Keputusan menjalani open relationship
Usai kejadian itu, kami melewati fase pernikahan di masa pandemi. Situasi berat ini mengharuskan kami lebih sering menghabiskan waktu berdua di rumah. Hal itu nyatanya bukan menjadi berkah melainkan memantik sejumlah masalah.
Kehidupan seksual istriku bisa dibilang sudah cukup matang. Ia punya banyak pengalaman. Sehingga saat kami menikah, gairahnya sudah tidak terlalu tinggi lantaran ini aktivitas ini bukan hal yang baru lagi. Ia tidak membutuhkan hubungan seks yang terlalu aktif.
Hal berbeda aku rasakan. Pengalaman baru yang aku rasakan setelah menikah membuatku ingin terus melakukan aktivitas seksual. Sebutuh itu aku terhadap seks.
Kendati begitu, aku tidak ingin memaksa istriku untuk terus melayaniku. Hal itu bertentangan dengan prinsip yang aku percaya. Sekalipun berumah tangga, bagiku seks adalah kesepakatan bersama. Namun, sempat ada pertengkaran mengenai aktivitas intim kami.
“Kamu seperti sudah tuntas dengan hubungan seksual. Tidak terlalu sering tidak masalah sedangkan bagiku belum cukup. Aku nggak mau kita bertengkar karena seks,” ucapku padanya.
Sekalipun penting, seks sebenarnya bukan segalanya dalam hubungan. Aku tidak ingin terjadi pertengkaran karena seks dan ingin hubungan kami tetap bertahan.
Beruntungnya, dia akhirnya bisa paham dengan situasi yang aku rasakan. Ia melihatku layaknya dirinya di masa lalu. Selain itu, usia yang lebih tua dariku mungkin jadi faktor yang membuatnya lebih tenang dalam menghadapi situasi ini. Hingga akhirnya kami sepakat menjalani open relationship.
“Aku mau asalkan kamu selalu terbuka dan cerita,” ucapnya saat menyepakati sebuah fase baru dalam hubungan kami ini.
Selain pasangan, ia memposisikan diri sebagai sosok kakak bagiku. Saat mulai menjalani open relationship, ia kerap memberikan saran padaku. Termasuk membantu memilih perempuan yang hendak aku kencani. Kadang ia menyarankan agar aku tidak menemui perempuan tertentu yang ia anggap terlalu agresif dan kurang sreg baginya. Semua saran itu aku dengarkan dan terima sebab itulah konsekuensi hubungan ini. Ya, kami harus saling terbuka sedetail-detailnya.
Kami memahami open relationship sebagai kesepakatan pasangan untuk bertemu dan jalan dengan lawan jenis. Termasuk tidur bersama orang lain. Akan tetapi dalam setiap kesempatan kami akan menyampaikan satu sama lain.
Biasanya dua atau tiga hari sebelum aku menemui perempuan lain, aku akan meminta izin istriku. Begitu pula sebaliknya. Kami melihat ini hanya untuk kebutuhan hiburan semata dan berkomitmen untuk tidak menjalin hubungan yang serius dan intens dengan teman kencan yang kami temui.
Sejak pengalaman pertama bertemu dan tidur bersama dokter itu, aku sudah beberapa kali mengencani perempuan lain. Kebanyakan kami berkenalan lewat aplikasi kencan. Namun, sesekali juga saling kenal lewat akun alter di Twitter.
Satu hal yang pasti, setiap hendak mengajak bertemu, aku selalu menjelaskan jati diri bahwa aku sudah beristri. Lalu menjelaskan apa yang aku cari darinya saat kami bertemu. Tentu banyak di antara kenalan baru itu yang akhirnya tak berlanjut ke fase pertemuan. Namun, bagiku itu tidak masalah.
Sesekali bahkan aku bertemu dengan perempuan namun tidak berakhir di ranjang. Saat bertemu di kafe atau bar, kami terlibat obrolan yang cukup menyenangkan. Sampai terkadang, mood untuk tidur bersama jadi hilang.
Lelah menjalani open relationship
Terkadang kepuasan yang aku rasakan dari bertemu dengan orang-orang ini tidak sebatas hubungan seks saja. Kenyamanan itu seringkali bisa datang dari sebatas ngobrol atau minum bir saja. Obrolan-obrolan ini seringkali tidak aku dapatkan dari istriku sehingga tanpa seks pun aku merasa sedikit senang.
Menjalani hubungan seperti ini memang terkadang membuatku merasa lelah. Ada proses-proses panjang yang harus dilewati saat bertemu orang baru. Setiap bertemu tentu aku perlu membangun perbincangan, chemistry, dan vibes yang sama agar bisa nyaman. Dan itu terkadang melelahkan.
Pada satu dua kesempatan, ada juga perempuan yang terasa tidak ‘klik’ saat bertemu. Jangankan berakhir tidur bersama, untuk berbincang saja tidak nyambung. Barangkali aku tidak sesuai yang dia ekspektasikan. Aku pribadi tidak suka menghakimi orang berdasarkan penampilannya sehingga aku tidak suka diperlakukan demikian.
Tantangan lain yang harus aku hadapi adalah menjaga perasaan dan mengontrol pikiran. Aku harus meyakinkan diriku bahwa apa yang aku lakukan ini hanyalah untuk kesenangan semata. Hubungan seriusku ada di rumah dengan istri.
Aku tidak bisa memungkiri bahwa perasaan ini suatu waktu tidak bisa dikontrol. Bisa saja aku tersandung dan terbawa perasaan pada orang baru yang aku temui. Namun sejauh ini semuanya masih bisa aku kendalikan.
Situasi yang aku alami sekarang juga kadang mendatangkan gejolak batin. Meski kami sudah sepakat, aku sering merasa khawati dengan istriku di rumah. Apakah dia merasa ikhlas saat aku bermalam dengan orang lain?
Aku juga merasakan perang batin. Aku masih mempercayai agama dan punya keyakinan. Hal yang aku jalani sekarang tentu berseberangan dengan prinsip agamaku. Terkadang aku terbayang diriku yang dulu begitu lurus, namun bisa berakhir seperti sekarang.
Jika ada yang bertanya, apakah aku puas setelah menjalani open relationship? Ternyata bagiku tidak hati ini tak sepenuhnya merasakan kepuasan dan ketenangan. Aku merasa sebagian kebutuhanku terpenuhi. Namun, seringkali saat menjalani ini semua pikiranku melayang membayangkan istriku.
Namun di sisi lain, aku tidak mau membebaninya dengan kebutuhan seksualku yang tinggi ini. Sampai aku menceritakan kisah ini wartawan Mojok, yang mewawancaraiku, aku masih terus menjalani open relationship.
Sejauh ini, aku sudah menceritakan kondisi yang aku jalani dengan istriku pada beberapa orang terdekat. Adikku tahu situasi yang aku jalani. Ia memahami dan tidak tidak berkomentar apa-apa. Tentu aku hanya bercerita garis besar dari konsep hubunganku saja, bukan pada detail ceritanya.
Saat ini, aku dan istriku belum memiliki momongan. Jika kelak sudah punya anak, tentu kami akan mengevaluasi dan memikirkan lagi bagaimana cara terbaik untuk menjalani hubungan ini. Tapi untuk sekarang, open relationship masih jadi pilihan. Aku pun bukan tergolong terlalu sering mencari orang baru, hanya ketika istriku tidak bisa menemani di saat aku butuh.
***
Selain Dimas, Mojok juga sempat berbincang singkat dengan perempuan muda bernama Cinta*. Ia saat ini menjalani open relationship dengan pacarnya. Hal itu ia lakoni lantaran selama ini menjalani hubungan jarak jauh.
Meski begitu, ia mengaku tidak yakin bisa menjalani hubungan semacam ini di fase pernikahan. Baginya, hubungan yang ia jalani sekarang ini masih dalam tahap coba-coba.
“Meskipun pacarku itu pengen open relationship kalau misal sudah menikah nanti, aku nggak yakin bisa,” ujarnya.
Mereka yang menjalani hubungan semacam ini memang punya berbagai alasan berbeda yang mendasari. Psikolog Meity Arianty mengatakan bahwa setiap pasangan yang menjalani hubungan ini cenderung menerapkan aturan yang berbeda-beda.
“Mereka membuat aturan yang paling pas buat mereka. Misal tidak boleh cemburu, tidak boleh mengatur, tidak boleh melihat handphone pasangannya, tidak boleh membahas atau membandingkan dirinya dengan orang lain. Hanya boleh melakukan hubungan satu kali dengan orang yang sama, tidak boleh kencan dan melakukan hal romantis,” jelas Mei dilansir dari Detik.
Mei menjelaskan, selain perkara ketabuan, hubungan semacam ini punya beberapa risiko. Bagi mereka yang menjalani dalam hubungan pernikahan, risiko perceraian akibat rasa cemburu dan curiga sangat berpotensi terjadi.
Selain itu, risiko terbesarnya adalah potensi penularan penyakit seksual. Bergonta-ganti pasangan, terlebih dengan orang asing, punya potensi menimbulkan beragam penyakit seksual. Mereka yang menjalani hubungan semacam ini perlu memahami risiko-risiko ini.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono