Bukan hal yang mudah bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan vaksin. Aksesibilitas menjadi persoalan utama, misalnya terkait lokasi maupun tempat pelaksanaan vaksinasi.
****
Bryan Arshena (30) mengangkat tangannya, menyatukan ujung jempol dan ujung jari telunjuknya. Ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, namun, tidak saya pahami karena seperti gumaman. Isyarat tangannya menunjukkan kata, ‘OK’ sebagai kode dia baik-baik saja ketika saya tanya perasaannya sehabis disuntik vaksin Sinovac.
Saya tahu, sesaat sebelumnya ia tampak panik saat jarum suntik masuk ke bahunya. Tangan kanannya memegang erat tangan ibunya, Carolina (66). Ibunya, berkali-kali mengingatkan untuk tidak melihat ke arah bahunya yang akan disuntik. Bryan akhirnya memejamkan matanya yang tampak berair ketika jarum suntik masuk ke bahunya.
Setelahnya, penyandang disabilitas tunarungu ini tertawa. Berkali-kali ia menepuk bahunya. “Baru pertama kali ini seumur hidupnya, Bryan ketemu jarum suntik, makanya dia takut,” kata Carolina. Bryan adalah satu dari sekitar 750 orang yang mengikuti vaksinasi yang digelar Rotaract Club of Yogyakarta Malioboro di kampus Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, Sabtu (24/7/2021). Vaksinasi di tempat tersebut diprioritaskan untuk lanjut usia (lansia) dan orang berkebutuhan khusus atau difabel, meski ada juga untuk peserta umum.
Carolina juga lega karena semua anggota keluarganya semua sudah divaksin. Ia sendiri sudah mengikuti vaksin untul lansia bulan Maret 2021. Sebelumnya ia mencoba mencari informasi untuk bisa vaksin Bryan dan adiknya yang bekerja di Surabaya. Namun, selalu penuh. Kebetulan ia mendapat informasi tentang vaksin untuk lansia dan penyandang disabilitas sehingga bisa mendaftarkan Bryan dan adiknya.
Rasa lega juga dirasakan Sri Suyati (41), sebelumnya ia takut untuk divaksin karena mendapat informasi simpang siur tentang efek vaksin. Ia juga takut dengan jarum suntik. Namun, saat orang-orang di sekelilingnya yang sudah divaksin masih bisa terkena Covid-19, ia berubah pikiran.
“Logikanya, orang yang sudah divaksin saja bisa kena, gimana orang yang tidak divaksin,” kata Sri Suyati penyandang disabilitas tunadaksa yang merupakan atlet panahan DIY. Selain alasan itu, ada sebab yang membuatnya akhirnya mau divaksin.
“November besok kan saya ikut Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) di Papua, nah sekarang kalau kemana-mana kan harus ada surat vaksin,” kata Sri Suyati.
Sri Suyati awalnya ingin ikut program vaksin untuk umum. Namun, melihat bagaimana orang antre panjang dan lama, ia mengurungkan niatnya. Sampai kemudian ia mendapat kabar adanya program vaksin untuk penyandang disabilitas.
“Saya dapat info ada yang antre dari jam 2 pagi untuk dapat vaksin. Selain itu katanya sampai uyuk-uyukan. Untungnya dapat info kalau ada vaksin untuk difabel,” kata Sri.
Saya melihat seorang perempuan di atas kursi roda nampak agak kecewa saat tenaga kesehatan mengatakan tensinya terlalu tinggi. Ida Ayu (63), penyandang disabilitas tunadaksa itu jauh-jauh datang dari Sewon Bantul menggunakan Go-Car untuk mendapatkan vaksin. “Ibu istirahat dulu, 15 menit. Nanti cek tensi lagi. Jangan tegang ya bu,” kata Nakes tersebut.
“Iya ini saya tegang, takut disuntik,” katanya. Ida Ayu mengatakan, meski ia takut disuntik, namun ia sangat ingin divaksin. Namun, ia mencari-cari tempat vaksin yang aksesbilitasnya menudukung difabel nggak ketemu. Untungnya dari informasi ya, adanya program vaksin yang memisahkan peserta umum dan penyandang disabilitas.
Rasa lega juga dirasakan Ardi (57), anaknya Kristian (19) akhirnya bisa mendapatkan vaksin. Ia sudah berkali-kali mencari tempat untuk mendapatkan vaksin selalu penuh. Ia mencari tempat vaksin yang tidak perlu menunggu terlalu lama mengingat anaknya yang merupakan anak berkebutuhan khusus.
Bambang Wijarnako (57), harus bersabar sampai kemudian ia mendapatkan kepastian untuk bisa mendapatkan vaksin. Ia sudah melewatkan beberapa kali vaksin karena punya komorbid diabetes. Semangatnya untuk mendapatkan vaksin akhirnya terbayar setelah hasil periksa terakhir gula darahnya normal.
“Sudah dua bulan ini saya rutin konsultasi dengan dokter agar gula darah normal, hari ini tadi cek normal. Saya sudah lama ingin vaksin, tapi selalu gagal karena gula darah tinggi terus,” katanya.
Hariyanto (42) Ketua National Paralympic Committe (NPC) DIY mengatakan, sebagai yang pihak yang digandeng olah Rotaract dan Dinkes Kota Yogyakarta ia bersyukur ada program vaksinasi yang dikhususkan kepada difabel. Menurutnya, banyak juga teman-teman difabel yang belum divaksin karena aksesbilitas lokasi atau tempat vaksin sulit untuk dijangkau.
“Pengalaman saya yang ikut vaksin di sebuah mall, peserta difabel dan umum digabung. Antrenya panjang, dan cukup melelahkan terutama bagi difabel yang tidak mendapatkan kursi untuk duduk, mereka berdiri menggunakan tongkat,” kata Hariyanto kepada Mojok.
Berangkat dari pengalam tersebut, Hariyanto rajin mencari informasi vaksin yang memberikan kuota untuk disabilitas dan membagikannya ke sesama penyandang disabilitas. “Kalau teman-teman di wilayah Kota Yogyakarta mungkin relatif mudah, namun kasihan teman-teman di kabupaten lain yang akses ke kotanya jauh. Banyak dari mereka yang belum mendapatkan vaksin,” kata Hariyanto.
Ia berharap, akses vaksin utuk disabilitas di kabupaten-kabupaten lain juga memberikan kuota untuk disabilitas dan dipertimbangkan aksesbilitasnya. “Ada teman dari Kulonprogo, ingin ikut di Kota Yogya, kan kasihan jauh banget, alangkah baiknya juga ada program-program vaksin untuk difabel di kota-kota lain,” kata Hariyanto.
Data Bappeda DIY di aplikasi Dataku, jumlah penyandang disabilitas mencapai 27.129. Yogyakarta sendiri sudah membuat program vaksinasi massal inklusif yang diikuti 300 penyandang disabilitas yang berlangsung 16-17 Juni 2021. Kegiatan itu menjadikan Yogyakarta sebagai sentra pertama vaksin ramah disabilitas.
Menurut drg Jessica Regina (23) program vaksinasi dari Rotaract Club Malioboro yang berlangsung di UKDW diikuti 750 orang. Jumlah tersebut terbagi atas peserta disabilitas, lansia dan peserta umum. “Untuk disabiltias dan lansia, kami beri tempat di halaman kampus. Sedang untuk peserta umum di aula kampus lantai dua,” ujarnya.
Jessica mengatakan, program yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta meski diprioritaskan untuk warga dengan KTP Yogyakarta, namun juga menerima peserta dengan KTP luar Yogya meski jumlahnya sedikit. Rotaract Club sendiri merupakan anak organisasi dari Rotary International yang merupakan organisasi sosial. Anggota Rotaract berusia 18-40 tahun dan berdedikasi pada pengabdian sosial.
BACA JUGA 21 Tahun Terkurung di Rumah dan Tak Sekolah, Bu Nani Dirikan PAUD liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.