Penari yang Pernah Jadi Sexy Dancer, Ingin Menari Sampai Tua

 Penari yang Pernah Jadi Sexy Dancer, Ingin Menari Sampai Tua

 Penari yang Pernah Jadi Sexy Dancer, Ingin Menari Sampai Tua

Ia seorang penari perempuan yang menjadikan menari sebagai sebuah ibadah. Memberikan ketenangan sekaligus menyadarkannya sebagai manusia. Ia pernah menjadi sexy dancer juga menjadi penari di pembukaan Asian Games. Cita-citanya, ingin menari hingga menua nanti. 

***

Ia Rara, perempuan bertubuh kecil dan memiliki rambut pendek yang bahkan tidak menyentuh pundaknya. Malam pada tanggal 02 Oktober 2021 itu ia menungguku di depan sebuah kedai kopi di daerah Selokan Mataram tempat kami membuat janji. Ia tampak lelah dan beberapa kali memandangi ponsel yang beberapa saat kemudian aku tahu baterainya hampir habis.

Sudah hampir satu tahun saya mengenal Rara, perempuan 29 tahun dengan aktivitas super sibuk sehingga nyaris mustahil memintanya meluangkan waktu sekadar berbincang mengenai kehidupannya sebagai penari di Jogja. Malam itu, setelah sekian kali pertemuan batal karena ia harus latihan berulang-kali, akhirnya kami bisa bertemu, pada pukul 23.00 WIB, di sebuah kedai kopi yang buka sampai pukul 03.00 pagi.

Aku memesan kopi susu, sementara Rara memilih lecy tea, dan area outdoor kami pilih sebagai tempat untuk menghabiskan malam, berharap langit mendung di atas sana tidak sewaktu-waktu menumpahkan hujan.

“Harusnya hari ini aku taping video pukul sepuluh pagi. Tapi karena ada banyak masalah di sana-sini, akhirnya baru bisa dilakukan pukul empat sore, dan baru selesai tadi.” Ia mengeluhkan pengambilan gambar berulang-kali yang membuatnya harus mengulangi tarian terus menerus. “Akhirnya proyek ini selesai juga. Tinggal fokus untuk tanggal empat besok.”

Saya bisa melihat betapa ia sangat kekurangan waktu istirahat. Tubuhnya yang lesu, pun matanya yang sedikit memerah, sudah menjadi bukti kuat bahwa ia membutuhkan jam tidur lebih banyak. 

“Ini masa-masa susah,” keluhnya ketika aku tanya tentang waktu istirahatnya. 

“Tidak seperti sebelum pandemi di mana aku bisa full hidup dari panggung, sekarang aku harus bekerja menjadi staff purcashing. Pekerjaanku sangat menyita waktu. Bahkan aku harus bekerja sampai larut malam, terlebih di akhir bulan. Di sisi lain, aku harus menyiapkan tarian untuk proyek tanggal empat besok. Dan tiba-tiba, beberapa waktu lalu aku ditawari untuk ikut proyek yang tanggal dua hari ini. Semua itu harus kulakukan hampir bersamaan, sehingga waktu istirahat harus aku korbankan.”

Saya sulit membayangkan, bagaimana bisa ada manusia yang melakukan begitu banyak hal dalam waktu yang hampir bersamaan. Perempuan jebolan Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu tersenyum sebelum memutuskan untuk menjawab. “Dunia panggung memang seperti itu,” ujarnya. 

“Juga, tidak berlebihan jika aku bilang bahwa aku sangat menyukai menari,” sambungnya. “Sekalipun aku harus kehilangan banyak waktu istirahat, jika itu untuk menari, pasti akan kulakukan.”

Itu tidak menjawab bagaimana bisa melupakan satu tarian dan berpindah ke tarian baru, dan dalam satu hari harus menghapal tarian yang sebelumnya lagi. “Aku sudah terbiasa untuk melakukan seperti itu. Sewaktu kuliah dulu memang harus begitu. Pagi mempelajari tarian Jawa, selesai atau tidak selesai, kalau jamnya sudah habis, ya harus dilupakan dan siap untuk siangnya mempelajari tarian dari daerah lain. Begitu terus sampai akhirnya aku terbiasa untuk melakukan hal-hal seperti itu.”

Lebih lanjut, Rara menjelaskan bahwa proses kuliah di ISI Jogja adalah momen paling penting untuk kariernya sebagai penari. Ia yang awalnya lemah urusan tari tradisional harus mempelajari banyak tarian tradisional. Ia yang awalnya tidak mengenal seperti apa kondisi panggung tari Yogya, akhirnya mulai diajak untuk menari dari satu panggung ke panggung lain, dari satu proyek ke proyek lain, dari yang sukarela tanpa bayaran, sampai ke yang mendapat bayaran besar.

“Saat aku datang ke Jogja, aku baru menyadari bahwa aku itu bukan siapa-siapa di sini. Maka dari itu kalau aku tidak memaksimalkan usahaku, aku juga tidak akan menjadi siapa-siapa.”

Rara, bercita-cita memiliki sanggar dan menari hingga tua. Foto Riyanto/Mojok.co

Dari ucapannya, saya lantas bertanya-tanya tentang siapa ia sebelum datang ke Yogya, pun tentang apa alasannya untuk datang dan bertahan di kota tempat kami tinggal saat ini.

Ia menyeruput lecy teanya sekali lagi, menghela napas panjang, dan ia hembuskan dalam sekali desahan. “Ini akan panjang,” ia memperingatkan.

Si pembuat onar dan tentang rumah yang selalu berpindah

Perempuan di depanku lahir di Sampit 29 tahun silam, di sebuah keluarga yang serba kekurangan. Rara kecil adalah pembuat onar yang selalu menyusahkan keluarganya, namun di sisi lain ia tumbuh menjadi anak yang sangat pintar. Ia selalu ranking satu di setiap kelas. Sejak kecil, ia sudah memiliki bakat menari dan selalu dikirim mengikuti lomba menari mewakili sekolahnya.

Ia adalah perpaduan antara si pintar dan si pembuat onar. Kombinasi sempurna untuk membuat Rara kecil memiliki banyak teman. Kondisinya yang seperti itu bertahan sampai SMP, sebelum akhirnya ia dikirim keluarganya untuk pindah ke Bojonegoro selepas SMP.

“Alasannya karena aku terlalu nakal. Juga, di Bojonegoro aku diminta untuk menemani nenek. Maka dari itu, aku harus melepas semua kehidupanku di Sampit dan memulai segalanya dari awal di daerah yang benar-benar asing untukku.”

Begitu ia pindah, ia kehilangan segalanya. Tak ada lagi Rara yang bandel tetapi pintar. Ia mendadak berubah menjadi Rara yang biasa saja. Yang tidak membuat onar, yang kepintarannya biasa saja, pun yang tak pernah lagi menari.

Selepas SMA, ia kuliah di salah satu universitas di Bojonegoro, mengambil Pendidikan Sastra. Rara mengatakan bahwa ia menjalani kuliah di Bojonegoro selama dua semester, sampai akhirnya seseorang menawarinya untuk pindah ke Yogya dan masuk ke Institut Seni Indonesia. “Pacar waktu itu. Sekarang sudah mantan,” tegasnya. 

“Ia terobsesi kuliah di ISI Jogja, mencoba berkali-kali dan selalu gagal. Akhirnya, tahun 2011 ia mengajakku mendaftar di ISI. Dan waktu itu, keinginanku untuk kembali menari muncul setelah bertahun-tahun hilang. Akhirnya kami mendaftar, dan singkat cerita kami diterima.”

Begitu kembali ke dunia tari, Rara merasa menjadi manusia paling dungu karena tidak memiliki dasar kemampuan menari sebaik teman-teman sekelasnya. Hampir Sebagian besar temannya memiliki kelebihan di tari tradisional daerah masing-masing, dan karena Rara berpindah tempat dan tidak menari setelahnya, ia tidak memiliki dasar apa pun. Maka dari itu, ia memutuskan untuk belajar lebih keras lagi untuk mengejar ketertinggalannya sebagai penari.

“Pada akhirnya mentalku terbentuk dari sana.” Ia mengenang masa-masa kuliahnya. “Aku menekan semua kemampuanku untuk mempelajari banyak hal di waktu yang hampir bersamaan, sehingga sedikit demi sedikit aku mulai mengejar teman-temanku. Dan seiring waktu, aku mulai diajak untuk pentas dari panggung ke panggung. Biasanya diajak senior, kemudian mulai mengenal relasi dari senior sehingga sering diajak tampil.”

Tinggal di kota asing yang penuh persaingan, dan sadar kondisi ekonomi orang tuanya serba kekurangan, membuat Rara harus berjuang mati-matian untuk bertahan hidup. Ia menjelma menjadi perempuan yang sangat mandiri. Ia merelakan waktu luangnya untuk menerima banyak tawaran tampil demi mendapatkan uang untuk hidup.

“Bahkan yang tidak ada bayarannya juga aku ambil jika aku merasa bisa mendapatkan relasi di kemudian hari,” tuturnya. Ia berpikir, selama ia tampil baik, maka reputasi akan mengikuti. Begitu reputasi terbentuk, maka dunia panggung itu bisa aku jadikan sandaran ekonomi waktu itu.”

Ia adalah penari serba bisa. Ia memaksa untuk bisa. Apa pun tawaran yang datang, sekalipun ia harus kesusahan untuk mempelajarinya, ia pasti menyanggupi. “Pokoknya aku selalu bilang bisa,” katanya.

Rara dituntut untuk bisa menari berbagai daerah. Foto Riyanto/Mojok,co

Salah satu pengalaman yang paling tidak bisa ia lupakan adalah ketika ia harus mempelajari permainan hula hoop. Itu adalah masa di mana ia mendapatkan kontrak perform di Jogja Bay setiap Sabtu dan Minggu, atau bisa saja hampir setiap hari jika musim libur tiba. “Tanpa banyak berpikir, aku menyanggupi saja saat harus menari dengan hula hoop api.” 

Ia tertawa-tawa mengenang masa lalunya. “Bayangkan, aku tidak tahu dasar-dasar memainkan hula hoop, dan hanya diberi tiga hari untuk berlatih. Ya sudah, akhirnya aku berlatih mati-matian selama tiga hari itu. Itu sampai memar-memar tubuhku belajar hula hoop. Ditambah, di hari ketiga sudah harus memainkannya dengan api.”

Ketika saya menanyakan kenapa ia sampai mau repot mempelajari permainan hula hoop, Rara mengklaim bahwa kemampuan itu bisa sangat membantunya di kemudian hari. “Aku mempelajari sesuatu yang kupikir akan berguna di masa mendatang. Terbukti, karena aku bisa memainkan hula hoop, tarianku menjadi jauh lebih beragam. Proyek yang hari ini juga kan aku memainkan hula hoop.”

Rara juga mengenang bahwa masa-masa ia dikontrak di Jogja Bay adalah masa paling sibuk yang pernah ia alami. Ia harus kuliah di ISI, harus latihan hampir setiap hari, ditambah lagi ia masih kerap menerima tawaran tampil di banyak acara, dan yang terutama lagi, karena pada masa itu pula, ia juga mengambil pekerjaan sebagai sexy dancer.

Menjadi sexy dancer karena terpaksa

Tugas Akhir Rara adalah mengenai sexy dancer dan alasan kenapa banyak mahasiswi tari yang terpaksa terjun ke dunia itu. Rara tidak membahas tentang sexy dancer yang bukan berlatar belakang mahasiswi tari karena kajiannya akan semakin lebar. Kesimpulan singkat dari penelitian Rara adalah bahwa menjadi sexy dancer adalah jalan pintas untuk mendapatkan uang. Entah seseorang itu menyukai aktivitas tersebut atau tidak menikmatinya, itu menjadi persoalan lain.

“Ada temanku yang memang suka dugem dan menjadi sexy dancer. Ada juga beberapa yang seperti aku, tidak menyukai aktivitas tersebut, tetapi melakukannya karena menganggap itu masih masuk ke kategori tarian,” ia menegaskan. 

“Waktu itu aku menjadi sexy dancer di klub-klub malam karena memang membutuhkan banyak uang. Aku harus bertahan di Yogya, harus membiayai kuliah, pun waktu itu aku sudah di semester akhir dan notabenenya membutuhkan banyak uang untuk menyusun koreo dan segala macam.”

Rara tergabung dalam sebuah agensi yang membuatnya harus menjadi penari di klub malam berbeda-beda, pun di kota yang berbeda-beda. “Tetapi aku hanya mengambil tiga hari dalam satu minggu.”

Suka atau tidak, menjadi sexy dancer memang mendatangkan banyak uang. Pendapatan dari agensi jelas, ditambah ia juga mendapat uang saweran dari pemuda-pemuda setengah teler yang berjoget di sekitarnya. “Tetapi aku menganggap bahwa itu bentuk tarian dan murni seni. Makanya kalau sampai ada yang macem-macem, biasanya langsung aku tendang.”

Rara menceritakan bahwa ia pernah menendang pemuda setengah teler karena mulai menggerayangi tubuhnya. Sambil tertawa-tawa mengingat masa itu, ia berkata, “Ya aku tendang saja dia. Toh teler, jadi ya nggak bakal bisa macem-macem lebih jauh.”

Sebenarnya saya tidak terlalu tertarik tentang kehidupannya di klub malam tersebut. Saya lebih memikirkan tentang bagaimana ia bisa menjalani kehidupan yang serba padat dan harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Apakah ia pernah merasa lelah, baik mental maupun fisik, karena semua aktivitasnya tersebut.

“Sabtu dan Minggu aku harus perform di Jogja Bay. Pun ditambah tiga hari di klub malam. Totalnya sudah lima hari. Juga, masih harus menyempatkan untuk menerima tawaran perform yang mulai banyak. Harus Latihan juga. Harus kuliah juga. Semua itu tentu saja melelahkan secara fisik dan mental.”

Menurut Rara, tidak terhitung seberapa banyak orang yang merendahkannya karena ia mengambil pekerjaan sebagia penari seksi. “Banyak bisik-bisik yang akhirnya aku dengar juga kalau aku bisa di-booking. Semacam itu lah. Bayangkan, siapa juga yang tidak jengkel dengan semua itu? Sudah mati-matian bekerja keras untuk bertahan hidup, aku masih harus menerima gunjingan seperti itu? Siapa yang tidak lelah mental?”

Ketika saya menanyakan bagaimana ia mencoba bertahan dari semua itu, Rara dengan santai menjawab bahwa semuanya butuh proses, termasuk proses memahami bahwa ia tidak bisa mengontrol pandangan orang lain.

“Dulu aku hanya bisa diam sambil menahan emosi, ya,” terangnya. “Tetapi semakin aku berjalan ke sini, aku sadar bahwa aku tidak bisa mengontrol pandangan mereka.” 

Rara merasa tidak butuh untuk mendengarkan mereka. Ia tidak butuh menjadi seperti yang mereka mau. Rara bertahan dari semua tempaan itu. Ia pada akhirnya lulus tahun 2017, memutuskan untuk berhenti menjadi sexy dancer, menrima tawaran mengajar ekstrakulikuler menari di sekolah swasta, dan pada akhirnya membentuk tim profesional yang ia beri nama ForwArt.

Membangun ForwArt, Super Power, dan menjadi penari opening Asian Games 2018

Ia berhenti dari Jogja Bay pada akhirnya ketika harus serius dengan project ForwArt yang ia mulai. Dalam project itu, ia memiliki grup penari yang berasal dari junior-juniornya di ISI yang ia namai Super Power. Bersama ForwArt dan Super Power, ia mencoba menaklukkan dunia panggung tari di Jogja.

“Aku menemukan tim yang sungguh luar biasa,” terangnya. “Dengan tim yang ada, bisa kubilang kami mampu melakukan apa saja. Apa pun permintaan yang datang, pasti kami sanggupi.”

Rara mengatakan bahwa ia mulai menikmati menjadi orang di balik layar. Dalam project ForwArt, ia berperan sebagai orang yang mengatur segalanya. Ia yang bertemu dengan klien. Ia yang menentukan harga. Ia yang memilih akan seperti apa kostum tarian. Ia pula yang mengkonsep akan seperti apa tarian. “Dan yang akan menari adalah Super Power, sementara aku yang mempersiapkan segalanya untuk mereka.”

Rara dan temannya dalam sebuah penampilan. Foto oleh Riyanto/Mojok.co

Meski begitu, jika ada permintaan khusus Rara harus menari, atau ia menjadi penari tambahan untuk proyek tertentu, maka tentu saja ia akan tetap menerimanya. “Aku masih menari untuk kasus-kasus tertentu. Aku hanya memisahkan mana yang untuk ForwArt, dan mana yang untukku pribadi.”

Ia akan membagi waktunya untuk mengurusi segala hal tentang ForwArt, dan segala hal yang untuk dirinya sendiri. “Dulu dalam satu bulan aku bisa menerima job untuk ForwArt sampai lima proyek. Dan dari lima itu saja sudah memakan banyak waktu untuk persiapannya. Tariannya harus selesai, kostumnya harus selesai, musiknya juga harus selesai. Ditambah, aku juga harus mengurus job-job pribadi untukku sendiri,” terang perempuan yang juga kerap tampil di Cabaret Show, Raminten, hingga saat ini.

Dengan semua aktivitas itu, Rara benar-benar bisa hidup berkecukupan dari panggung.  “Tahun 2018, aku mencoba peruntungan untuk menjadi penari di opening Asian Games 2018 di Jakarta. Aku ikut audisi dan lolos. Selama proses itu, aku harus bolak-balik Jogja ke Jakarta hampir setiap minggu.”

Rara mengklaim bahwa menjadi penari di opening Asian Games tidak memberinya keuntungan materi apa pun. “Tidak ada bayaran. Bahkan rugi kalau mau dihitung-hitung. Ya jelas rugi, kan aku harus pulang pergi Jakarta – Jogja.”

Ia mengatakan bahwa kebanggaan yang dicari. “Pride yang aku incar. Juga, agar orang-orang semakin percaya bahwa aku bukan penari biasa saja,” terangnya. 

Dari opening Asian Games itu, Rara juga mendapat job untuk perform di HUT SCTV waktu itu. Jadi, sedikit banyak ia tahu seperti apa kondisi panggung di Jakarta.

Saya lantas tergoda untuk bertanya apakah ia memiliki keinginan berkarier di Jakarta, tetapi perempuan di hadapanku itu menggeleng dengan tegas. “Banyak hal yang membuatku merasa Jakarta bukan tempat untukku.”

Pertama, menurut Rara, Jakarta adalah kota yang teramat riuh sehingga ia tidak memiliki ketenangan. “Jakarta riuh, bising, macet, dan serba harus cepat. Pun panggungnya juga terlalu komersil menurutku, tidak seperti Jogja yang masih bisa lebih bebas.”

Ia tidak bisa membayangkan harus bergerak dari satu panggung ke panggung lain di hari yang sama dan harus terjebak kemacetan. “Bisa habis di perjalanan aku,” jawabnya. “Kalau di Jogja, mau dari Sewon ke Kaliurang, terus lanjut ke Wonosari, dalam satu hari masih bisa dijangkau.”

Panggung yang sepi saat pandemi

Obrolan panjang kami pada akhirnya sampai ke pembahasan kenapa pada akhirnya Rara memutuskan untuk bekerja ketika ForwArt tengah banyak menerima job. Rara pernah mengambil tawaran bekerja di sebuah museum yang baru saja buka kala itu, menjadi seorang storyteller, sebutan untuk pemandu museum di sana. 

Rara ingin memiliki penghasilan yang stabil dan sudah pasti ia dapat setiap bulan, agar ia lebih mudah mengatur keuangan ForwArt. Ia sangat peduli dengan ForwArt dan Super Power. Mereka seperti anak-anaknya. Bukan sekadar bahwa ia mendapat uang dari proyek itu, tetapi karena ia ingin menjadi lebih besar. 

“Bayangkan, kalau aku hanya menganggap ForwArt maupun Super Power sebagai mesin uang, mana mau aku mengeluarkan uang pribadiku untuk mengirim mereka ke Solo saat ada kompetisi Indonesia Menari? Semuanya aku yang membiayai, terkecuali penginapan karena kami patungan.” 

Ia berbicara dengan cepat dan rapat seperti rentetan peluru. “Maka dari itu, aku memilih untuk bekerja.”

Akan tetapi semua tidak berjalan semulus itu. Segalanya menjadi berantakan karena jadwal Rara berubah teramat padat. Pada akhirnya ia keluar dari museum beberapa bulan setelahnya dan memutuskan untuk kembali hidup dari panggung.

“Sampai akhirnya panggung kehilangan lampu karena pandemi.” Tentu ada kegetiran dari suara Rara. “Akibatnya, ketika panggung mati, aku harus bekerja di tempatku sekarang ini. Terjebak rutinitas yang membosankan.”

Rara, menari baginya seperti sebuah meditasi. Foto oleh Riyanto/Mojok.co

Pandemi yang tak kunjung usai membuat anggota Super Power terpisah-pisah dan sibuk dengan kehidupan masing-masing. Hanya satu orang yang akhirnya masih sering berhubungan dengan Rara, dan orang itu pula yang kerap menemani Rara untuk banyak proyek tarian.

Pekerjaan Rara sebagai purchasing saat ini akan dianggap sangat melelahkan bagi sebagian orang, terlebih karena ia harus bekerja sampai larut malam mengurusi banyak hal. Akan tetapi bagi Rara yang sudah menerima tempaan begitu berat, pekerjaannya kali ini tidak ada apa-apanya sama sekali. “Aku mengeluh bukan karena lelah, tetapi lebih karena bosan.”

Ia tidak menyukai pekerjaan monoton. Ia lebih memilih tampil dari kota ke kota dalam hari yang sama. Ia lebih memilih disibukkan dengan membuat koreo untuk perform di sebuah acara, memilih kostum, memilih musik, berdebat dengan klien, dan sebagainya, daripada harus bekerja di depan komputer selama berjam-jam.

“Untungnya, meski tidak sebanyak sebelum pandemi, job menari masih sesekali ada. Nah, ketika aku harus menari meski aku juga disibukkan dengan pekerjaan lainku, aku akan merasa sangat senang. Menari itu memberikan ketenangan bagiku. Silakan panggil aku sesat atau apa, tetapi menari adalah ibadah bagiku.”

Menari adalah meditasi. Ibadah. Penenang. Juga, menari adalah tentang bagaimana Rara merasa menjadi manusia. “Aku merasa menjadi manusia secara utuh ketika menari. Maka dari itu jika ada kondisi di mana aku tidak menari untuk waktu yang lama, aku merasa ada yang kurang. Aku belum sempurna menjadi manusia. Aku menjadi tubuh kosong begitu saja.” Begitulah tutur Rara pada malam tanggal 02 Oktober 2021 itu.

Ia tengah merealisasikan mimpinya dengan perlahan.  “Aku membayangkan diriku di masa depan memiliki sanggar tari. Suatu saat aku akan menikah dan memiliki anak. Aku mengurusi rumah sebisaku, lantas melihat ke sanggar. Di sana ada para penari yang tengah berlatih. Pun aku membayangkan tentang ForwArt yang semakin profesional dan para penariku bisa hidup dengan layak,” katanya.

Saya lantas tergoda untuk bertanya sampai kapan ia akan menari. Sebuah pertanyaan klise yang menurut Rara sering ditanyakan orang kepadanya. Dan sama seperti jawabannya kepada semua orang sebelumku, ia berkata, “Sampai aku tua.” 

Lebih lanjut, ia menegaskan tidak memiliki gambaran sampai usia berapa istilah tua yang dimaksud, tetapi apabila tubuhnya masih memungkinkan, maka ia tidak akan pernah berhenti sebagai penari . “Aku tidak bisa membayangkan kapan aku berhenti. Jika aku bisa, sampai tua juga aku akan tetap menari,” katanya.

BACA Menguak Cara Berpikir Khoirul Anam, Pembuat Foto Unik yang Menikah dengan Rice Cooker  JUGA liputan menarik lainnya di Susul. 

 

Exit mobile version