Ironi Piala Dunia U-17 di Surabaya: Kampung Bola yang Tak Punya Lapangan Bola

Ilustrasi Ironi Piala Dunia U-17 di Surabaya: Kampung Bola yang Tak Punya Lapangan Bola. (Mojok.co)

Stadion Gelora Bung Tomo (GBT) Surabaya terpilih sebagai salah satu venue Piala Dunia U-17 2023. Pemkot Surabaya menyambut ajang tersebut dengan gegap gempita, termasuk dengan menciptakan kampung bola. Tapi kok nggak punya lapangan bola, ya?

***

Beberapa kampung di Surabaya berlomba-lomba menghias diri dalam rangka menyambut gelaran Piala Dunia U-17. Salah satunya Kampung Lemah Putro yang kini memperkenalkan diri sebagai Kampung Bola.

Mojok.co menyusuri gang-gang sempit di kampung tersebut untuk mendengarkan ungkapan-ungkapann warganya mengenai serba-serbi Piala Dunia U-17 di Surabaya. Kebetulan gelaran Piala Dunia U-17 di Surabaya akan dimulai tepat pada Hari Pahlawan, 10 November.

Jauh-jauh hari, untuk memeriahkan Piala Dunia U-17, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mengadakan lomba hias kampung dengan tema Kampung Bola. Kabarnya sudah ada beberapa kampung yang telah menghias diri dengan serba-serbi sepak bola.

Namun, salah satu yang di-notice oleh Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi adalah Kampung Lemah Putro, Kelurahan Embong Kaliasin, Kecamatan Genteng. Mengingat lokasinya yang berada di jantung Kota Surabaya.

Perkampungan kecil di tengah gemerlap Surabaya

Saya terbilang sering wira-wiri di Jl. Basuki Rahmat yang notabene merupakan jantung Kota Surabaya.

Tapi, saya sungguh nggak ngeh kalau di antara gedung-gedung tinggi nan megah di sana, ada kampung kecil yang masih bergeliat. Gang masuknya benar-benar nyelempit. Alamat di Google Maps pun tak presisi.

Dua kali muter sambil celingak-celinguk, saya awalnya dibuat bingung karena memang hanya deretan gedung saja yang terlihat. Kalau ada jalan bercabang, itu pun jalan untuk tembus ke rute lain. Maklum, saya bukan asli sini.

Barulah di putaran ketiga, di antara lalu-lalang kendaraan, saya melihat ada sebuah gapura kecil bertuliskan “Kampung Lemah Putro”.

Untuk masuk ke dalam kampung, saya harus menuntun motor karena gangnya yang memang agak sempit.

Warga sambut Piala Dunia U-17 

Baru saja masuk di Kampung Lemah Putro, saya sudah melihat banner besar bertuliskan “Wolcome to Kampung Bola” terpampang. Lalu di gang menuju tengah kampung sudah berhias grafity warna-warni dan gambar-gembar benderea peserta Piala Dunia U-17.

Banner Welcome to Kampung Bola yang terpampang setelah gapura masuk Kampung Lemah Putro, untuk menyambut Piala Dunia U-17 di Surabaya.
Banner Welcome to Kampung Bola yang terpampang setelah gapura masuk Kampung Lemah Putro, (27/10/2023). (Aly Reza/Mojok.co)

Sore itu, Jumat, (27/10/2023) beberapa anak kecil sedang asyik bermain kucing-kucingan di tengah kampung.

“Pak RW dan Pak RT sedang keluar, Mas. Kalau mau, saya antarkan muter-muter kampung saja. Wawancara warga,” ujar Titi (38), warga pertama yang menyambut saya dengan sangat hangat.

Sambil jalan, kami kemudian berbincang tipis-tipis mengenai Kampung Lemah Putro.

Menurut Titi, warga Kampung Lemah Putro memang sangat antusias kalau kampungnya diliput media. Apalagi yang menyangkut Piala Dunia U-17.

“Agar ada yang tahu kalau kampung ini ada dan ikut meramaikan (Piala Dunia U17),” kelakarnya.

Kampung Bola Lemah Putro tercipta secara dadakan

Seturut pengakuan Titi, proses menghias Kampung Lemah Putro menjadi Kampung Bola berjalan tak lama sebelum proses penilaian. Karena warga mendapat pengumuman dari pihak kelurahan pun secara dadakan.

“Dapat info tanggal belasan Oktober. Terus mulai 23 Oktober sudah mulai penilaian,” ungkap Titi.

Beruntungnya, menurut Titi, warga dan Karang Taruna Kampung Lemah Putro sangat mudah dikoordinir.

Alhasil, mereka pun gotong royong bersih-bersih kampung dan menghias sebisa-bisanya. Ibu-ibu bagian kerja bakti dan bersih-bersih. Sementara bapak-bapak dan anak-anak muda menggambar dan mengecat tembok-tembok gang dengan serba-serbi Piala Dunia U-17.

“Kebetulan ada beberapa anak muda yang pinter mural, jadi gampang gambarnya,” jelas Titi.

Karena Kampung Lemah Putro belum masuk proses penilaian, kata Titi masih ada beberapa sudut kampung yang akan dihias. Warga dan beberapa anak muda dari Karang Taruna masih berkoordinasi mengenai hiasan seperti apa untuk melengkapi dan mempercantik kampung.

Kampung Bola hanya euforia Piala Dunia U-17

Lebih lanjut, Titi mengatakan bahwa sebelum adanya lomba hias kampung bertema Piala Dunia U17 ini, Kampung Lemah Putro hanyalah kampung biasa.

Kalau toh warga menghiasnya, paling pada momen 17 Agustus, seperti kampung-kampung lain pada umumnya. Tak ada yang spesial.

“Sebenarnya dulu pernah ada usulan bikin branding kampung ini jadi kayak kampung hijau. Tapi nggak terealisasi,” akunya.

Titi pun menyadari, bahwa branding Kampung Bola ini tidak bersifat jangka panjang, hanya bersifat euforia. Di mana hanya akan melekat pada Kampung Lemah Putro di sepanjang gelaran Piala Dunia U-17.

“Tapi nggak masalah, diniatkan ikut partisipasi. Menang/kalah nomor sekian. Yang penting kampungnya jadi berwarna,” tuturnya.

Area tengah Kampung Lemah Putro yang dipakai anak-anak untuk main bola. (Aly Reza/Mojok.co)

Untuk kedepan, Titi berharap Kampung Lemah Putro terus bisa berpartisipasi dalam memeriahkan event-event besar di Surabaya. Orang tidak harus mengenalnya sebagai Kampung Bola.

Sebab toh Kampung Lemah Putro sendiri sebenarnya sudah punya julukan yang melekat di benak sebagian banyak warga Surabaya, yakni Kampung Lawas, karena bangunan-bangunan rumahnya yang merupakan bangunan bergaya lawas.

Tentu saja masih ada banyak kampung di Surabaya yang bangunannya bergaya lawas.

Hanya saja, yang membuat kampung ini menarik adalah karena bangunan-bangunan lawas itu berdiri di tengah-tengah deretan gedung-gedung tinggi.

Kampung penggila bola, tapi tak punya lapangan bola

Di jam-jam saat saya berkunjung di Kampung Lemah Putro (jam empat sore), saya cukup jarang menjumpai warga laki-laki. Karena mayoritas masih bekerja.

Hanya beberapa saja yang terlihat berada di rumah. Salah satunya adalah Sudarsono (50) yang sore itu menjamu saya di kediamannya.

Cak Dar, sapaan akrabnya, tengah serius menyaksikan laga BRI Liga 1 pekan 17 antara Persik vs Persebaya saat saya bertamu.

“Kalau Persebaya main nggak besa ditinggal. Malah jualannya yang saya tinggal,” ujar Cak Dar yang sehari-hari berjualan nasi goreng.

Cak Dar menyebut, pada dasarnya warga Kampung Lemah Putro, khususnya dari kalangan laki-laki, mayoritas sangat menggilai bola.

Sayangnya, kegilaan tersebut tak diimbangi dengan keberadaan lapangan bola di kampung tersebut.

Bagi Cak Dar, rasa-rasanya memang kurang pas jika menyebut Kampung Lemah Putro sebagai Kampung Bola hanya karena berhias serba-serbi tentang sepak bola.

“Tapi nggak apa-apa lah ikut memerihkan Piala Dunia U17. Walaupun piala dunia anak-anak ya, tapi kan tetap saja levelnya dunia,” ujarnya.

Obat kecewa atas batalnya Piala Dunia U-20

Alhasil, kegilaan warga pada sepak bola lebih banyak disalurkan lewat acara nonton bareng di balai warga.

Kata Cak Dar, kalau ada Derby Jatim Persebaya vs Arema FC, laga Timnas Indonesia, atau laga-laga internasional seperti Piala Dunia, sering kali akan ada nobar di balai warga.

“Nanti Piala Dunia U-17 ini semoga saja ada nobar juga. Gimana-gimana tetap bangga,” ungkap Cak Dar.

Lebih-lebih, bagi Cak Dar, perhelatan Piala Dunia U-17 ini menjadi semacam obat kecewa atas batalnya Piala Dunia U-20.

Sudarsono (50) atau Cak Dar, salah satu warga Kampung Lemah Putro yang mengaku gila bola. (Aly Reza/Mojok.co)

Saat Piala Dunia U-20 batal di Indonesia, bagi Cak Dar yang penggila bola, rasanya ikut menanggung malu. Karena tentu negara-negara luar akan mencap negatif Indonesia.

“Maka dari itu, ini Piala Dunia U-17 tinggal sebentar lagi, semoga lancar. Kalau ada aneh-aneh lagi (dibatalkan lagi), ya wassalam sudah,” ucapnya sambil sesekali melirik televisi di sampingnya, memastikan apakah Persebaya berhasil mencetak gol atau justru malah kebobolan.

Mimpi menjadi pemain bola yang tak mudah diwujudkan

Sementara untuk main bola sendiri, untuk anak-anak hanya bisa main bola di tempat yang ala kadarnya. Atau kadang juga harus melipir sedikit ke lapangan futsal yang ada di Taman Apsari, atau kira-kira lima menitan dari Kampung Lemah Putro.

Tapi itu pun masih harus memutar dulu melewati jalan protokol. Belum lagi nanti harus antre dengan anak-anak muda dari kampung lain yang menggunakan lapangan tersebut.

Mengingat, lapangan tersebut adalah fasilitas publik yang bebas diakses oleh siapa saja. Sehingga, memang harus pakai sistem “siapa duluan”.

Sebenarnya, tidak sedikit anak-anak di Kampung Lemah Putro yang bercita-cita bisa menjadi pemain sepak bola profesional. Namun, sering kali mimpi memang hanya sebatas mimpi.

Bagaimana mau mengasah skill jika lapangan bola saja tidak punya? Kalau mau niat, tentu harus masuk SSB. Dan untuk itu, kalau mengincar SSB dengan kualitas bagus di Surabaya, pastinya harus keluar biaya.

Alhasil, menjadi penikmat saja dirasa sudah cukup. Atau mungkin memang tidak menjadi pemain profesional, tapi tetap punya pekerjaan yang berkaitan dengan sepak bola. Seperti anak dari Aris Susanti (48) yang saat ini menjadi pelatih futsal di sebuah kampus di Surabaya.

“Saat ini mungkin belum ada. Tapi suatu saat siapa tahu ada anak dari kampung sini jadi pemain terkenal,” tuturnya.

Hanya bisa mendukung timnas dari rumah

Aris Susanti yang merupakan bendahara Kampung Lemah Putro menjadi salah satu ibu-ibu yang cukup memahami kegilaan para lelaki di Kampung Lemah Putro terhadap sepak bola.

Sebab, ia sendiri hari-hari bersinggungan dengan sang anak yang menjadi pelatih futsal, ya walaupun kelasnya universitas.

Itulah kenapa saat ada informasi mengenai lomba hias kampung bertema Kampung Bola, ia juga tak terlalu pelit dalam menyediakan budget untuk membeli keperluan-keperluan menghias kampung.

“Budgetnya memang nggak banyak. Tapi karena kreatif, akhirnya bisa terhias dengan baik,” jelasnya.

Meski suami dan anaknya gila bola, tapi Bu Aris mengaku sepertinya tidak akan menonton gelaran Piala Dunia U-17 secara langsung di Stadion Gelora Bung Tomo (GBT).

Pertimbangan utamanya adalah karena jarak antara pusat kota Surabaya dengan GBT yang terbilang jauh.

Alasan yang kurang lebih sama dengan yang Cak Dar ungkapkan sebelumnya. Cak Dar sendiri lebih memilih nobar bersama warga saja atau bisa juga nonton bareng keluarga di rumah.

“Kalau tiket, berapapun harganya, kalau sudah gila bola pasti bakal datang ke stadion. Karena saya dulu juga begitu, sering nonton langsung ke stadion pas Persebaya masih main di Gelora Sepuluh Nopember. Tapi kalau ke GBT, jauh,” ungkap Cak Dar.

Namun, meski hanya level usia, Cak Dar masih optimis kalau Stadion GBT masih akan diramaikan oleh para suporter timnas. Sehingga atmosfernya tak kalah dari saat laga timnas senior atau U-23.

“Syukur-syukur kan ada penonton dari luar negeri itu, Mas. Jadi bisa melihat seperti apa Surabaya itu,” pungkasnya.

Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Cerita Desa Fans Fanatik Argentina, Saat Maradona dan Messi Turun di Pambusuang

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version