Pak Sulin dan Impian untuk ODGJ di Ponorogo

Pak Sulin ODGJ Ponorogo

Sosok Pak Sulin (49) tidak bisa dilepaskan dari orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Edukasi yang diberikan kepada masyarakat membuat banyak keluarga tidak lagi memasung anggota keluarga yang terkena gangguan jiwa. 

***

Gangguan jiwa, bukan karena jauh dari Tuhan

“Bagaimana Njenengan menanggapi kalau masalah kesehatan mental, baik depresi atau skizofrenia itu gara-gara jauh dari Tuhan, Pak?”

Sambil menggigil, saya bertanya ke Pak Sulin (49), perawat yang fokus menangani kasus jiwa di Puskesmas Pembantu Paringan, Kabupaten Ponorogo.  Maklum, rute yang saya lewati sampai bisa bertamu ke rumah Pak Sulin ini cukup jauh. Saya harus melewati titik-titik pemukiman dengan bukit sawah dan ladang di kiri kanan saya.

Parahnya, saya juga baru berangkat sehabis magrib. Minimnya lampu semakin membuat suasana seram. Perlu sekitar 20 menit dari Pusat Kabupaten Ponorogo ke rumah beliau, di Desa Wates, dekat Puskesmas Pembantu Paringan, Ponorogo.

“Nggak juga sih, nggak jarang kok orang dari pondok (pesantren) juga mengalami. Pernah ada anaknya kiai juga kena skizofrenia. Nggak semua jauh dari Tuhan, Mas. Pengalaman, orang kalau sudah jatuh ke kondisi tersebut, mood-nya sudah hilang, depresi pun juga demikian. Baik mood dari sisi sosial, maupun dari sisi spiritual,” Pak Sulin menghela nafas sejenak.

“Kok dengan Tuhan, dengan diri sendiri saja dia nggak ada akses,” Pak Sulin menegaskan kalimatnya. Lebih lanjut, Pak Sulin mengatakan, kalau sudah genetik, dan kemudian ada stressor terus-menerus. Nggak pandang dia taat beribadah atau ngajinya kuat, kebanyakan kena.

 “Walaupun, sebetulnya, orang dengan tingkat agama yang baik, relatif lebih kuat menghadapi permasalahan, tapi kalau sudah ada gen, kadang jatuh ke kondisi sakit juga,” katanya. 

Dipasung karena masyarakat yang tidak tahu

Menurut Pak Sulin, ketidaktahuan masyarakat tentang bagaimana menangani ODGJ membuat banyak orang-orang yang dipasung.  “Dulu, ada sekitar 21 pasung di sebelas desa wilayah kita. Sebagian besar bisa kita bebaskan dan rujuk ke RSJ Menur atau RSJ Lawang. Setelah dari rumah sakit pun, kita kerjasama dengan TKSK (Tim Kesejahteraan Sosial Kecamatan) dari Kemensos untuk rehabilitasi,” katanya. 

Pasien jiwa dengan riwayat pasung sebelumnya, walaupun sudah rawat inap dia masih belum sepenuhnya pulih. Masih ada pekerjaan rumah untuk rehabilitasi sampai bisa dikembalikan ke masyarakat. Bahkan ada satu kasus pasung yang ditangani Pak Sulin memerlukan pemulihan sampai empat tahun di Kediri. 

Menurut Pak Sulin, adanya keluarga yang terpaksa memasung karena kebanyakan keluarga pasien yang menderita gangguan jiwa berat seperti skizofrenia, mereka sudah habis-habisan. Sudah kesana kemari mengobati si pasien, baik rumah sakit maupun orang pintar.

“Jika dihitung, dana yang digelontorkan ini juga tidak main-main. Kalau keluarganya punya sawah, sawah tersebut bisa dijual untuk biaya berobat ke rumah sakit. Satu saat, karena kurangnya pemahaman untuk rutin minum obat, pasien kemudian kambuh lagi, sawahnya dijual lagi. Berlanjut pengobatan ke mana-mana dan ujungnya sama saja. Sampai akhirnya mereka putus asa, dan daripada mengganggu lingkungan, ya sudah. Pasung,” katanya. 

Bangunan Puskesmas Pembantu Paringan, Ponorogo. (Prima Ardiansah/Mojok.co)

Menurut Pak Sulin, sebagian besar pasien yang membahayakan, seperti mengamuk atau merusak lingkungan, dan sebagian kecil yang ngluyur dan keluarganya takut dia hilang, pasti dipasung. 

Keluarga melakukan apapun agar anggota keluarganya bisa sembuh. Ada pula yang kemudian membawa ke “orang pintar” atau paranormal. 

“Kebanyakan begitu, Mas. Dulu sebelum ada pengobatan di sini. Beberapa memang ada yang bisa mengakses layanan medis di rumah sakit, itupun kalau tidak berlanjut ya kambuh lagi. Saking bingungnya, ya ke paranormal. Persentasenya banyak, 90% sampai 100%. Jangan salah, paranormal pun ada yang mahal, akhirnya high cost juga,” tutur Pak Sulin panjang lebar.  

Menurut Pak Sulin, pengobatan yang dilakukan paranormal ada yang aneh-aneh.  “Ada yang menyarankan supaya setannya nggak kemana-mana, jadi dia harus dipasung. Ibaratnya memasung pasien, sekaligus jin dan setannya,” kata Pak Sulin menghela napas sambil memandang teras depan lagi. “Banyak yang kayak gitu.” 

Dari kumpulan pengalaman tentang pengobatan spiritual para pasiennya. Pak Sulin berpendapat bahwa tidak semua paranormal itu sakti atau orang Jawa bilang “waskito”. Beberapa hanya tebak-tebakan. 

Wah, iki mesti kenek demit kono kae. Orang awam kan nggak tahu demit itu rupanya gimana. Ya sudah manut wae. Ada sih yang benar-benar mengerti, tapi nggak banyak,” kata Pak Suni. Ada pula yang harus ritual penyembuhan dengan menyembelih hewan. Seakan-akan penyakit yang asalnya dari jin, setan, dan lainnya itu dipindah ke hewan, seperti kambing. 

Beberapa pasien Pak Sulin, ada yang mencoba pengobatan spiritual sampai Jember, Banyuwangi, sampai ke Jawa Barat. “Pada akhirnya, mereka high cost juga. Ujungnya hartanya habis, dan kalau sudah mentok, pasung. Padahal pasien skizofrenia kalau kita obati secara teratur, mereka juga bisa baik,” tambah Pak Sulin.

Gaduh gelisah pasien paling banyak karena persoalan keluarga

Menurut Pak Sulin, tindakan memasung ODGJ biasanya tidak lepas dari gaduh gelisah yang dialami pasien. Gaduh gelisah adalah peningkatan aktivitas mental dan motorik seseorang yang sulit dikendalikan. Biasanya bisa berupa tindakan fisik ke seseorang maupun diri sendiri yang membahayakan. 

“Beberapa tahun lalu ada satu pasien gaduh gelisah membawa dua arit, Mas. TNI dan polisi pun langsung saya panggil. Dari pukul 10.00 sampai 17.00 baru selesai. Waktu saya mendekat, dia mengayunkan tangannya Mas, untung cuma pelepah pisang yang lepas,” kenang Pak Sulin. 

Syukur, pasien tersebut bisa diamankan dan dirujuk. Berapa waktu kemudian dia gaduh gelisah lagi sampai mau menyembelih keluarganya. Untung juga bisa ditangani lagi. Sehari-hari, jika dalam kontrol obat, pasien tersebut bisa mencari rumput untuk diantar ke ternak adiknya.

Ketika gaduh gelisah, pasien tersebut harus mendapat obat. Sebisanya mendapatkan layanan rawat inap. “Beberapa ada yang lumayan tenang dengan sentuhan, Mas. Alhamdulillah, selama ini kalau kena tendang dan ludah ya biasa. Walaupun pasiennya beberapa bulan tidak mandi tidak sikat gigi,” Pak Sulin tertawa lebar, bagian dari resiko pekerjaan katanya. 

Menurut Pak Sulin, pemicu  gaduh gelisah itu macam-macam, yang paling sering ia temui itu masalah dari keluarga. Bertengkar sama keluarga misal. Ada pula karena masalah warisan. “Saya juga heran, ada ibu yang cerita pembagian harta warisan kepada anaknya yang sakit, anak tersebut sampai diminta ambil sertifikat ke keluarga yang lain. Lha namanya orang sakit, diminta begituan, ya marah.” 

Pernah juga Pak Sulin  diminta tolong ke satu wilayah, yang menurutnya paling susah. “Provinsi pun turun ke lapangan sampai dijadikan sayembara. Di sana, dia kita mandikan, kita cukur rambutnya yang gimbal nggak karuan. Di sana juga saya coba lepaskan sebentar,” katanya.

Kunjungan kedua setelah satu bulan, orang tersebut dekil lagi. Lantas dimandikan lagi, cukur lagi, kasih pakaian sama celana lagi. “Saya lanjut komunikasi ke keluarga. Ternyata, pencetusnya dari keluarganya sendiri. Pokoknya urusan ekonomi Mas, tentang pembagian warisan,” ujar Pak Sulin. 

Pak Sulin pun menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa lurah, dokter, dan semua elemen yang terlibat  itu datang untuk jemput bola, karena sudah diputuskan bahwa Ponorogo harus zero pasung. Jika ada pihak keluarga yang menghalangi, dia bisa berbenturan dengan hukum. Maka langkah terbaik adalah pasien ODGJ ditangani di rumah sakit jiwa. 

Lewat penjalasan itu pihak keluarga bisa mengerti dan pasien tersebut mau dirujuk ke RSUD Harjono. “Tapi ya gitu, Mas. Kurang ajar, pasiennya minta gendong ke saya, dari rumahnya sampai ke ambulan. Ya saya gendong juga akhirnya,” Pak Sulin kembali tertawa.  

Butuh kemauan masyarakat untuk menerima ODGJ

“Ada beberapa kasus pasung yang susah, Mas. Di satu desa ada yang masyarakatnya menolak, sampai perlu waktu dua tahun baru bisa lepas. Makanya kita juga harus membangun kepercayaan dengan keluarga dengan masyarakat,” kata Pak Suni.

Misalnya, ada pasien ODGJ yang sudah membaik, mencari rumput. Karena bawa arit, masyarakat ada yang takut. Pak Sulin pun bicara ke masyarakat bahwa namanya ngarit, ya bawa arit. “Wedi orang sekitarnya, takut padahal dia nggak ngapa ngapain.”

Salah satu aktivitas Pak Sulin menanganai ODGJ di Ponorogo yang muncul di channel Youtubenya.

Menurut Pak Sulin, masyarakat memang harus diedukasi. “Kadang pasiennya sudah baik, tetapi masyarakat malah merundung, ‘Dasar wong sinting, gila’. Ya jadinya dia stress, kambuh lagi. Padahal kita membangun keyakinan mereka saja sudah susah payah. Malah dipatahkan sama masyarakat sendiri,” katanya. 

Pak Sulin pun tak jarang memberikan semangat ke pasien-pasiennya: “Wes to, lak dilokne jare cah edan. Gak masalah, aku wae lo dilokne edan yo ora popo. Kita semua ini kan orang gila, terutama seng ngilokno. Lebih gila lagi.” 

Walaupun begitu, ada beberapa pasien yang sensitif. Ketika ada omongan nyelekit sedikit saja, sudah kambuh lagi. Namun, tetap ada beberapa yang berhasil Pak Sulin dan timnya edukasi supaya jadi cuek.

Pak Sulin kemudian menceritakan satu pasien yang berhasil mengalahkan omongan masyarakat.

Piye dirasani tonggomu, dilokne kae, rasane piye?”

Ben, ndak popo Pak Sulin, aku wes los iki,” Pak Sulin pun tertawa ngakak.  

Jawa Timur jadi punya alur penanganan penyakit jiwa

“Dulu saya awalnya kerja di RSUD Harjono Mas, kemudian pindah ke Puskesmas Jenangan. Pertama-tama ada satu dua kasus jiwa, kita coba tangani dengan kemampuan yang masih terbatas, untuk obat saja masih sangat minim waktu itu,” ujar Pak Sulin dengan gerak mulut yang sembunyi di balik kumisnya. 

Semakin hari, pasien jiwa yang datang semakin banyak. Waktu itu pun masih belum ada juknis untuk penanganan masalah kesehatan jiwa. 

Sampai di tahun 2010, muncul kasus skizofrenia dengan gaduh gelisah di Desa Paringan. Tidak tanggung-tanggung, waktu itu satu keluarga sesama ODGJ yang bertengkar. Sampai pihak Puskesmas meminta bantuan aparat. Syukur kasus tersebut bisa dirujuk ke RSJ Menur dan RSJ Dr. Radjiman W. Lawang. 

Masih belum selesai, keributan tersebut diliput media dan masuk media cetak. “Itu tahun 2010, Mas, kalau disamakan dengan zaman sekarang, viral lah.” 

Kasus tersebut sampai menjadi perhatian di Jakarta. Pada waktu itu jumlah ODGJ di desa Paringan mencapai 60 kasus lebih, itu juga masuk media cetak. Sebagai respon, beberapa waktu kemudian ada kunjungan dari RSJ Radjiman Lawang ke Desa Paringan. 

Akibat peristiwa tersebut kemudian dibangunlah  Puskesmas Pembantu Paringan yang menjadi rujukan kasus jiwa dari seluruh Puskesmas di Ponorogo. Puskesmas Pembantu ini juga melayani pengobatan umum. “Bukan cuma ODGJ Mas, semua penyakit tumplek blek,” ujar Pak Sulin. 

Puncaknya, sekitar 2012-2013, dalam satu hari, pasien pernah mencapai 260. Bukan cuma dari Ponorogo, dari luar kabupaten pun juga ada. 

“Waktu itu, banyak keanehan juga Mas. Selain kasus jiwa ya, ada laki-laki yang 3 tahun cuma bisa tiduran di tempat tidur. Setelah pengobatan, dalam waktu 5 hari kontrol dia sudah jalan. Saya masih ingat pasien itu cari saya dan minta cium tangan. Saya kebingungan to, ini kenapa bapak-bapak kok kayak gini.” 

Lha kulo seng digotong wingi nane niko lo Pak,” Pak Sulin meniru ucapan pasien itu. Pun Pak Sulin masih heran sampai sekarang, “Kok bisa ya? Padahal obatnya sama saja, sama-sama obat minum yang biasa diresepkan. Mungkin dari sugesti, Mas.” 

Berkat Puskesmas Pembantu Paringan juga, kini semua kabupaten di Jawa Timur sudah punya alur manajemen penyakit jiwa. Kabupaten Ponorogo sendiri sudah mewajibkan semua puskesmas harus siap pelayanan jiwa sejak tahun 2015-2016.

“Sekarang, beberapa Kabupaten di Jawa Timur sudah zero pasung, malahan Ponorogo sendiri masih belum,” Pak Sulin tertawa sejenak, membayangkan pekerjaannya yang masih belum tuntas.

“Adanya Puskesmas Pembantu Paringan benar-benar membantu masyarakat, Mas. Bayangkan obat di sini gratis. Bedakan dengan dulu, ketika mereka masih belum dapat akses, tiap kontrol saja bisa sekian ratus ribu sampai satu juta rupiah untuk obat, transportasi dan lainnya,” kata Pak Sulin. 

Kini, Pak Sulin memiliki channel Youtube yang fokus tentang edukasi gangguan jiwa kepada masyarakat bernama Sulin Wongso Channel. Pak Sulin ingin menunjukan ke khalayak, bahwa pasien dengan skizofrenia itu bisa membaik dengan pengobatan rutin.

“Konten yang sering saya upload itu kebanyakan berisi tentang perbaikan pasien dari awal saya ikuti, sampai sekarang. Sebuah edukasi nyata supaya orang-orang bisa menilai jika pasien skizofrenia itu bisa baik dengan pengobatan rutin. Sampai dipasung pun, mereka masih bisa hidup dengan baik walaupun harus dengan pendampingan obat.” 

Impian Pak Sulin untuk ODGJ yang tak bisa mandiri 

Sebelum bertemu dengan Pak Sulin, saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi dua pasien ODGJ yang juga kebetulan kakak-beradik. Mereka berdua menempati satu rumah bantuan. Selain itu, karena keterbatasan ekonomi, mereka berdua juga mendapat bantuan makanan sehari-hari.

Pak Sulin dan alumni SMA 1 Ponorogo meresmikan bilik bantuan untuk ODGJ. Foto dari konten Youtube Sulin Wongso Chann

Di sana, Pak Sulin bercerita, jika sebelumnya mereka berdua memiliki rumah. Namun, rumah beserta satu motor terbakar habis ketika sang adik gaduh gelisah. Setelahnya, karena tidak ada tempat tinggal, sang kakak yang juga ODGJ tidur sembarangan di halaman rumah.

“Untuk rumah, sebenarnya, itu dari inisiatif saya sendiri, Mas. Kebetulan saya ada koneksi dengan orang yang peduli, ada pula yang dari kementerian dan kebetulan alumni SMA 1 Ponorogo. Niat awalnya, saya cuma ingin membuatkan rumah kepada pasien pasung yang tidak punya rumah, atau pasien yang terlantar.”

Selanjutnya, Pak Sulin juga diminta lagi oleh orang yang peduli tadi untuk membuat satu rumah lagi di daerah Balong. Waktu itu ada tiga pasien retardasi (perlambatan) mental menempati rumah doyong dan hampir roboh. Syukur, mereka sampai dibelikan tanah juga. 

Untuk keperluan makan seperti dua pasien bersaudara yang saya kunjungi tadi, Pak Sulin mendapat bantuan dari dari kawan alumni SMA 1 Ponorogo juga. 

“Saya ingin bantu pasien yang benar-benar nggak bisa cari makan, Mas. Ini masih empat dulu. Masih berjalan dua bulan. Kalau ada rezeki dan ada koneksi lagi, insyaallah nambah, karena banyak yang harus disantuni. Saya nggak muluk-muluk, Mas. Makan, urusan perut, cuma lima ribu per porsi.”

Untuk mengakali, Pak Sulin menyamakan masakan yang dibagikan dengan masakan  rumah. “Nyonya saya minta tolong dengan sedikit dana itu. Cukup ora cukup, ya wes dicukupne. Lima ribu dibelikan dapat apa sih?” Pak sulin menutup kalimatnya.  

Untuk mobilisasi makanan sampai ke pasien, kadang yang mengantar Pak Sulin sendiri, kadang istrinya, kadang juga anaknya. Syukur, istri Pak Sulin mendukung semua ide dan upaya yang dilakukan Pak Sulin. “Dia senang juga, Mas. Kadang saya bilang: Coba kalau kondisi itu dikembalikan ke kita, yang masak kadang ada, kadang enggak, pukul 10 kadang belum sarapan.”

Sebelumnya, pasien-pasien tersebut bergantung pada tetangga yang peduli. Walaupun begitu, Pak Sulin masih tidak tega, karena kadang tetangganya telat memberikankan makan, kelamaan Pak sulin juga sungkan kepada tetangga tersebut. 

Perihal terapi pasien yang memerlukan suntik, Pak Sulin juga yang bertugas berkeliling untuk melakukan injeksi. Beberapa ada yang injeksi di puskesmas juga. Rata-rata, Pak Sulin melakukan injeksi satu bulan sekali, ada juga yang dua bulan sekali. Kalau pasiennya sudah mendapat obat oral, biasanya dapat suntikan tiap dua bulan sekali. Kalau sudah semakin bagus, mereka cukup memakai obat oral saja.  

Ke depan, aula di Puskesmas Paringan akan dijadikan tempat para pasien mengasah keterampilan berwirausaha, seperti membuat keset atau membuat sulak. Sebagai pembelajaran pula supaya mereka bisa kembali ke masyarakat. 

“Kita perlu waktu panjang untuk memulihkan pasien-pasien yang baru saja rawat inap, Mas. Apalagi yang kasus pasung, saya nggak yakin mereka langsung bisa dilepas. Kemungkinan besar dipasung lagi, dan re-pasung itu kasusnya banyak.”

Pak Sulin memimpikan fasilitas baru tersebut bisa menjadi rumah singgah para pasien. “Jadi, kalau pasien sekitar sini sedang tidak ada kegiatan, monggo datang ke sana setiap hari. Kalau bisa, produk yang kelak mereka produksi bisa memiliki brand sendiri. Nanti kita yang membantu memasarkannya.”

Reporter : Prima Ardiansah
Editor     : Agung Purwandono

BACA JUGA Warung Pecak Ikan Pari Mbak Yanti Pekalongan, Bikin Mandi Keringat dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version