Pengalaman Melakoni Tradisi Mbrandu di Gunungkidul, Daging Murah dari Ternak Sekarat

Ilustrasi Pengalaman Melakoni Tradisi Mbrandu di Gunungkidul, Daging Murah dari Ternak Sekarat. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Kasus antraks di Gunungkidul memakan korban jiwa. Tradisi mbrandu disebut sebagai salah satu penyebab penularan antraks dari hewan ternak ke manusia. Mojok berbincang dengan warga Gunungkidul yang pernah melakoni tradisi tersebut.

***

Sebanyak 12 hewan ternak yang terdiri enam ekor sapi dan enam ekor kambing mati karena bakteri bacillus anthracis di Padukuhan Jati, Kalurahan Candirejo, Kapanewon Semanu, Gunungkidul. Matinya hewan tersebut kemudian diduga yang menyebakan sebanyak 87 warga positif antraks. 

Dinas Kesehatan Provinsi DIY kemudian menyatakan tiga orang meninggal dunia setelah terlibat dalam tradisi mbrandu. Satu orang di antaranya ikut prosesi penyembelihan sapi yang sudah mati di Semanu, Gunungkidul. Dua lainnya diketahui hanya sekadar mengonsumsi dagingnya.

“Dua orang di antaranya meninggal bukan karena antraks, meski gejalanya sama dengan antraks seperti panas, demam dan pusing tapi bukan antraks,” kata Kepala Dinas Kesehatan DIY, Pembayun Setyaningastutie di kantor Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Daerah Istimewa Yogyakarta (DPKP) DIY, Kamis (06/07/2023).

Saat menyembelih, warga belum mengetahui bahwa sapi yang mati sakit tersebut terjangkit antraks. Warga baru mengetahui kondisi ternak tersebut sakit setelah ada pemeriksaan sampel tanah bekas tempat penyembelihan dan penguburan.

Mbrandu, tradisi untuk meringankan beban pemilik ternak

Tradisi mbrandu sudah jadi kebiasaan lama bagi warga Gunungkidul, bukan hanya di Semanu. Tradisi ini merupakan upaya meringankan pemilik ternak dengan membeli hewan sakit yang berpotensi mati atau dalam kondisi sekarat. Dalam kasus yang lain, seperti yang terjadi Mei 2023, warga melakukan mbrandu ketika ternak sudah mati terkubur baru kemudian warga menyembelih dan mengonsumsinya.

Purwanti (53) warga Tawarsari, Wonosari bercerita sudah lazim dengan tradisi mbrandu. Terutama sebelum tahun 2010-an. Saat itu, rumahnya yang terbilang dekat dengan pusat kabupaten Gunungkidul masih relatif banyak orang yang memelihara ternak.

“Tempat saya lumayan dekat kota. Dulu masih ada beberapa yang pelihara ternak, terutama orang-orang tua,” tuturnya.

Warga umumnya melakukan tradisi itu saat ada tetangga yang memiliki ternak sakit, mendam akibat keracunan pakan. Berpotensi mati tak termanfaatkan jika tidak segera disembelih.

Untuk hewannya, Purwanti mengaku lebih sering mbrandu kambing. Alasannya karena harga kambing memang relatif lebih murah. Sapi, meski kondisinya sudah sekarat biasanya harganya masih di atas Rp1 juta.

Ia ingat, setidaknya sudah tiga kali ikut mbrandu kambing di lingkungannya. Terakhir pada pada medio 2010 lalu, saat itu ia hanya ikut urun Rp40 ribu dan sudah bisa mendapatkan beberapa kilogram daging kambing.

“Ya setiap mbrandu itu saya makan sama keluarga, anak saya juga makan,” katanya.

Suasana salah satu pasar hewan di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. (Dok Mojok.co/Sidratul Muntaha)
Suasana salah satu pasar hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta. (Dok Mojok.co/Sidratul Muntaha)

Untuk mekanisme harga, biasanya tergantung berapa orang yang ikut mbrandu. Umumnya harga seekor kambing dengan kondisi sakit jelang mati tidak sampai Rp300 ribu.

“Misal harga Rp200 ribu, ada 10 yang minat ya bayar masing-masing Rp10 ribu. Dulu saya harga segitu untuk lima orang,” kenangnya.

Tradisi mbrandu hanya untuk hewan mendam

Sepengalaman Purwanti ikut mbrandu, tidak pernah sekalipun ia menyaksikan ada yang menyembelih sapi atau kambing mati. Hanya hewan yang sakit, terkhusus lagi sakit karena keracunan pakan atau mendam.

Masyarakat biasanya memberi makan hewan ternaknya dengan  pakan tebon atau jengki, sebutan untuk kulit ketela sisa panen. Jengki yang belum benar-benar kering biasanya berpotensi membuat kambing mabuk atau mendam, terkadang sampai sekarat.

Warga juga umumnya pilih-pilih, terbatas hanya untuk hewan yang kondisinya benar-benar mendam. Bukan yang punya kondisi sakit lain bahkan menular, apalagi sudah mati sebelum penyembelihan.

“Kalau kambing bukan yang mau mati karena penyakit. Kalau sakit nggak mau. Jadi maunya yang kayak karena keracunan pakan,” tegasnya. 

Purwanti mengatakan, mengonsumsi olahan daging kambing yang keracunan pakan kemudian segera disembelih sebelum mati tidak ada bedanya saat mengonsumi daging kambing yang sehat. Namun, berbeda kalau mengonsumi daging dari kambing yang sudah mati baru disembelih.

“Ayam mati saja rasanya sudah beda. Apalagi kambing,” imbuh Purwanti.

Kalau mbrandu sapi, umumnya warga enggan mbrandu karena harganya masih relatif mahal. Biasanya pemilik sapi sakit akan menawarkan ke pedagang daging.

“Sapi itu kondisi sakit masih laku Rp2 juta. Pedagang daging jual lagi, mesti untung banyak itu,” katanya.

Dulu masih jarang ada penyakit hewan

Ia menuturkan beberapa tahun terakhir tak pernah ikut mbrandu lagi. Jumlah orang yang memelihara ternak di kampungnya semakin berkurang. Jika ada pun, tidak ngarit atau mencari rumput sendiri di ladang untuk kebutuhan pakan sehingga jarang keracunan.

Menurutnya, dulu masih jarang ada penyakit hewan ternak yang beraneka ragam seperti sekarang. Sehingga warga cukup tenang untuk melakoni tradisi ini.

Meski relatif selektif dalam memilih hewan yang hendak untuk mbrandu, Purwanti mengaku ada beberapa kejadian yang cukup membuatnya miris terkait konsumsi daging. Pernah suatu ketika, anjing peliharaan keluarganya mati.

“Kayanya sih itu keracunan,” terangnya.

Namun, saat hendak menguburkannya, ada warga yang nembung untuk memanfaatkan dagingnya. “Tak gorenge wae,” ujar Purwanti menirukan ucapan warga yang meminta daging tersebut.

Melansir Sorot.co, daging anjing memang masih memiliki peminat di Gunungkidul. Seorang penjual olahan anjing sengsu (tongseng asu), pada 2018 lalu bisa menjual lebih dari 25 porsi sehari yang setara dengan seekor anjing usia delapan bulan.

Baca halaman selanjutnya

Tradisi mbrandu itu lazim dan tidak selalu buruk

Tradisi mbrandu itu lazim dan tidak selalu buruk

Warga Gunungkidul lain, Tri Marsudi (43) mengungkapkan bahwa mrandu sudah jadi tradisi biasa. Bahkan tidak hanya berkaitan dengan hewan yang sedang sakit atau sudah mati.

“Tidak harus hewan kena penyakit. Saat warga kumpul pengin makan daging, ya langsung mbrandu istilahnya,” paparnya saat Mojok hubungi, Rabu (12/7).

Sapi-sapi di salah satu pasar hewan di DIY. (Dok. Mojok.co/Sidratul Muntaha)

Para warga tinggal menghubungi pemilik ternak di lingkungannya, menentukan harga, lalu menyembelih dan mengolah bersama-sama. Meski tidak memungkiri, mbrandu lazimnya saat ada hewan ternak tetangga yang sakit.

“Kondisi sebelum mati lho ya,” tegas Kepala Dukuh Kedungpoh Lor, Kedung Poh, Nglipar, Gunungkidul ini.

Seperti pemaparan Purwanti, lazimnya hewan sakit karena keracunan pakan. Ketika sakitnya bukan karena hal itu warga biasanya enggan untuk urun dana untuk membeli dagingnya.

Terlebih, beberapa tahun terakhir saat beragam penyakit menjangkiti ternak, warga semakin hati-hati. Tradisi mbrandu pun jarang mereka lakukan lagi.

Warga pemilik sudah mulai biasa mengundang dokter hewan saat ada ternaknya yang sakit. Umumnya mereka punya konsensus bersama kalau hewan yang sudah pernah dokter suntik, tidak boleh dibrandu. Meski terkadang ada warga yang nekat untuk tetap mengonsumsi hewan yang pernah mendapat suntikan obat penyakit dari dokter.

Jagal sapi nakal hingga warga pedot gali kubur

Di kampungnya, Tri belum pernah menemui warga yang mbrandu hewan ternak yang sudah mati. Namun, ia mengaku beberapa kali menemukan di tempat lain beberapa kasus jagal sapi nakal yang membeli sapi yang sudah mati.

“Kalau sapi memang biasanya kelasnya langsung ke jagal, ke bakul (penjual). Kalau tempat saya sejauh ini, mati ya sudah dikubur atau untuk pakan lele,” tuturnya.

Biasanya jagal yang mengetahui baru ada sapi mati langsung menghubungi pemiliknya. Harga murah dari sapi yang sakit atau mati berpotensi membawa banyak untuk bagi penjual nakal.

Selain itu, praktik-praktik menggali kuburan hewan yang baru mati memang pernah terjadi di sekitarnya. Tapi Tri menggarisbawahi, biasanya yang melakukan adalah orang-orang pedot. Istilah yang ia gunakan untuk orang yang mabuk atau dalam pengaruh obat-obatan.

“Dulu kaya gitu paling cah-cah pedot. Tahu ada hewan baru dikubur terus mereka gali. Entah akhirnya mereka konsumsi atau gimana,” terangnya.

Tradisi yang telah berkembang di masyarakat ini memang jadi salah satu penyebab maraknya kasus antraks di Gunungkidul. Hal ini telah menjadi perhatian Kabid Kesehatan Hewan Ternak Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Gunungkidul, Retno Widyastuti menegaskan tradisi dengan niat baik ini sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa.

“Itu adalah salah satu hal membikin kita tidak berhenti-berhenti ada antraks itu mergane (karena) kalau dipotong itu kan bakteri yang ada di darah itu mengalir keluar berubah menjadi spora. Spora itu yang tahan puluhan tahun,” kata Retno Rabu (5/7), melansir CNN Indonesia.

Selain upaya edukasi, Dinas Peternakan Gunungkidul juga mengklaim sedang membahas aturan kompensasi hewan ternak yang mati. Hal ini setidaknya, supaya warga tidak terus menerus melakukan tradisi berbahaya ini.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Dilema Mahasiswa yang Nggak Lulus-lulus Kuliah karena Asyik Bekerja hingga Bantu Proyek Dosen

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version