Nikmatnya Nasi Megono, Mertua Lewat Sampai Nggak Kelihatan

Nikmatnya Nasi Megono, Mertua Lewat Sampai Nggak Kelihatan

Nasi megono menjadi jenama kuliner yang melekat dengan Pekalongan, Jawa Tengah. Makanan berbahan cacahan nangka muda, dicampur parutan kelapa, berbumbu dan dikukus ini sempat ramai karena saling klaim antara Pekalongan dan Kabupaten Batang. 

***

Bagi warga yang tinggal di wilayah Kabupaten Pekalongan dan Kota Pekalongan, kalau sarapan pagi, mengonsumsi nasi megono itu adalah kebutuhan. Demikian pula kalau makan siang dan malam. Karena kalau sehari belum “ketemu” nasi megono, menurut pengakuan mereka, rasanya kok masih ada yang kurang.

Di Pekalongan sangat mudah untuk mencari nasi megono. Hampir di setiap warung makan, baik yang lesehan, maupun semi resto, selalu menyediakan megono. Jadi campuran nasi putih di kala sarapan pagi, makan siang maupun malam. Soal nasi megono, bahkan jadi persoalan bagi sebagian orang Pekalongan yang merantau ke luar negeri. 

Setidaknya teman saya yang bernama Hasan (60) mengalaminya. Lahir dan besar di Kampung Arab, Kota Pekalongan nyatanya membuat hidup tanpa megono adala. Ia cukup lama bekerja di Arab Saudi, sekitar 3 tahun. Meski gaji yang diterima lumayan besar, namun ia mengaku tidak kerasan bekerja di negeri orang.

“Saya selalu rindu Pekalongan, inginnya pulang terus. Rindu sarapan pagi pake nasi megono pake tempe goreng yang masih anget,” katanya saat saya bertemu dengannya di sebuah toko buku. Menurut Hasan, mana ada nasi megono di Arab Saudi. Maka, begitu ia pulang ke Pekalongan, satu tempat yang didatanginya pertama kali setelah istirahat di rumah adalah warung nasi megono. 

“Selama 3 tahun lidah ini tidak menyentuh nasi megono, maka begitu merasakannya,  lidah saya seperti njoged (menari), he… he…,” katanya terbahak.  

Warung yang “dijujug” (dituju) Hasan adalah warung nasi megono “Pak Bon” langganan dia,  yang berada di kawasan Pedagang Kaki-5, di seputar lapangan Sorogenen. Ada pun Sorogen kini dijadikan lokasi pasar darurat, sejak Pasar Banjarsari atau yang lebih dikenal dengan nama Pasar Sentiling, terbakar habis, akhir Februari 2018  dan hingga kini belum dibangun kembali. 

nasi megono pekalongan
Mbak Maya, cucu Pak Bon saat melayani pelanggan. Foto oleh Kasirin Umar/Mojok.co

Sedangkan warung nasi megono ”Pak Bon”, berdiri sudah cukup lama, yaitu sekitar awal 1970. Kini warung nasi megono “Pak Bon” dikelola oleh cucu Pak Bon yang merupakan generasi ke 3.

Di warung makan berukuran sekitar 8 X 5 meter itu, menu yang disajikan sejak dulu nyaris sama. Yaitu, nasi megono, sambal petai, sambal kecap, tempe dan tahu goreng. Telor ceplok, telor bundar, opor ayam, daging empal sapi dan garang asem.

“Warung kami buka setiap hari, sejak jam 07.00 pagi hingga jam 22.00, hari Minggu tetap buka,” ujar Maya (27), cucu Pak Bon, kepada saya.

Ada pun harga nasi megono realitif murah, Rp.4.000.-/porsi. Kalau nasi megono lengkap dengan lauk satu potong tempe atau tahu goreng, telor ceplok plus satu gelas teh manis,  Rp.12.000,-

Apa sih megono? Pertanyaan ini pasti akan menggelitik setiap orang di luar wilayah Pekalongan. Megono terbuat dari nangka mentah yang dicacah, dicampur parutan kelapa,  lalu dikukus dan diberi bumbu. Kalau sudah dicampur dengan nasi putih hangat dengan lauk tempe goreng, rasanya jooos! Atau kelasnya lebih meningkat lagi, semisal ditambah telor ceplok atau telor bundar, apa lagi ditambah dengan sepotong  daging empal, pasti ueenak tenan. 

Saking enaknya, kata orang Pekalongan, “morotuwa liwat ora weruh” (mertua lewat tidak tahu).

Saling klaim megono

Suatu saat pernah terjadi saling klaim tentang eksistensi megono, antara warga Pekalongan dan Kabupaten Batang. Sekitar pertengahan tahun 2017, ketika peringatan Hari Jadi Kabupaten Batang yang lahir pada 8 April 1966, salah seorang pejabat memberikan keterangan pers kepada awak media, bahwa di Batang terdapat sejumlah menu kuliner yang amat familiar, salah satu di antaranya adalah nasi megono. Karena megono (dikatakan oleh pejabat tersebut) merupakan makanan khas Batang. 

Kontan, beberapa selang waktu kemudian, muncul bantahan dari warga Pekalongan yang viral di media sosial (medsos). Warganet tersebut menyatakan, bahwa sego megono adalah makanan khas Pekalongan, bukan makanan khas Batang.

Nasi Megono Pak Bon, salah satu warung megono di Pekalongan yang laris. Foto oleh Kasirin Umar/Mojok.co

Tentu saja bantahan tersebut mengundang reaksi keras warga Kabupaten Batang, yang melontarkan komentar balasan, bahwa megono adalah makanan khas Batang. Ini bisa dimaklumi, karena di wilayah Kabupaten Batang, sejak zaman baheula nasi megono juga mudah dijumpai, di setiap warung, sama seperti di Pekalongan. 

Mengapa lebih dikenal megono Pekalongan dari pada megono Batang? Karena “gaung”nya sejak dulu lebih kencang megono Pekalongan dari pada Batang. Soal nasi megono, ternyata di Wonosobo, nama nasi megono juga familiar sebagai kuliner khas daerah tersebut. Namun, orang-orang Wonosobo nggak ikut saling klaim karena menu megono mereka berbeda dengan megono Pekalongan atau Batang.

Saling mengklaim serta adu argumen di sosmed antara warga Batang dan Pekalongan yang bertetangga tentang megono tersebut,  menimbulkan pertanyaan. Lalu mana yang benar?

Saya menghubungi, Arief Dirhamsyah, penggiat sejarah Pekalongan melalui telepon, Selasa (26/11/2021. Berdasarkan cerita turun temurun megono sudah lama ada, sejak zaman Ratu Shima yakni penguasa Kerajaan Kalingga di Jepara, Jawa Tengah, sekitar tahun 674 M.

“Di zaman Kalingga,  para petani di wilayah Pekalongan, setiap menyambut panen raya padi, membuat nasi tumpeng megono lengkap dengan lauk pauknya. Termasuk memasak menu ingkung ayam, sebagai tanda syukur atas hasil panen yang melimpah.  Bedanya kalau zaman dahulu, nasi tumpeng megono hadir saat menjelang panen raya. Kini, setiap hari nasi megono mudah ditemukan di Pekalongan,” kata Arief.

Terkait dengan saling klaim megono antara Pekalongan dan Batang tersebut, Arief Dirhamsyah menyebutkan, semuanya benar. “Orang Pekalongan mengklaim megono adalah merupakan masakan asli khas Pekalongan adalah sah-sah saja. Demikian juga orang Kabupaten Batang, yang mengaku bahwa megono adalah merupakan masakan khas Batang, juga tidak salah,” terang Arief.

Mengapa demikian, karena menurut Arief Dirhamsyah, dulu Kabupaten Pekalongan sejak Proklamasi Kemerdekaan RI 1945, meliputi  2 wilayah. Yaitu,  Pekalongan dan Batang. Seiring perjalanan waktu, Kabupaten Pekalongan dibagi menjadi 3 wilayah, yakni Kabupaten Pekalongan, Kotamadya (sekarang Kota) Pekalongan dan Kabupaten Batang. Sehingga budaya dan jenis kuliner yang ada, termasuk megono hampir semuanya sama. Bahkan di sepanjang Pantura, nasi megono jadi menu kuliner yang mudah dijumpai.

BACA JUGA ​​Seorang Anak Muda yang Naik Gunung Rinjani Modal Jempol karena Skripsi dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version