liburan tanpa gangguan. Saat turun, beberapa kerabat yang menunggunya langsung menghampiri. Wajah mereka sudah memberi isyarat buruk sebelum mereka sempat berbicara.
Ayahnya meninggal akibat serangan jantung. Tanpa ia ketahui, tanpa ia sempat pulang, tanpa ia sempat berada di samping ibunya yang kehilangan suami secara mendadak. Kejadian itu menamparnya keras.
“Aku dulu mikir, ah, matiin HP sehari dua hari nggak apa-apa. Ternyata malah jadi penyesalan paling besar,” katanya.
Ketika ia diterima di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Rio membuat pilihan sederhana tetapi tegas: tetap tinggal di rumah bersama ibunya di Gunungkidul. Jarak rumah ke kampus sekitar satu jam perjalanan, tapi itu tidak membuatnya keberatan.
Ia memutuskan menjadi mahasiswa kupu-kupu: kuliah-pulang, kuliah-pulang. Tidak ikut organisasi, jarang nongkrong, dan selalu berusaha sampai rumah sebelum malam benar-benar larut.
“Teman-teman sering ngomong, ‘Lu kok nggak pernah nongkrong? Nggak asyik.’ Tapi aku cuma mikir, aku nggak mau pengalaman kehilangan itu terulang. Ibu sendirian di rumah. Aku ingin selalu ada,” ujar Rio.
Kebiasaan itu ia jaga sampai lulus. Kini ia bekerja di kawasan Sleman, dan ritmenya tidak banyak berubah. Setiap hari, ia tetap pulang ke Gunungkidul. Kadang dua jam perjalanan, kadang lebih kalau macet. Tapi bagi Rio, pulang adalah keputusan yang membuatnya tenang.
“Capek iya. Tapi hati lebih adem,” katanya.
Cerita Jelita dan Rio berangkat dari titik yang sama: mereka pernah percaya bahwa waktu bersama orang tua tidak akan habis begitu saja. Namun, cerita hidup Jelita dan Rio juga mengingatkan satu hal bahwa “akhir” akan menemukan waktunya. Dan, terkadang, pulang cara yang harus dilakukan sebelum semuanya berbuah penyesalan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Saya Tidak Akrab dengan Ayah, tapi Terasa Sangat Kehilangan Saat Dia Sudah Tiada atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
