Misteri Nyanyian Merdu di Gua Maria Tritis

Gua Maria Tritis Gunungkidul

Gua Maria Tritis Gunungkidul

Gua Maria Tritis, di Paliyan Gunungkidu merupakan tempat ziarah bagi umat Katolik. Tempat ini bukan hanya jadi tempat berdoa tapi juga jadi harapan masyarakat sekitarnya.

***

Gua Maria adalah salah satu destinasi wisata spiritual bagi umat Katolik. Budaya ini berawal dari penampakan Bunda Maria di sebuah gua di Lourdes, Prancis. Dari penampakan yang disahkan sebagai mukjizat oleh Gereja Katolik, banyak umat di penjuru bumi yang mengabadikan peristiwa ini di daerahnya. Umumnya, gua Maria adalah gua buatan yang dilengkapi patung Bunda Maria.

Namun, ada juga beberapa gua alami yang diubah menjadi peziarahan gua Maria. Selain gua Lourdes tadi, di Jogja ada satu gua alami sebagai tempat devosi bagi Bunda Maria. Dikenal sebagai Gua Maria Tritis, gua ini berada di Giring, Paliyan, Kabupaten Gunungkidul. Gua di pegunungan karang dan kapur ini menyimpan sejarah panjang sebelum diubah menjadi area peziarahan Katolik.

Gua Maria Tritis berjarak sekitar 37 Km dari pusat kota Jogja. Melalui jalur Jogja Wonosari, peziarah bisa melewati Kecamatan Paliyan sebelum turun ke Jalan Pantai Selatan. Jika terus turun ke selatan, banyak pantai indah yang akan menyambut. Dari Pantai Kukup, Sepanjang, Drini, dan Watu Kodok berada di selatan lokasi ziarah ini. 

Saya dan beberapa rekan meluangkan waktu untuk wisata kecil-kecilan di Pantai Watu Kodok. Pantai berpasir putih ini cukup lengang di hari kerja. Ditambah lagi dengan pembatasan PPKM yang menekan jumlah pengunjung sampai 25% dari kapasitas. 

Dari pantai Watu Kodok, kami naik ke pegunungan selatan Jogja ini sampai ke jalan masuk Gua Maria Tritis. Di depan portal, kami disambut oleh salah satu penduduk setempat. Beliau menawarkan sekotak lilin untuk berdoa sekaligus memandu kami menuju area parkir.

“10 ribu saja mas, simbah belum laku,” ujar lirih penduduk tadi. Langsung kami beli karena kami juga belum membawa lilin dari rumah. Lagipula, harga yang ditawarkan memang harga normal. Tanpa mark up berlebih seperti yang ditakutkan setiap berada di destinasi wisata. 

Jalur menuju area parkir ini cukup layak. Namun, memang kecil sehingga akan menyulitkan ketika dua mobil berpapasan. Sesampainya di lokasi parkir, beberapa penduduk setempat duduk berkerumun sambil membawa payung. Ternyata mereka adalah pemandu sekaligus jasa ojek payung. 

Kami langsung turun menuju area gua. Sebenarnya ada jalur Jalan Salib yang merupakan salah satu cara umat Katolik beribadah. Tapi karena sudah cukup payah setelah dari pantai, kami berenam hanya berniat berdoa di gua Maria. Oleh pemandu tadi, kami diarahkan menuju jalur berbatu di depan area parkir. 

Seingat saya, dulu jalur ini berupa tangga. Namun, tangga tersebut dibongkar dan menyisakan jalur bebatuan karang. Saya juga melihat ada beberapa molen semen serta gundukan pasir. Menandakan bahwa memang ada pembangunan yang sedang berlangsung. 

Jalan menuju Gua Maria Tritis. (Dimas Prabu Yudianto/Mojok.co)

Saya sempat kaget melihat di salah satu tebing di atas jalur kami. Saya pikir ada orang yang sedang berdiri di sana. Ternyata saya melihat 3 salib yang memang menjadi titik pemberhentian jalur doa Jalan Salib. Memang ada beberapa titik yang dilengkapi relief maupun patung di daerah ini.

Saat turun, kami diikuti oleh sekitar 5 pemandu yang menenteng payung. Di depan juga ada 1 pemandu yang menunjukkan jalan. Saya pribadi tidak banyak bicara dengan para pemandu karena sibuk mengabadikan tempat. Salah satu rekan saya, Cicil (27) berjalan di depan bersama pemandu tadi.

Saya coba menguping pembicaraan mereka. Cicil bertanya tentang referensi kuliner babi di wilayah sekitar. Pemandu tadi menjawab “saya tidak makan babi mbak” untuk menegaskan kepercayaan yang dianut. Saya dan rekan-rekan pun menahan tawa melihat miskomunikasi ini. 

Sesampainya di area istirahat dan toilet, kami dipersilahkan untuk berjalan menuju gua. Jalan rata ini melintas di pinggir jurang menuju Gua Maria Tritis. Di salah satu sudut jalur, terdapat prasasti peresmian lokasi ziarah ini. Prasasti tertanggal 20 Mei 2019 ini ditanda tangani oleh Uskup Keuskupan Agung Semarang, Mgr. Robertus Rubiyatmoko PR. 

Sesampainya di bibir gua, udara dingin khas gua alami langsung terasa. Gua ini diperindah oleh stalaktit dan stalagmit yang berkilat karena air. Salah satu titik di mana ada sekumpulan stalaktit besar terdapat kolam. Kolam ini menampung air yang menetes dari stalaktit ini. Di dalamnya terdapat kursi-kursi panjang dan altar untuk keperluan misa. Di belakang altar ini terdapat patung raksasa yang menunjukkan Yesus menengadah ke atas. 

Di mulut gua ini terdapat perempuan berusia lanjut sedang mendaraskan doa Salam Maria. Terlihat perempuan ini menggenggam kalung rosario yang seperti tasbih. Saya membungkuk di depan perempuan ini sembari mengucap “nuwun sewu”. Sapaan saya tidak berbalas, menunjukkan perempuan ini tengah khusuk berdoa.

Saya dan rekan-rekan menuju sudut gua dimana terdapat patung Bunda Maria. Patung berwarna hitam yang senada dengan dinding gua ini diterangi oleh sekumpulan lilin peziarah. Saya pun segera menyalakan lilin  dan duduk bersila di depan patung. Bukan karena ingin, namun karena tiba-tiba tubuh saya terasa berat. Entah karena capek, atau memang ada sesuatu.

Saya berdoa cukup lama. Di tengah doa, saya mendengar suara seseorang bernyanyi. Saya terus terdiam mendengarkan suara yang seperti orang berdehem ini. Suara nyanyian tersebut mirip dengan karakter lagu gereja. Namun, sampai detik ini, saya belum memahami lagu apa yang saya dengar.

Kondisi di dalam Gua Maria Tritis. (Dimas Prabu Yudianto/Mojok.co)

Setelah saya selesai berdoa, dengan mudah saya berdiri. Di lokasi doa hanya ada Cicil dan Dyah (29). Saya membisiki Dyah, “dengar sesuatu?” Dyah hanya menggeleng. Saya mulai penasaran siapa yang bernyanyi. Kebetulan di lokasi hanya tersisa kami bertiga. Sedangkan tiga orang kawan kami telah lebih dahulu meninggalkan gua. Ibu yang berdoa tadi juga masih mendaraskan doa dan bukan bernyanyi. 

Saya teringat kisah ibu saya saat mengunjungi Gua Maria Tritis. Ibu saya juga mendengar suara nyanyian. Padahal ibu saya hanya berdua dengan bapak karena area ziarah sedang sepi. Ketika ibu saya klarifikasi ke bapak, bapak ternyata tidak mendengar. Ketika saya teringat kisah ibu saya, suara tadi tiba-tiba hilang. Persis seperti yang ibu saya alami. 

Kami bertiga pun beranjak dari gua. Di depan pintu gua, ibu-ibu pendoa tadi sedang menyapu lokasi. Saya pun coba menyapa sekadarnya, “wah sepi nggih buk.” Ternyata ibu tadi langsung menyapa dengan antusias. Ibu tersebut bernama Fransiska Wasilah (60) yang akrab disapa Mbah Siska. Beliau menjawab pertanyaan saya dalam bahasa Jawa yang halus.

Mbah Siska adalah generasi pertama peziarah Gua Maria Tritis. Sebelum menjadi gua maria, gua tersebut adalah pertapaan bagi penganut kebatinan. Posisi gua yang jauh dari pemukiman membuat para peziarah kebatinan nyaman untuk bertapa di gua tersebut. “Kadang ada yang 3 hari, ada juga yang belasan hari mas,” kenang Mbah Siska. 

Nama Tritis sendiri berasal dari tetesan air dari stalaktit. Tetesan air ini dianggap seperti tetesan hujan yang jatuh dari atap rumah. Tetesan ini dalam bahasa Jawa bernama Tritisan atau Tritis. Nah dari istilah ini, nama Gua Maria Tritis berasal. Saya kembali melihat stalaktit raksasa yang tetesan airnya ditampung kolam buatan ini. Memang seperti melihat tetesan air hujan dari atap rumah.

“Kalau di bawah itu ada sungai mas, nanti ujungnya sampai Pantai Baron,” ujar Mbah Siska sambil menunjuk jurang di sebelah gua. Jurang tersebut, seperti lingkungan gua, penuh dengan tumbuhan liar. Sungai yang dimaksud tidak terlihat dari tempat saya berdiri. Karakter sungai bawah tanah ini mengingatkan saya pada luweng yang banyak ditemui di Gunungkidul. 

Mbah Siska bercerita tentang awal mula lahirnya Gua Maria Tritis. Semua diawali dari Pastor AL Hardjasudarma SJ yang berkeinginan membuat gua natal. Biasanya gua natal adalah gua buatan yang dipasang di area gereja. Saat menyampaikan keinginan itu pada warga Paroki Wonosari, seorang anak SD menceritakan gua indah di dekat rumahnya. Kejadian itu terjadi sekitar 1974-1975 menurut Mbah SIska 

Namun, juga ada versi lain tentang Gua Maria Tritis. Mbah Siska menjelaskan bahwa Romo Hardja ingin melaksanakan misa di wilayah Tritis. Karena ingin berbeda, anak kecil tadi menyarankan misa di Gua Tritis. Tapi dari dua kisah ini, pada akhirnya rombongan umat Paroki Wonosari mendatangi gua tersebut. Menurut informasi dari banyak sumber, anak tadi bernama Sanjaya Giring. 

Terkesima dengan keindahan alami Gua Tritis, Romo Hardja mengajak warga membersihkan gua. Semenjak itu, gua tersebut menjadi tempat doa bagi masyarakat Katolik. Kadang ada juga penganut kebatinan yang tetap bermeditasi di gua tersebut bersama para pendoa. 

Bagian pintu masuk gua. (Dimas Prabu Yudianto/Mojok.co)

Baru pada tahun 1977, Goa Tritis diresmikan sebagai tempat berziarah oleh Gereja Katolik. Kemudian pembangunan terus dilakukan sampai diberkati oleh Uskup Keuskupan Agung Semarang, Mgr. Robertus Rubiyatmoko PR. Baru beberapa bulan berjalan, pandemi menghadang dan peziarahan Gua Maria Tritis sempat ditutup.

Mbah Siska bercerita bagaimana beliau dan sang ayah rutin berziarah dan membersihkan lokasi gua. “Semenjak bapak meninggal, saya yang meneruskan bersih-bersih dan berdoa di sini,” imbuh Mbah Siska. Beliau mengaku, sejak gua dibersihkan oleh Romo Hardja sampai hari ini, ia selalu datang berdoa dan membersihkan area Gua Maria Tritis.

Menurut Mbah Siska, kehadiran gua ini juga membantu masyarakat sekitar, terutama semenjak pandemi COVID-19. Masyarakat bisa berjualan untuk para peziarah, baik makanan maupun perlengkapan doa. “Saya percaya, Tuhan Yesus memang ingin menyelamatkan masyarakat di Tritis, apapun agamanya,” ujar Mbah Siska sambil menengadah ke atas. 

Saya dan rekan-rekan berpamitan dengan Mbah Siska. Baru saja mengucapkan salam perpisahan, tiba-tiba hujan turun. Kami pun bingung, bagaimana cara kami menerabas hujan yang memang deras ini. Mbah Siska menepuk pundak saya sambil berkata, “Papapa mas, nanti bakal dipayungi pemandu.” 

Dan benar, pemandu yang tadi menunggu di seberang gua mendatangi kami dengan payung. Saya, Dyah, dan Cicil pun bisa segera menyusul rekan-rekan kami yang menanti di area toilet umum. Setelah berdiskusi tentang hujan yang tidak segera reda, kami pun meminta tolong para pemandu untuk memayungi kami sampai ke area parkir. 

Saya dipayungi oleh Bu Marsini (47). Sepanjang perjalan, Bu Marsini banyak bercerita bagaimana kehadiran Gua Maria Tritis membantu kehidupan masyarakat sekitar. “Pandemi corona benar-benar membunuh mata pencaharian kami mas. Banyak warung kami yang tutup semenjak corona,” ujar Bu Marsini. 

Namun, dengan kehadiran Gua Maria Tritis, masyarakat bisa berjualan bagi para peziarah. Selain itu, Bu Marsini dan beberapa perempuan lain juga bisa menjadi pemandu serta menyewakan jasa ojek payung. “Tapi kami ini berdasarkan keikhlasan mas. Kami tidak mematok biaya,” tekan Bu Marsini.

 Saat saya bertanya tentang kondisi jalan yang seperti rusak, Bu Marsini menjelaskan pembangunan yang sedang terjadi. Jalur yang dibongkar ini ditujukan untuk peziarah manula dan disabilitas. Harapannya, peziarah berkebutuhan khusus ini bisa mengunjungi gua tanpa terhambat jalan tangga. Sayang sekali, pandemi membuat pembangunan area jalan ini terhambat.

Sesampainya di area parkir, hujan mereda. Dyah pun berbisik kepada saya, “sepertinya ini cara Tuhan agar kita berbagi dengan para pemandu.” Kami pun segera berpamitan sembari memberi sedikit biaya jasa memayungi kami. Saat kami melaju, seluruh pemandu mengucapkan selamat jalan dengan penuh kegembiraan.

Saat di dalam mobil, saya menceritakan perihal nyanyian misterius tadi. Semua penumpang menyuruh saya berhenti bercerita karena takut. Hanya Dyah yang mendengarkan kemudian berkata, “Ga cuma kamu saja yang mendapat peristiwa spiritual, aku pun juga.” Dyah segera menunjukkan foto di area patung Bunda Maria yang membuat saya tertegun. 

Bagaimanapun, Gua Maria Tritis bukan hanya jadi tempat berdoa.  Tempat tersebut juga jadi tempat berharap masyarakat sekitar.

Reporter: Dimas Prabu Yudianto
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Tetesan Berkah di Warung Abang Kesukaan Gus Dur Jombang dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version