Nasib Sedih Nelayan di Waduk Mrica Banjarnegara, Bendungan yang Dibangun Soeharto

Nasib Sedih Nelayan di Waduk Mrica Banjarnegara, Bendungan yang Dibangun Soeharto. MOJOK.CO

ilustrasi Nasib Sedih Nelayan di Waduk Mrica Banjarnegara, Bendungan yang Dibangun Soeharto. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Waduk Mrica atau Bendungan Jenderal Sudirman yang terletak di Banjarnegara mengalami sedimentasi cukup parah. Pendangkalan akibat endapan lumpur yang terjadi berdampak ke banyak aspek. Termasuk para nelayan yang sehari-hari mencari ikan di tempat ini.

***

Sekitar pukul tujuh pagi dari tepi Waduk Mrica sisi utara yakni wilayah Wanadadi, Banjarnegara, para nelayan sudah mengitari tengah bendungan dengan perahunya. Melempar jala ke berbagai penjuru demi bisa membawa pulang tangkapan yang memuaskan.

Mereka biasanya memang mulai beraktivitas sejak pukul 6 pagi. Lalu menepi jelang tengah hari dengan atau pun tanpa tangkapan yang bisa mereka jual.

Di Waduk Mrica yang digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), tepian waduknya kini mayoritas tertutup tumbuhan eceng gondok. Pagi itu, saya melihat masih ada beberapa perahu yang tertambat. Beruntung, tak berselang lama ada seorang lelaki yang datang mendekat menggunakan motornya. Supriono (37) hari ini berangkat sedikit telat lantaran tidak hendak mencari tangkapan ikan.

“Saya mau ngecek ikan di keramba saja hari ini,” katanya seturun dari motor.

Selain menangkap ikan, para nelayan di Waduk Mrica juga biasanya mempunyai keramba yang terletak di tengah bendungan. Mereka memelihara ikan hias dan konsumsi sebagai alternatif sumber pendapatan.

Supriyono sedang mempersiapkan perahunya menuju keramba.

Supriyono sedang mempersiapkan perahunya menuju keramba. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Supriono mengaku saat ini kerambanya berisi ikan hias mulai dari koi hingga nila slayer. Ia masih memelihara ikan konsumsi seperti mujair dan nila, tapi dengan jumlah yang jauh lebih sedikit.

Beberapa bulan belakangan, lelaki yang sudah lima tahun menjadi nelayan dan pembudidaya ikan ini mengaku hasil tangkapan sedang surut. Jangankan bisa meraih tangkapan memuaskan, baginya pulang membawa hasil saja sudah merupakan berkah.

Nelayan di Waduk Mrica biasanya memperoleh berbagai jenis tangkapan seperti ikan nila, mujair, gabus, udang, hingga lobster air tawar dengan jumlah kecil. Ada juga mence, ikan kecil yang kerap menjadi andalan saat tangkapan ikan yang lain surut.

Ikan menghilang karena Waduk Mrica makin dangkal

Supriono mengenang, pada saat tangkapan baik, ia bisa mendapat ikan mencapai 20 sampai 30 kilogram. Ia menebar jala sore hari dan pada pagi harinya ia angkat. Sedangkan untuk udang-udang kecil, dari pagi sampai tengah siang bisa menangkap 7 sampai 10 kilogram.

“Bahkan kalau ikan kalamence itu, pol bagusnya sampai satu kuintal dalam satu hari. Itu satu orang ya,” ujarnya.

“Tapi itu ya sekali dua kali. Pas beruntung-beruntungnya,” cetusnya.

Ada hari dengan keberuntungan besar, tapi lebih banyak lagi hari yang nyaris tanpa hasil tangkapan sama sekali. Hasil perolehan juga tergantung musim. Baginya ada musim saat ikan banyak muncul. Namun, ada masa di mana mereka sulit sekali ditemukan.

Namun yang jelas, beberapa tahun terakhir seiring pendangkalan waduk atau bendungan yang masif, mencari ikan terasa tidak mudah bagi Supriono. Di seputar bendungan sudah muncul pulau-pulau kecil yang terbentuk dari gundukan lumpur.

Salah satu sudut tembok bendungan bernama Peler Wanadadi, tepiannya kini berubah menjadi gundukan lumpur. Padahal beberapa tahun lalu masih berupa genangan air cukup dalam. Tampak di atasnya telah tumbuh beragam tumbuhan termasuk eceng gondok.

“Tempat berkumpulnya ikan jadi semakin mencar,” keluhnya.

Gundukan ‘pulau’ dari proses sedimentasi di tepi Waduk Mrica sekitar Peler Wanadadi. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Pertumbuhan eceng gondok yang cepat membuat ruang gerak dan akses nelayan untuk mencari ikan jadi terbatas. “Nggak ada habisnya. Mau dibuang pun nanti tumbuh lagi,” kata Supri sambil geleng-geleng kepala.

Bendungan ini telah menjadi sumber penghidupan bagi banyak warga di Kecamatan Bawang dan Wanadadi, Banjarnegara. Sejarahnya, peletakan batu pertama dilakukan oleh Presiden Soeharto pada 1987 lalu resmi beroperasi pada 1989.

Pembangunannya menenggelamkan sekitar 32 desa, sebab luas areanya mencapai 1.250 hektare. Pengoperasian PLTA Panglima Besar Jenderal Soedirman ini berada di bawah naungan anak perusahaan PLN, PT Indonesia Power. Sebagai pembangkit listrik, daya yang dihasilkan sebesar 180,93 Mega Watt (MW).

Masalah lumpur Waduk Mrica yang bisa menjebol bendungan

Permasalahan sedimentasi di Waduk Mrica sebenarnya sudah terdeteksi sejak lama. Erosi yang terjadi di sepanjang DAS Serayu wilayah Wonosobo dan Banjarnegara menjadi salah satu sebab banyak material mengendap di bendungan.

Peneliti UGM, Hatma Suryatmojo dalam risetnya mengemukakan penyebab kondisi kritis di DAS Serayu adalah semakin banyaknya praktik pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah dan air. Kerusakan terparah terjadi di daerah hulu Serayu yakni dataran tinggi Dieng.

Kawasan Dieng diperkirakan mengalami degradasi lahan dan peningkatan erosi sekitar 161 ton per hektare per tahun. Kondisi itu mendorong terjadinya sedimentasi ekstrim di bendungan yang menampung aliran air dari Sungai Serayu.

Tempo dalam laporannya menyebut bahwa waduk ini bisa berhenti beroperasi lebih cepat akibat lonjakan endapan sedimen. Kajian Indonesia Power pada masa awal pengoperasian memperkirakan angka sedimentasi berkisar 2,4 juta meter kubik per tahun.

Namun, pada praktiknya, temuan lapangan pada 2021 sedimentasi telah menembus 6,5 juta meter persegi per tahun.  Bahkan endapan sedimentasi di Waduk Mrica pada 2021 telah mencapai 87,87 persen dari keseluruhan volume waduk berdasarkan kajian perusahaan. Kajian awal yang memperkirakan bahwa bendungan ini bisa bertahan sampai 2049 melaju lebih cepat.

Kondisi ini diperparah dengan potensi jebolnya bendungan jika endapan lumpur terus meningkat tanpa penanganan yang tepat. Bupati Banyumas, Achmad Husein telah menyampaikan kekhawatiran tentang potensi bencana tersebut pada 2022 lalu.

Baca halaman selanjutnya

Kawasan yang paling berisiko kalau Waduk Mrica jebol

Kawasan yang paling berisiko kalau Waduk Mrica jebol

Banyumas menjadi kawasan yang paling berisiko jika terjadi jebol di Waduk Mrica. Luapan tidak hanya berpotensi merusak ekosistem di DAS Serayu bawah namun juga membahayakan permukiman di sekitar sungai.

“Khawatir, mbok ada kejadian (bendungan jebol) nanti terlambat,” ujar Achmad (5/9/2022) melansir Tempo.

Eceng gondok menutupi permukaan air Waduk Mrica. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Pihak Indonesia Power telah melakukan upaya pengurangan lumpur dari waduk. Aktivitas flushing lumpur pernah mendapat kecaman dari Bupati Banyumas lantaran mencemari hilir Sungai Serayu yang mengakibatkan kematian ribuan ikan.

Saat ini proses pembuangan lumpur telah dievaluasi sehingga tidak langsung mengarah ke hilir Serayu. Menurut pengamatan Supriono, saat ini lumpur mengarah ke wilayah Bandingan supaya tidak langsung mencemari sungai.

“Setahu saya itu sekarang lumpurnya mengarah ke Bandingan. Tadinya ikan di sungai bawah pada mati karena lumpur itu,” katanya.

Pertumbuhan ikan di keramba tidak secepat dahulu

Supriono mengaku, selain mencari ikan yang semakin sulit, budidaya keramba juga mengalami penurunan kualitas. Ia merasakan pertumbuhan ikan saat ini lebih lambat.

Menurutnya, Indonesia Power telah melakukan berbagai cara untuk menanggulangi sedimentasi. Ia juga merasa bersyukur karena mendapat izin untuk mengelola keramba di area waduk. Anak perusahaan PLN ini telah melakukan pengaturan zona bagi keramba seiring proses pengerukan lumpur yang semakin masif.

Di sekitar tempat tinggalnya, profesi nelayan di Waduk Mrica mulai ditinggalkan. Saat ini, di satu RT, ada sekitar sembilan orang yang aktif menjadi nelayan. Sebagian di antara mereka juga turut mengelola keramba untuk menambah penghasilan.

Nelayan sekaligus petani ikan lain, Siman (40) juga mengaku telah mengalami perpindahan keramba karena arahan Indonesia Power. Sebenarnya, ia menilai lokasi kerambanya saat ini terbilang kurang ideal.

“Dulu di wilayah awal pertumbuhan ikannya bagus. Di area sekarang lebih lama. Tapi perpindahan ini juga karena untuk perbaikan. Kalau sudah dikurangi lumpurnya, jadi dalam lagi waduknya, jadi enak lagi,” katanya.

Untuk mencari ikan, ia juga mengaku mulai mengalami kesulitan. Volume air berkurang akibat tingginya endapan di dasar waduk membuat kuantitas ikan merosot.

“Dulu 10 kilogram sehari sering dapat. Sekarang sekilo dua kilo saja susah,” ujarnya.

Maryuni membawa ikan hasil kerambanya. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Senada, Maryuni (60) mantan nelayan yang kini fokus mengelola keramba juga mengaku merasakan lamanya pertumbuhan ikan. Dulu, 3-4 bulan ikan bisa dipanen, sekarang sampai enam bulan pun terasa sulit.

Nelayan dan pembudidaya ikan di keramba ini menjadi salah satu saksi perubahan kondisi Waduk Mrica yang semakin memprihatinkan dari waktu ke waktu. Bendungan ini menjadi bagian penting bagi aliran Sungai Serayu yang membentang dari Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, hingga Cilacap.

Erosi besar-besaran di hulu Serayu sepanjang Wonosobo dan Banjarnegara, bukan hanya berdampak pada Waduk Mrica. Namun juga menjadi bahaya bagi hilir sungai yang bermuara di Teluk Penyu ini.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Sekar Krisnauli Tandjung, Ujung Tombak Golkar Solo yang Sudah ‘Beringin’ Sejak Dini

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version