Seorang mantan bandar judi tingkat kampung di Ponorogo memberikan pengakuan lika-liku dunia judi di Jawa Timur bagian selatan. Bagi mereka, berjudi adalah pekerjaan.
***
Judi dadu di Ponorogo
Saya bertemu dengan Mbah Nur (56) kenalan saya yang cukup berpengalaman di dunia perjudian, akhir Januari 2022. Pada masa emasnya, tahun ‘90-an dulu, beliau aktif menjadi penjudi sampai menjadi blandar atau bandar judi dadu di Ponorogo, Jawa Timur.
Beda tempat, beda penyebutan. Daerah Trenggalek-Tulungagung, mengenal permainan yang dibandari Mbah Nur disebut “klothok” (vokal “o” diucapkan dengan bibir mecucu), ada juga yang menyebutnya “koprok”, ada yang menyebutnya “kopyok”, banyak istilah orang menyebut jenis judi ini, sedangkan di Ponorogo, disebut judi dadu.
“Permainan dadu itu menggunakan tempurung kelapa, beberan, dan mata dadu.” Mbah Nur meminta saya mencari kertas dan pulpen untuk oret-oretan. “Ini misalnya beberan Mas, ada beberapa tulisan ‘besar’ untuk prediksi total jumlah angka dadu dari 11 sampai 18. Ada juga tulisan ‘kecil’ untuk prediksi total jumlah angka dari 3 sampai 10.
Aturannya sederhana, misalnya setor Rp100 ribu dan kebetulan jumlah angkanya sesuai prediksi, maka kita memperoleh Rp100 ribu juga. Ada juga kolom angka dadu dari 1 sampai 6, jika penjudi pasang taruhan di angka 6, dan ada satu dadu yang keluar di angka 6, maka dia juga menang taruhan.
Setelah selesai dikocok, ketiga dadu tadi masih ditutup batok kelapa, peserta judi dipersilahkan memasang taruhan di atas tulisan kecil, besar, atau angka dadu. Pemenang ditentukan setelah batok kelapa dibuka.
Nantinya, kocokan dadu akan dimulai lagi setelah uang peserta yang kalah ditarik bandar, dan yang menang telah dibayar lunas.
Ada aturan khusus bernama udu betel (sebutan Ponorogo) atau clirit (Tulungagung-Trenggalek). Jika penjudi pasang taruhan di angka 3 dan 4 dan selanjutnya dadu menunjukan angka 3 dan 4 pula, maka penjudi berhak memenangkan uang taruhan awal dikali 6. Misal mulanya pasang Rp500 ribu, dia berhak mendapat Rp3 juta.
Supaya lebih mudah Anda memahaminya, saya sertakan link video judi dadu di bawah ini:
Alice Hewing dalam bukunya Something for Nothing:History of Gambling mengemukakan kalau judi ini sudah ada sejak masa Mesir kuno. Judi dadu juga sudah mulai dikenal pada masa itu. Judi dadu makin populer saat zaman Romawi kuno. Bahkan Raja Nero menganggap judi dadu sebagai bagian penting dalam kerajaan.
Mental yang diperlukan seorang bandar
Menurut Mbah Nur, untuk mengelabui polisi, para penjudi itu hingga kini selalu dapat kabar jika ada operasi. Maka mereka akan segera pindah tempat. Kalaupun tidak, mereka mainnya skala kecil. Menurut pengalaman Mbah Nur, biasanya penjudi tertangkap gara-gara ada pemain dari luar. Kebetulan dia kalah lalu dia cerita ke banyak orang.
“Begitu kedatangan orang luar, kebanyakan bocor.” Kalimat ini sangat ditekankan Mbah Nur. Mungkin beliau dulu sering merugi gara-gara ulah orang-orang seperti ini.
“Tetapi kalau lingkup satu desa, ya aman.” Mbah Nur melanjutkan. Seingat Mbah Nur, durasi penahanan di waktu itu juga tidak panjang, cuma sekitar 3-4 bulan.
“Judi itu penyakit masyarakat Mas, dan judi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Ada kartu, dadu kodok ulo, klethek, ayam jago, banyak. Dari yang sederhana seperti tebak-tebakan nomor plat bus yang datang di terminal saja bisa. Makanya operasi polisi itu rutin, karena memang tidak bisa hilang,” Mbah Nur bicara sambil melihat-lihat beberan yang dia sketsakan tadi.
Dalam pandangan saya, judi ini mirip seperti penyakit batuk pilek. Walaupun sekarang sembuh, masih ada kemungkinan orang tersebut sakit dengan keluhan yang sama di lain hari.
“Judi pada dasarnya tempatnya orang malas. Dengan modal Rp500 ribu, lumayan kan kalau bisa menang, pikiran orang judi selalu membayangkan bisa menang terus,” tutur Mbah Nur.
“Kalahnya bandar itu kalau penjudi sudah tidak berhasrat main lagi. Misal, awalnya dia pasang sampai Rp1 juta, karena sudah dapat uang, dia cuma keluarin Rp50 ribu. Kalau kayak gitu, bandarnya sudah down. Otaknya wes bubrah, karena kembalinya uang tidak mungkin sebanyak tadi,” kenang Mbah Nur.
“Justru kalau penjudi semakin mengeluarkan banyak uang, dia makin senang,” Mbah Nur melanjutkan.
Menurut pengalaman Mbah Nur, salah satu faktor yang paling menentukan menang atau kalahnya bandar adalah mental. Mbah Nur lantas menceritakan satu aturan main dadu yang paling ditakuti bandar.
“Ada satu aturan main dadu yang ekstrim, yaitu beli semua bagian kecil, atau semua bagian besar. Jika si penjudi memprediksi angka yang keluar besar, orang lain tidak boleh ada yang pasang taruhan di kotak besar, harus kecil semua. Nanti semua uang bandar dihitung,” suara Mbah Nur mengeras.
“Jika tebakannya salah, dia harus bayar semua penjudi di bagian kecil, termasuk uang bandarnya. Kejamnya, jika angka yang keluar sesuai prediksi, maka semua uang yang dipasang di sisi kecil, sekaligus semua uang bandar yang sudah dihitung, akan menjadi miliknya.
“Kalau sudah ada penjudi yang begini, bandar bakal ngewel dan down mentalnya. Makanya gampang kalah,” Mbah Nur kembali menekankan.
Di masa Mbah Nur masih aktif, rata-rata nominal judi sekitar Rp20 rupiah. Jika punya uang banyak, mereka berani pasang sampai Rp100 ribu. Walaupun gaji Mbah Nur di waktu itu belum ada Rp1 juta.
Uang itu terbilang besar untuk ukuran tahun 1990-an. Penjudi tidak selalu bawa uang banyak. Solusinya mereka ngutang dulu. “Ya biasanya utang dulu. Penjudi itu tidak banyak memperhitungkan hal seperti itu, dan tiap lokasi judi itu pasti ada orang menyediakan utang. Sebagai ganti, nanti motor ditinggal. Pegadaian gelap cepat di lokasi tersebut.”
Zaman itu, biasanya Mbah Nur berjudi di ruko-ruko pasar, pernah di Pasar Balong, Bungkal, Jetis, Sawoo, waktu itu hampir di setiap pasar ada. Lokasi favorit lainnya yaitu di bawah pohon, dan waktu berjudinya pun tidak menentu, bisa siang bisa malam.
“Tergantung Mas, ada operasi dari polisi atau tidak. Kalau ada operasi ya nggak main,” kenang Mbah Nur sambil tertawa.
“Biasa orang berhenti berjudi gara-gara apa Mbah?” Saya membayangkan mereka berhenti ketika mendapat hidayah, bertengkar dengan istri, atau hal lain yang berhubungan dengan kesadaran diri.
“Berhentinya ya gara-gara nggak punya uang, gitu aja. Kalau ada uang, ya ikut main lagi,” ungkap Mbah Nur tanpa babibu.
Selama menjadi bandar judi dadu, Mbah Nur merasa jarang sekali kekurangan uang. Karena posisinya yang menguntungkan, selama ada yang main ke lapaknya, kemungkinan besar beliau bisa menang. Ibarat main lima kali, beliau mungkin cuma kalah satu kali.
Ketika datang ke tempat judi, bandar seperti Mbah Nur harus bawa uang banyak. Dan uang tersebut harus dipamerkan atau di-engkresi (disombongkan). “Ini lo uangnya Rp10 juta, dan ini ditumpuk di samping kita,” Mbah Nur memperagakan. Semua itu dilakukan supaya penjudi yakin sama bandar.
Orang yang sudah biasa main, mereka akan bertaruh di kotak yang sama, jika awalnya setor di sisi besar, kemudian kalah sebesar Rp1 juta, nantinya dia setor lagi Rp2 juta di sisi yang sama, begitu seterusnya. Sekali menang, dia bisa menutupi kekalahannya. “Kalau orang cari uang memang kayak gitu, setornya nggak pindah-pindah,” terang Mbah Nur.
“Judi secara langsung itu uangnya dipegang Mas, kalau uangnya menipis pasti terasa. Beda sama judi online yang viral akhir-akhir ini, karena uangnya di rekening, nggak terasa kalau uangnya habis,” Mbah Nur berkomentar tentang judi online yang menghiasi iklan Youtube-nya.
Judi yang eksis di jaman Mbah Nur
Di masa Mbah Nur aktif sebagai bandar judi, ada bermacam-macam jenis judi. Ada namanya dadu kodok ulo. Sisi-sisi dadunya ada gambar ular, kodok, klabang, sama burung, dadunya tidak kubus, tapi balok. Mainnya dengan memutar dadu tadi.
“Suaranya tirrrrrr (lidah Mbah Nur bergetar mengucap “rrr”), nanti dadunya ditutup dalam batok kelapa. Para penjudi harus diam supaya bisa mendengarkan suara “klithik” dari jatuhnya dadu. Keluarnya cuma satu sisi, antara kodok, klabang, ulo, atau burung,” Jelas Mbah Nur detail.
“Tapi kalau beda pemahat atau produk kan beda suara,” seloroh saya, mencoba mengusir kebingungan.
“Nah, makanya penjudi itu melihat alatnya juga, pernah dipakai atau dia ada pengalaman. Nggak orang ngawur main.”
Jika dalam judi kodok ulo para penjudi bisa memprediksi lewat bunyi klithik, pada judi dadu, para penjudi juga bisa memperkirakan besar dadu lewat sholahe (gerak) tangan si blandar.
“Bandar dadu itu juga sekolah tangan, dia bisa mengontrol dadunya mau dikeluarkan berapa. Sholahe ngene sholahe ngunu.” Mbah Nur mempraktikan cara beliau dulu mengolah tangannya supaya bisa memunculkan angka-angka tertentu.
“Sampean bisa?” Saya mengejar.
“Bisa, dulu diajari sama pakar-pakarnya.”
Mbah Nur mengungkapkan, waktu itu ada saja cara seorang bandar agar selalu menang. Ada yang menggunakan cara licik. “Misalnya ada yang dadunya dibor terus dipasang magnet, kemudian magnet satunya dipasang di bawah beberan. Dengan begitu, cukup mengontrol satu dadu, sudah cukup mempengaruhi besar kecilnya total angka. Pokoknya berbagai cara supaya menang.”
Film pendek tentang judi dadu di YouTube Cantik Studio.
“Ada juga yang menjepit dadunya dengan jempol.” Mbah Nur lantas mempraktekan caranya.
Selain dua jenis permainan yang dijelaskan Mbah Nur, ada juga yang namanya judi klethek. Pada permainan ini, terdapat 12 nomor tempat memasang taruhan. Benarnya tebakan ditentukan oleh kelereng yang nanti berhenti di angka pilihan penjudi. Kalau tebakannya tepat, uang awal Rp100 ribu bisa menjadi 1 juta, 10 kali lipat.
“Lo, namanya main, itu pekerjaan tetap. Bukan kesenangan. Memang untuk kehidupan,” ungkap Mbah Nur yang malah bikin saya tambah bertanya-tanya.
“Lha Njenengan dulu kan sudah ada pekerjaan tetap Mbah, kenapa masih jadi bandar dadu?” Setahu saya Mbah Nur bekerja sebagai pegawai negeri.
“Ya nekat cari uang. Tidak ada lainnya, alasan apapun ya uang. Apa lagi kalau kemarin kalah, akan lebih menggebu-gebu cari musuh buat mengejar uang yang hilang,” tegas Mbah Nur.
“Makanya, kalau modal uangnya banyak, ya kendel.”
Menurut Mbah Nur, penjudi umumnya menganggap apa yang mereka lakukan sebagai pekerjaan. “Kelihatannya nggak kerja, tapi uangnya banyak. Kebanyakan juga terlena karena menganggap besok bisa dapat uang lagi,” Mbah Nur menasehati sekaligus mencaci masa lalunya. “Kebanyakan, mereka pemalas, nggak mau jadi buruh, nggak mau ke sawah. Karena tahu enaknya cari uang.”
Mbah Nur menjelaskan kalau kebiasaan judi itu lahir dari lingkungan. Saat lingkungannya suka jago, ya dia suka jago. Mirip dengan kebiasaan anak sekarang, jika lingkungan suka main Mobile Legend, kemungkinan besar dia juga suka.
“Kalau sampean Mbah?” Saya lekas bertanya.
“Ya karena lingkungan, awalnya lihat, lama-lama ingin. Dua tahun jadi penjudi, selanjutnya jadi bandar. Menjiwai, karena memang suka.”
Kini setelah pindah tempat kerja, Mbah Nur sudah tidak seaktif dulu. Karena di lokasi baru tempat beliau bekerja, mayoritas masyarakat suka adu jago. Mbah Nur sendiri tidak tega melihat ayam sekarat, selain itu durasi adu jago itu lama, tidak secepat main dadu.
Reporter: Prima Ardiansah
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Soto Sapi EDS Wonosobo, Potongan Dagingnya Nggak Main-main dan liputan menarik lainnya di Susul.