Menu nasi megono jamak kita temui di Wonosobo. Namun, ada satu warung yang istimewa karena rasanya nikmat dan harganya merakyat. Namanya Warung Bu Siti. Warung ini sudah lama jadi jujugan anak sekolah.
***
Selasa (22/2/2022) sore, setelah seharian berkegiatan, saya mampir ke warung nasi langganan, namanya Warung Bu Siti. Warungnya sederhana, lokasinya ada di Jalan Tata Bumi, Singkir, Jaraksari, Wonosobo. Tujuan saya menyambangi warung ini tentu saja untuk menyantap sepiring nasi megono yang jadi menu andalan warung ini.
Nasi Megono di Warung Bu Siti ini sudah jadi langganan saya sejak SMA. Sesuai nama warung, pemiliknya Bernama Siti Istiqamah (50). Anak-anak SMA 1 Wonosobo pasti tahu Warung Bu Siti. Karena lokasinya berada dekat dengan SMA 1 Wonosobo.
Sesampainya di warung, saya langsung memesan nasi megono, tahu goreng, dan segelas es teh. Sambil menunggu, saya berbincang dengan Bu Siti tentang awal mula ia memulai usahanya. Ia senang saat saya tanya soal sejarah warungnya. Ia memulai cerita dengan memutar ingatan dua puluh tahun lalu.
“Jadi warung ini sudah ada dari tahun 2002 yang awalnya cuma jualan sembako, belum ada makanan matang seperti sekarang, saya jualan waktu itu masih jadi sampingan karena saya juga bekerja di PT. Dieng Jaya,” ungkap Bu Siti.
“Nah, baru setelah satu tahun berjalan akhirnya saya memutuskan untuk fokus usaha sendiri saja dan keluar dari PT. Dieng Jaya, pesangon dari situ saya gunakan untuk mengembangkan warung,” imbuhnya.
Sembari saya mulai menyedot es teh, Bu Siti kembali bercerita: “Lalu, di tahun 2007 baru saya mulai jualan nasi megono sama bubur, jadi saya memutuskan untuk jualan makanan disamping jual sembako itu karena awalnya Bu Dhe saya buka kos-kosan yang isinya anak SMA 1 Wonosobo, awalnya itu saya kasihan dengan anak kos, dulu mereka kalau cari makan harus ke depan (jalan raya) atau ke dalam kampung, karena itu lalu saya buat warung makan sekalian, biar anak kos itu kalau cari makan bisa dekat.”
Warung Bu Siti telah mengalami beberapa kali perubahan. Seperti yang diakuinya, dulu jualan nasi megono sama bubur masih pakai meja di depan, belum berbentuk warung seperti sekarang. Memang benar, saya menyaksikan sendiri dulu waktu zaman masih SMA warungnya belum seperti sekarang, saat ini sudah semakin luas dan ada renovasi di beberapa titik.
Perkembangan secara fisik dari Warung Bu Siti itu bisa menjadi tolak ukur bahwa warung yang berada di dekat SMA 1 Wonosobo itu cukup berhasil. “Alhamdulilah, meskipun warung ini terbilang sederhana tetapi mampu mencukupi kebutuhan, nasi megono yang sudah dijual sejak 15 tahun yang lalu itu masih digemari banyak orang sampai sekarang,” ungkap Bu Siti sembari memotong sawi.
Saya menikmati sepiring nasi megono sembari asik mengobrol dengan Bu Siti. Oya, menu nasi megono ini sangat mudah ditemui di Wonosobo. Ciri khasnya berisi irisan kubis, parutan kelapa, udang ebi, dan bumbu-bumbu lainnya. Rasanya gurih dan sudah jadi menu favorit orang-orang Wonosobo. Nasi megono Wonosobo sangat pas jika disantap dengan tempe kemul selagi hangat. Sayang, ketika saya menikmati datang tempe kemul sudah habis di Warung Bu Siti.
Selain itu, istimewanya nasi megono khas Wonosobo yang jadi pembeda dengan wilayah lain seperti di wilayah Pantura (Pekalongan, Batang, dll) adalah antara potongan kubis dengan nasi tidak dicampur secara langsung, melainkan dicampur dadakan saat sudah ada yang pesan, sehingga bisa lebih tahan lama, dan lebih segar.
Tidak perlu waktu lama untuk menyiapkan seporsi nasi megono, karena tinggal mencampur saja antara nasi dengan potongan-potongan sayur yang sudah diracik sebelumnya. Di sela saya makan, Bu Siti kembali melanjutkan ceritanya. “Oh iya, tadi belum cerita ya soal ada guru SMA 1 Wonosobo yang menyarankan siswanya buat makan di sini?” tanya Bu Siti.
Setelah saya jawab “belum”, ia lantas bercerita, “Itu namanya Bu Evi, jadi dulu waktu awal saya membuka warung nasi, siswa SMA yang ngekos itu sering disuruh makan ke sini, tapi sebelum itu Bu Evi pernah pesan ke saya agar harganya sesuai kantong pelajar, itu saya iyakan.”
Bu Siti memegang janjinya, pelajar yang datang ke sana bisa makan dengan harga yang murah meriah, berawal dari situ akhirnya Warung Bu Siti dikenal dari mulut ke mulut. Bukan hanya pelajar saja, tetapi semua pelanggan dari berbagai kalangan bisa menikmati menu-menu di Warung Bu Siti dengan harga yang murah.
“Di sini itu tidak mematok harga dari dulu, jadi misal ada orang yang mau beli nasi megono Rp4.000, Rp3.000, bahkan Rp2.000, itu tetap saya layani, ya nanti tinggal saya sesuaikan saja porsinya, bahkan teh juga ada banyak pilihan, bisa teh manis atau tawar, gelas kecil atau besar, harganya pun nanti akan menyesuaikan, kecuali kaya tempe kemul, tahu, atau ayam, kalau itu tetap harganya sama (menyesuaikan pasar) wong tidak bisa dibagi,” ungkapnya.
Bertahun-tahun Warung Bu Siti jadi tempat favorit para pelajar—terutama pelajar SMA 1 Wonosobo, untuk singgah saat pulang sekolah. Mereka biasa mengisi perut dulu sebelum pulang ke rumah. Warung Bu Siti terkenal murah meriah. Satu kali makan dengan nasi megono, tempe kemul, dan teh hanya habis sekitar Rp6.000. Ini juga yang menjadi salah satu alasan saya dan teman-teman SMA menjadikan warung ini sebagai langganan. Bahkan hingga saat ini walaupun saya sudah kuliah, masih kerap mampir Warung Bu Siti untuk makan nasi megono.
Karena dikenal harganya yang murah ini jugalah, Bu Siti punya langganan tak hanya anak sekolah. Langganan utamanya selain anak sekolah juga dari para pekerja di gudang sebuah toko swalayan dan toko air mineral yang letaknya tidak jauh dari warung.
“Langganannya ya itu, orang-orang gudang depan.” Bu Siti sambil menunjuk ke gudang. “Makanya kenapa warung ini kalau hari minggu tutup ya itu karena anak sekolah sama karyawan gudang libur, bukan karena saya ingin santai atau istirahat,” tambah Bu Siti, yang sekaligus menjawab rasa penasaran saya karena sejak dulu ada bercandaan “Bu Siti itu kaya PNS kalau Minggu libur”.
Melayani orang-orang yang butuh perut kenyang tetapi tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam, nampaknya menjadi prinsip dari Warung Bu Siti. Harganya yang murah juga tidak membuat warung itu sembarang menghidangkan. Rasanya enak dan ngangeni. Hal itu bukan hanya saya yang merasakan, tetapi beberapa kawan yang masih kerap singgah untuk makan nasi megono di sana.
Warung nasi megono Bu Siti buka dari jam enam pagi sampai delapan malam. Biasanya warung ini dikunjungi rombongan atau kelompok orang yang bukan hanya makan nasi megono dengan tempe kemul tetapi juga untuk sejenak rokokan, ngopi, atau sekadar pesan mie instan. Tentu juga dengan harga yang murah.
Uniknya di Warung Bu Siti ini juga seolah tidak ada lagi status sosial, entah itu pelajar, mahasiswa, guru, buruh, bahkan pengangguran pun akan melebur di warung itu. Semua berbaur dan mengobrol. Mungkin hal semacam itu belum saya temukan di tempat lain. Setelah selesai makan megono, perut saya sudah kenyang, tak berapa lama kemudian lantas saya pamit untuk pulang dan menyudahi obrolan di sore itu.
Reporter: Galih Nugroho
Editor: Purnawan Setyo Adi