Bumi dan langit
“Lihat saja gedung UNAIR, Mas, uapik. Itu baru gedung, bayangin lainnya.”
Dito mengulang-ulang hal itu selama ngobrol. Tapi dia tidak berlebihan, setelah saya cek di Google, gedung UNAIR Surabaya memang bagus. Bagus banget malah. Wajar kalau hal tersebut bikin dia merasa menyesal kuliah di UNESA. Infrastruktur kampus, memang hal pertama yang terlihat mata sekaligus yang bikin prestise kampus meningkat drastis. Memang, bagus dan megahnya gedung sebuah kampus nggak bisa jadi tolok ukur utama, tapi tetap saja, prestise-nya beda.
“Itu baru gedung, Mas. Kehidupan anak UNAIR juga beda banget, Mas. Bener-bener selayaknya mahasiswa, wis. Sedangkan UNESA…”
“Emang UNESA gimana, To?”
“Yo ngono kae lah, Mas.”
“Style-nya arek UNAIR ki keren-keren, Mas. Ini beneran,” timpal Naima.
“Tapi untuk gedung, aku setuju sama Dito, Mas. Awalnya aku yaudah bisa nerima fakta kuliah di UNESA, tapi begitu main ke UNAIR, langsung menyesal lagi sampai sekarang.”
“Kok gitu?”
“Karena memang kebanting, Mas. UNAIR itu menang segalanya. Dari kantin saja, duh. Kantin UNAIR mirip kayak resto, kantin UNESA kayak kantin pabrik. Lalu bicara parkiran, parkiran UNAIR mirip parkiran mall. Sedangkan UNESA, bisa parkir aja alhamdulillah.”
Kami bertiga tertawa. Saya tertawa ngakak, mereka tertawa getir.
Dito menimpali, “dan yang bikin itu menyedihkan adalah, Mas, UNAIR dan UNESA itu UKT-nya hampir sama.”
Yang bikin mereka begitu menyesal tak keterima UNAIR
Gedung, fasilitas, memang bisa jadi faktor orang menyesal tidak keterima kampus favorit. Tapi, selalu ada hal yang bisa bikin orang benar-benar menyesal meski tak berwujud. Dan bagi Dito, yang bikin dia selalu menyesal tidak masuk UNAIR adalah kultur akademisnya.
“Di UNAIR, Mas, diskusinya hidup. Soalnya ya ditunjang fasilitas juga. Gazebo banyak, tempat kumpulnya banyak, Mas. Bandingkan dengan fakultasku, Mas, gazebo cuma ada dua. Dari situ saja udah keliatan gap-nya kayak apa.”
“Kalau Naima?”
“Kesempatan di UNAIR itu terbuka lebih banyak, Mas. Dalam hal apa pun. Ini sih yang bikin menyesal.”
Kultur akademik dan kesempatan, memang dua hal yang jadi alasan orang-orang memutuskan kuliah. Jika itu tak ada, atau kurang, saya rasa siapa pun akan merasa kurang dalam menjalani kuliahnya.
Silver lining
Tiba-tiba, Naima nyeletuk, bahwa ada untungnya juga kuliah di UNESA.
“Ada enaknya loh kuliah di UNESA, yaitu nggak masalah nggak punya duit. Makan bisa di angkringan, ya murah-murah lah. Coba di UNAIR, bahaya itu kalau nggak punya duit. Pasti tekor juga kuliah di sana.”
“Oh iya, sama kena culture shock bahasa. Bisa kenal -peh ya gara-gara di UNESA.”
Saya tertawa mendengarnya. Memang, selalu ada silver lining di tiap kesulitan yang ada dalam hidup. Dan saya pun juga menemukannya di percakapan ini, bahwa ternyata, UNY nggak buruk-buruk amat, dan untung saya hidup di Jogja.
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.