Perupa Nasirun menggelar pameran dengan menggandeng seniman muda. Proses kreatifnya ibarat santri yang nyantrik ke kiai. Diilhami kepulangan karya-karya bernuansa ‘magis’.
***
Ratusan potongan kaki berserakan di sudut ruangan. Wujudnya warna-warni dengan detail-detail ilustrasi di dalamnya. Potongan kaki yang terbuat dari resin itu mengerubungi dua bentuk wayang kaki raksasa yang berdiri di tengah-tengah.
‘Kaki Rakyat’, demikian judul karya seni instalasi itu, adalah karya seniman Nasirun. Instalasi yang dibuat tahun lalu ini salah satu dari sekitar 20-an karya yang dipamerkan dalam pameran Nasirun, Mulih Mula Mulanira. Pameran ini digelar di Jogja national Museum, Yogyakarta, 17-26 Mei.
Selain karya lumayan baru seperti ‘Kaki Rakyat’ yang dibuat pada 2021, lukisan-lukisan lawas Nasirun sejak tahun 1990-an juga dipamerkan. Misalnya lukisan Imaji Ari-ari, berukuran 140×140 centimeter, yang dibuat pada 1993. Karya ini menandai kelahiran putri pertamanya dan melakukan tradisi menanam tali pusar atau ari-ari.
Ada pula karya ‘Tahta untuk Rakyat, Samad Sinamadan’ yang berdimensi 250×145 centimeter dan dilukis pada 1996. Lukisan ini memaknai kiprah raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai manusia terpilih sekaligus sebagai manusia biasa.
Karya-karya yang bersumber dari seniman lain dan sahabatnya juga ditampilkan Nasirun. Saat membuat ‘Kaki Rakyat’ contohnya, Nasirun terinspirasi dari maestro seni Affandi yang terlambat datang ke pantai untuk melukis para nelayan.
Para pelaut itu sudah keburu berlayar ke samudera. Bukannya surut, Affandi justru melukis jejak-jejak kaki para nelayan yang membekas di pasir pantai. Lukisan itu gagal dibeli Nasirun hingga ia punya ide untuk mencetak kakinya untuk menghubungkan dirinya dengan karya Affandi itu. Cetakan kaki Nasirun itu sampai berjumlah ratusan hingga diboyong ke pameran ini.
Demikian pula saat Nasirun membuat karya ‘Wayang Slamet Gundono’ yang berukuran 106×260 centimeter pada 2015. Wayang raksasa untuk mengenang sahabatnya, dalang Slamet Gundono, itu lahir usai Nasirun bermimpi tentang wayang, labirin, dan kuburan. Mimpi ini dimaknai sebagai tanda bahwa Slamet berpulang.
Kiai dan santri seni
Menariknya, selain cerita-cerita yang melatarbelakangi lahirnya karya itu, karya-karya Nasirun yang umumnya berukuran besar dan dengan warna gelap didampingi pertunjukan video mapping berupa olahan ilustrasi digital dengan warna-warna cerah.
Di ruang tempat ‘Kaki Rakyat’ dipertunjukkan misalnya. Kontras dengan instalasi soal kaki itu, muncul video kolase digital berupa tangan bersama animasi biru langit. Di ruang yang lain, berdampingan dengan lukisan-lukisan Nasirun juga dipajang layar-layar monitor yang menampilkan karya-karya video digital.
Apakah Nasirun menekuni bidang seni rupa baru? “Oh ndak, ini lho yang jago video mapping. Saya tidak paham video,” tutur Nasirun dengan lembut, usai pembukaan pameran, Selasa (17/5), sambil menunjuk seorang pemuda di sampingnya.
Hanafi K. Sidhartha, nama seniman berusia 26 tahun yang ditunjuk Nasirun itu, rupanya menjadi rekan kolaborasi di pameran ini. Alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini berangkat dari bidang desain interior sebelum menekuni seni visual digital dan menggelar Mulih Mula Mulanira.
Ide awalnya adalah menafsir ulang karya-karya seni yang selama ini dianggap kurang dinikmati oleh anak muda sehingga makna karya tersebut muncul kembali dan diapresiasi generasi Z. Hanafi kemudian memilih karya-karya Nasirun untuk direspons dalam karya digital.
Selama beberapa waktu, Hanafi menghabiskan waktu bersama Nasirun. Bukan hanya menyelami karya-karyanya, Hanafi kemudian lebih jauh lagi juga belajar soal makna seni dan kebudayaan dari Nasirun.
“Ibaratnya saya mondok di Pak Nasirun, seorang santri yang nyantrik dan belajar pada seorang kiai. Proses ini saya jalani sekitar dua bulan,” ujar Hanafi.
Secara teknis penyelenggaraan, pameran Mulih Mula Mulanira dikerjakan mahasiswa program studi Tata Kelola Seni ISI Yogyakarta sebagai tugas kuliah. Seluruh bagian pameran sejak pembukaan hingga penyelenggaraannya pun digarap oleh belasan mahasiswa angkatan 2021.
Nasirun pun tertarik dengan kolaborasi ini karena proses berkeseniannya ternyata bermanfaat untuk generasi muda. “Anak-anak muda ini mau menyapa saya, ini kebanggaan buat saya. Ke depan mereka akan memberi warna baru,” ujarnya.
Menurutnya, seniman muda memang seharusnya tidak hanya terampil menggunakan media teknologi, melainkan juga menimba ilmu ke para maestro dan seniman generasi sebelumnya.
“Ini ibaratnya sumur-sumur dan mata air yang bisa ditimba rekam hidupnya. Karya pukau (dengan teknologi) ini, mengganggu, cepat seperti teknologi yang terus berkembang. Dan daya ganggu ini ada tempelannya. Kalau anak muda banyak menimba ilmu di sumur-sumur, pasti akan terwariskan pengalaman hidupnya (seniman senior),” ujarnya.
Karya-karya yang Pulang
Hanafi pun mengakui menimba banyak ilmu selama nyantrik di Nasirun. Selama di rumah Nasirun, ia melihat sang perupa melukis, melakukan aktivitas keseharian, hingga diskusi bersama. Dari proses ini, ia memahami makna karya Nasirun serta makna berkesenian secara lebih dalam.
“Saya dibekali sangu wejangan dan melihat detail berkaryanya bisa saya ambil sebagai daya cipta saya. Kita membaca karya, bukan menghafal lalu meniru. Kita seperti memasak dan tahu karya ini ditujukan untuk siapa. Jadi karya bagus itu bukan hasil akhir, tapi yang migunani, berguna untuk orang lain,” tuturnya.
Dalam proses nyantrik itu, Hanafi juga mendapat cerita soal sejumlah karya Nasirun yang pulang. Lukisan-lukisan itu dikembalikan ke Nasirun oleh pembeli atau kolektornya. “Kok Dibalekke, apa elek yo? (kok dikembalikan, apa jelek ya?)” celetuk Nasirun seperti kata Hanafi.
Ternyata pemilik lukisan itu merasa tidak nyaman dengan karya tersebut. Misalnya, kucing dari seorang kolektor lukisan tiba-tiba mati. Padahal lukisan yang dibelinya itu juga punya ilustrasi seekor kucing. Karena tak bisa mengembalikan uang hasil pembelian, Nasirun mengganti lukisan itu dengan karyanya yang lain.
Dua lukisan yang pulang itu turut dipamerkan di pameran ini yakni Kematian Manasar (1995) dan Megatruh (1999). “Lukisan yang pulang itu kebanyakan punya ambience gelap, auranya tidak enak, dan menggambarkan kematian,” ujar Hanafi.
Namun dari kejadian ini, hanafi juga menukil inspirasi untuk tajuk pameran. “Dari lukisan-lukisan yang pulang itu, muncullah ide judul Mulih Mula Mulanira. Maknanya kita disuruh pulang untuk mencari kesejatian atau tujuan hidup, ke Gusti atau Tuhan,” katanya.
Pesan dari Susi
Pembukaan pameran Mulih Mula Mulanira mendapat tamu spesial yakni mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti yang seorang penikmat seni. Susi datang ke Yogyakarta sebelumnya menghadiri acara ulang tahun budayawan Sindhunata.
Undangan pembukaan pameran ini menjadi momen nostalgia buat Susi karena dulu bersekolah di SMA 1 Yogyakarta dan kos di kawasan Gampingan tersebut, tak jauh dari lokasi pameran di JNM.
“Saya tidak tahu kalau lokasi acaranya di ASRI (sebelum dinamai JNM). Habis ini saya mau mampir ke tempat ibu kos saya,” selorohnya saat membuka sambutan.
Di momen itu ia mengungkap kesannya terhadap seniman nasirun yang telah dikenalnya selama sekitar 22 tahun. “Setiap ketemu kita ketawa-ketawa. Enggak tahu yang diobrolin tapi kita ketawa saja. Sepertinya tidak serius, tapi kalau sudah berkarya, Nasirun sangat produktif,” tuturnya.
Menurut Susi, bukan hanya produktif, Nasirun juga telah menjadi seniman profesional karena telah berkarya secara kontinyu, diapresiasi secara luas, dan dapat mengelola karya-karya itu dengan baik.
Profesionalisme dalam berkesenian itulah yang sekaligus menjadi pesan Susi bagi para seniman muda. “Kadang banyak seniman karyanya luar biasa tapi tidak professional. Ini the end of the day, fail on the way. Tanpa profesionalisme tidak akan membawa sukses,” ujarnya.
Susi juga menyatakan, sebuah karya juga harus ditunjukkan ke khalayak luas untuk diapresiasi dilandasi dengan profesionalisme.
“Sukses bagi seniman adalah karyamu dilihat dan diapresiasi. Mau dikritik (tidak apa-apa), tapi orang-orang akan tertarik dengan kreasimu. Jadi bukan sekadar membuat suatu karya seni, tapi buatlah untuk pencinta karya-karyamu dan itu butuh profesionalitas,” kata Susi.
Reporter: Arief Hernawan
Editor: Purnawan Setyo Adi