Menjalani hubungan terbuka atau dikenal juga dengan istilah open relationship jadi pilihan sejumlah pasangan. Hubungan ini memperbolehkan masing-masing untuk melakukan hubungan seksual dengan orang selain pasangannya. Terjadi komitmen untuk menjalani hubungan yang terbuka.
Konsep ini mirip dengan hubungan poliamori. Hal yang membedakan, poliamori cenderung lebih ke arah hubungan romantis dengan orang selain pasangannya. Sedangkan open relationship, diasosiasikan dengan hubungan seks semata. Belakangan, meski dianggap tabu, menjalani hubungan semacam ini dilakukan oleh segelintir pasangan di Indonesia.
Mojok berbincang dengan seseorang yang mengaku sudah menjalani open relationship selama setahun belakangan. Ia menceritakan hal yang melatarbelakanginya mengambil jalan ini. Meski penuh tantangan dan gejolak batin. Berikut ini pengakuannya yang dituliskan dengan sudut pandang orang pertama.Â
***
Sampai saat ini aku masih teringat dengan sosok dokter perempuan yang kutemui lewat aplikasi kencan akhir 2021 silam. Dia, bukan hanya jadi teman tidur yang menyenangkan, tapi juga tempat berbincang yang nyaman. Pengetahuannya luas dan kami punya banyak kesamaan.Â
Dia sempurna. Aku merasakan kenyamanan sebelum, saat, dan sesudah melakukan hubungan seks dengannya. Tapi hal itu justru membuatku khawatir. Aku tak ingin terbawa perasaaan dan membuat ini semakin rumit. Ada istri yang menantiku di rumah.
Aku ceritakan semua kondisiku kepada teman tidurku tadi. Perempuan itu memahami bahwa aku sudah beristri dan kami sepakat bahwa jika hubungan ini berlanjut akan banyak mendatangkan situasi yang sulit. Akhirnya kami berdua saling menjauh dan tidak berkomunikasi lagi.
Begitulah, salah satu hal sulit yang aku jumpai selama menjalani open relationship atau lebih tepatnya open marriage. Aku dan istri sepakat untuk menempuh jalan yang tidak biasa ini sejak akhir 2021 lalu. Keputusan ini kami ambil di usia pernikahan yang menginjak tahun kedua.
Sebelum bercerita lebih panjang, baiknya kuperkenalkan diriku terlebih dahulu. Sebut saja namaku Dimas dan asalku dari Sumatra. Aku tidak ingin bercerita lebih jauh tentang tanah kelahiranku.Â
Saat ini usiaku 31 tahun. Aku bekerja di sebuah agensi periklanan di Jakarta sejak 2016. Istriku berusia beberapa tahun lebih tua dariku dan bekerja sebagai human capital di sebuah perusahaan swasta di Jakarta.
Jika bercerita jauh ke belakang, aku adalah orang yang cukup memegang teguh norma-normal sosial. Kalian boleh tidak percaya, tapi hingga jelang menginjak usia kepala tiga dan menikah, aku belum pernah sama sekali melakukan hubungan seksual. Saat itu aku punya keyakinan bahwa tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah adalah satu-satunya jalan keselamatan.
Tapi, istriku tidak begitu. Ia adalah seorang petualang yang sudah punya banyak pengalaman seksual. Aku menerima semua itu karena bagiku menikah bukan sekadar transaksi keperawanan. Meski aku punya prinsip untuk menghindari seks sebelum menikah. Aneh memang, tapi itulah yang terjadi saat kamu bertemu sosok yang menurutmu tepat.Â
Sebelum menikah, dia sudah menceritakan segala detail tentang masa lalunya. Rekam jejak hubungan yang mencakup beberapa lelaki yang pernah tidur dengannya. Aku kira, semua hal di masa lalunya sudah selesai. Tapi ada satu yang belum ia ceritakan dan sempat membuat hubungan kami nyaris goyah.
Ada satu hubungan istriku yang belum selesai. Hal itu aku ketahui saat usia pernikahan kami belum genap setahun. Ia masih melakukan kontak lewat WhatsApp dengan seorang lelaki dari masa lalunya. Mereka akan bertemu tapi menunggu momen di mana aku akan tugas ke luar kota.
Jika itu terjadi, aku yakin mereka akan tidur bersama. Namun, aku memergoki komunikasi mereka terlebih dahulu. Hingga akhirnya istriku berterus terang dan mengakui semuanya. Itu jadi salah satu fase awal hubungan kami mengalami ketegangan.