Miss Hebihime dan Bisnis Konten Porno Rumahan yang Melenakan

Konten porno rumahan dijual karena banyak permintaan. Foto oleh Dimas Prabu/Mojok.co

Sebut saja namanya, Miss Hebihime. Usianya baru 20-an, pekerjaan utamanya adalah pornpreneur atau pembuat konten porno. Usahanya skala rumahan, dan caranya memenuhi semua kebututahan.

***

Soal konten porno, Indonesia adalah juara dua dunia sebagai negara pengakses konten porno di bawah India. Setidaknya itu hasil dari riset End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children For Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia tahun 2018.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun pernah melakukan survei perihal konsumsi pornografi ini. Hasilnya dari survei terhadap 4.500 pelajar SMP-SMA, menunjukkan 97 persen siswa mengakses konten porno.

Apalagi ketika pandemi, konten porno lebih banyak diakses. Menurut situs P*rnhub, terjadi peningkatan 18 persen dalam jumlah pengakses konten porno selama pandemi.

Banyaknya peminat konten porno, ikut punya peran lahirnya pembuat konten porno rumahan. Beberapa pihak menyebutnya sebagai Pornpreneur. Pembuat konten porno rumahan ini berbeda dengan penjual konten porno pada umumnya. Para pornpreneur ini benar-benar memproduksi konten porno sendiri. Baik foto maupun video, single maupun bersama partner.

Miss Hebihime adalah salah satu yang menyebut dirinya pornpreneur. Mungkin penyimak anime One Piece paham siapa tokoh yang dijuluki Hebihime. Perempuan berusia 20 tahun ini memang penggemar berat One Piece. “Ya aku ngefans aja sama Hebihime-sama. Kalau cantiknya sih kalah,” ujar Miss Hebihime.

Miss Hebihime menjelaskan bagaimana blio menjalankan bisnis konten porno pribadinya. “Ya aku take foto atau video sensual. Nanti aku bikin beberapa grade. Kalau yang biasa aja sih cuma semi telanjang. Lebih spesial nanti bener-bener telanjang. Nah yang paling tinggi kelasnya aku face reveal atau menunjukkan wajah. Nanti harganya bisa beda-beda,” terang Miss Hebihime.

“Aku juga bikin akun Twitter private. Nanti yang gabung bisa nikmatin kontenku. Selalu aku update sih, dan itu lifetime,” tambah Miss Hebihime sambil menunjukkan akun yang dimaksud. Saya mencoba profesional saat melihat.

Oleh Miss Hebihime foto-foto sensualnya ia jual mulai dari Rp 50 ribu per folder hingga Rp 200 ribu untuk paket. Satu folder ia isi dengan 15-20 foto. Ada juga paket 80 ribu buat add akun Twitter private, isinya foto Miss Hebihime yang terus diperbarui, tapi kuantitasnya tidak sebanyak beli konten.

Miss Hebihime tidak mau menjelaskan berapa rupiah pendapatannya dalam satu bulan. “Yang jelas 1 juta ke atas,” katanya tersenyum.

Keterusan hingga tuntutan ekonomi keluarga

Tentu ada alasan tertentu seseorang mau mengumbar foto telanjangnya meski itu berbayar.

“Pertama sih karena seneng aja. Ada yang mau membayar konten telanjang aku dengan harga tinggi. Terus jadi keterusan,” jelas Miss Hebihime mengemukakan alasannya jualan konten porno.

“Bukan tekanan ekonomi ya?”

“Hahahaha, awalnya nggak lah. Tapi orang rumah (keluarga) jadi tau kalau aku megang uang terus. Jadi didesak harus megang uang terus,” ungkap Miss Hebihime sambil membenahi rambutnya. Kembali, saya berusaha fokus pada mencari informasi.

“Tapi orang rumah gatau kan kamu jual konten?,” tanya saya kembali. Miss Hebihime hanya menjawab singkat, “nggak dong.” Miss Hebihime mengatakan, orang-orang termasuk keluarganya tahunya ia wiraswasta. Namun, sejujurnya, ekonomi hidupnya ditopang dari jualan konten porno yang ia buat.

“Maaf nih bukan apa-apa, tapi susah ga sih jalanin bisnis ini? Kan beberapa komentar di akun kamu bilang enak banget dapet duit dari jualan konten,” tanya saya.

“Hahaha, berat ya jalaninnya. Maksudnya gimana ya, siapa sih yang mau begini,” jawab Miss Hebihime sambil tergelak.

“Even ini termasuk easy money, Cuma akunya aja berat aja gitu. Effort juga sih tapi gimana ya, kadang orang taunya mah duitnya buat hedon atau apa. You know lah. Tapi jujur enggak,” imbuhnya.

“Ni aku ga cerita ke sembarang orang ya,” ucap Miss Hebihime agak berbisik. Saya makin tertarik sampai menarik kursi untuk mendekat.

“Banyak yang bilang jual konten ga ngapa-ngapain bisa dapat uang, blablabla. Maunya hedon tapi gamau usaha ini itu,” ungkap Miss Hebihime.

“Aku gatau ya kalau yang lain (pembuat konten porno) bakal buat hedon atau apa. Tapi aku pribadi ya jujur buat kebutuhan rumah. Listrik, cicilan laptop adek, makan adek, sama kucing di rumah,” tegas Miss Hebihime.

“Mama tuh benar-benar lepas tangan gitu deh. Makanya kalau aku ga ada duit, suka panik kalau mepet bayar tagihan,” tambah Miss Hebihime yang memilih tidak tinggal bersama keluarganya.

Berjualan konten porno tidak pernah mudah

“Eh, terus masalah effort apa aja nih? Misal mikir ide konten, beli kostum, apa yang lain?,” tanya saya penasaran. Apalagi melihat Miss Hebihime adalah seorang pornpreneur yang produktif.

“Kalo kostum kayak lingerie gitu jelas beli sendiri. Ya apa-apa sendiri. Masak minta orang sih wkwkwk…,” jawab Miss Hebihime sambil tertawa.

“Tapi jujur sih pusing. Kan gaya-gaya buat foto sama video kan ga banyak kan, tapi harus variatif dan banyak request dari buyer hahaha,” tambah Miss Hebihime.

Saya makin penasaran ketika bicara pembeli. “Ada ga sih pembeli yang reseh gitu? Lalu gimana kamu ngadepinnya?”

“Wah banyak banget. Dari yang maunya buru-buru sampai pengoleksi nomer Gopay. Gatau buat apa ha…ha…ha..,” jawab Miss Hebihime sambil geleng-geleng.

So far sih nemunya enak. Tapi ga enaknya ya gitu, banyak yang omdo,” tambah Miss Hebihime.

“Ada juga yang baper, terus maksa deketin aku. Ya gimana dong kan dari awal hubungan ini kan as customer and seller. Gabisa lebih gitu,” ujar Miss Hebihime.

“Tapi kamu pernah baper ga sih?,” tanya saya penasaran.

“Enggak lah hahahaha. Aku belajar heartless kalau urusan ini,” jawab Miss Hebihime tegas. Jadi untuk anda yang baper saat membaca ini, maaf saja tidak ada kesempatan.

Ancaman pencuri konten dan ketahuan keluarga

Saya tertarik pada pencurian konten. Jadi menurut beberapa info dari teman, banyak yang menjual ulang konten porno setelah membeli dari pembuat konten. Tentu laris karena dijual dengan harga lebih rendah dari harga dari pornpreneur langsung.

That’s risk hahaha. Ya gimana lagi itu risikonya. Kadang ada yang main screenshot atau apa gimana jadi kualitasnya jelek kan. Kayak gitu pun laku dijual lagi. Maksudnya kalau udah terjun begini mau gamau pasti ada aja malingnya,” jawab Miss Hebihime sembari kembali membenarkan rambut. Memang berat juga untuk menjaga sikap profesional.

Konten porno rumahan biasanya dibuat layaknya foto selfie. Foto oleh Dimas Prabu Yudanto/Mojok.co
Konten porno rumahan biasanya dibuat layaknya foto selfie. Foto oleh Dimas Prabu Yudanto/Mojok.co

“Dan itu merugikan kamu?,” tanya saya. Jawaban Miss Hebihime hanya singkat, “iya gitu deh.”

“Oiya, kamu kan nunjukin wajah di konten kamu? Takut ga kalau ketahuan keluarga? Dan akun Twitter untuk jualan sama pribadi beda kan?,” tanya saya kembali.

“Kalau akun Twitter ini jelas ga ada keluarga apa temen tau. So far temen real life belum tau kerjaan ini sih. Tapi ya risiko gede sih buat ketahuan. Makanya sebelum kejadian gitu aku pengen berhenti,” jawab Miss Hebihime enteng.

Miss Hebihime menambahkan, memang ingin menghilangkan ketergantungan dari bisnis jual beli konten ini. Tapi tuntutan dan situasi tanpa pekerjaan yang membuat Miss Hebihime tidak punya banyak pilihan.

“Nah, buat berhenti nih. Kan banyak tuh yang komen di akun kamu buat nyuruh berhenti. Dibilang ga bener, badan kamu jadi imajinasi, dan lain-lain deh. Gimana nih komentar kamu ke mereka,” tanya saya.

Miss Hebihime langsung tertawa tergelak. “Hahahahaha. Gimana yah, gini deh. Udah risiko sih jual konten buat bahan imajinasi. Parah lagi kalau sampai kesebar. Kalau duit, yah terserah mau dibilang duit gajelas. Mau berhenti gimana dong. Sekarang malah kena hantam keluarga,” ujar Miss Hebihime.

Saya pun manggut-manggut. Mendengar cara Miss Hebihime menjawab meyakinkan saya bahwa yang blio sampaikan tidak main-main. Bisnis konten porno seperti ini memang tidak menyenangkan.

“Makanya bantuin aku cari kerja deh, biar aku ga ketergantungan kayak gini,” ujar Miss Hebihime sambil menatap saya. Sungguh, profesionalitas saya memang diuji.

Membeli konten punya kenikmatan berbeda

Dari sudut pandang pembeli, konten porno produksi pribadi punya nilai lebih. Dan ada pelanggan setia yang siap mengeluarkan biaya tinggi untuk mendapatkan konten seperti ini. Salah satunya adalah Mas Hasan. Tentu Hasan bukan nama sebenarnya dari pria berusia 29 tahun ini.

“Awalnya sih penasaran mas sama konten salah satu akun Twitter,” ungkap Mas Hasan. Blio menunjukkan beberapa folder Google Drive yang berisi konten porno tadi. Wah, saya lagi-lagi harus profesional. Tapi sejauh yang saya lihat, isi kontennya berbeda dengan konten milik Miss Hebihime.

“Kalau dapat full content seperti ini, bayarnya sekitar Rp 200 ribuan mas. Tapi dia juga jual eceran dari Rp 50 ribuan. Ada package lain misal bisa request kayak gitu,” imbuh Mas Hasan.

“Mas, ini kan harganya lumayan. Kok masih mau sih beli konten seperti ini?,” tanya saya penasaran.

“Wah, konten seperti ini beda feel-nya mas. Selain personal dan dapat langsung dari pembuatnya, spesial aja rasanya bisa menikmati konten dengan membeli,” jawab Mas Hasan. Ketika saya tanya maksud dari feel tadi, blio hanya menjawab, “pokoknya beda, lebih eksklusif.”

“Bukannya konten seperti ini banyak bersliweran di twitter mas? Kok masih harus beli,” tanya saya kembali penuh penasaran.

“Mungkin gini mas, gratisan itu tidak memberi kita kepuasan. Kita kan keluar effort untuk dapatkan ini. Itu lho feel yang membuat saya langganan konten ini,” ungkap Mas Hasan.

“Tapi kualitas kontennya rumahan sekali lho mas. Cuma selayaknya orang selfie gitu. Kenapa ga milih konten di web-web pornografi yang sudah terkenal,” tanya saya kembali.

Mas Hasan tertawa. “Gini mas, justru itu yang jadi nilai plus. Konten yang di take fotografer emang keren. Tapi beda wess nuansanya sama konten yang kayak gini. Seolah-olah kita dapetin dari orang yang kita kenal. Kayak berasa dikirimi pacar hahahahah.”

“Apalagi penjual konten seperti ini juga lebih care ke buyer. Ada nuansa girlfriend experience gitu mas. Jadi merasa kayak dapetin sesuatu yang spesial Cuma buat aku saja. Anggap aja duit yang kubayar itu buat jajan penjualnya,” imbuh Mas Hasan.

“Oiya mas, setahu saya ini kan privasi. Dalam artian pembeli jangan sampai membagikan bahkan menjual lagi konten ini. Apa mas ga tertarik buat melanggar aturan itu?,” tanya saya sambil mengamati konten di dalam smartphone Mas Hasan.

“Wah enak aja dibagi-bagiin. Ibarat kamu punya yang spesial buat kamu, masak rela dibagi-bagi. Kalau menjual lagi sih, aku juga ga pengen. Aku menghargai perasaan penjualnya lah. Yah feel yang aku rasain ini bikin aku fine-fine aja sama rules dari pornpreneur,” ungkap Mas Hasan.

“Rumit juga ya mas bicara feel ini,” tanya saya kembali.

“Udah lah, anggap saja ada ikatan emosional sama si pornpreneur,” jawab Mas Hasan.

“Baper mas?,” tanya saya penasaran. Mas Hasan malah tertawa.

“Baper sih iya. Bapernya bukan baper cinta kayak sama pacar lho. Lebih merasa dispesialkan,” jelas Mas Hasan.

“Mungkin inilah yang bikin konten kayak gitu laku. Kayak aku gini emang ga Cuma cari pornonya. Aku lebih nyari feel tadi itu. Kalau niat cari konten porno saja, tinggal buka Twitter kayak yang kamu bilang,” imbuh Mas Hasan.

“Jadi beneran konten yang mas beli ini Cuma mas yang lihat? Enggak jadi omongan di tongkrongan,” tanya saya.

“Iya lah, rugi lah kalau bagi-bagi. Malu juga kalau diketawain gara-gara langganan konten kayak gini. Anggapan pembeli konten porno itu selalu negatif sih,” jawab Mas Hasan.

“Mungkin memang konsumsi konter porno selayaknya kayak aku gini, personal,” katanya.

“Kira-kira, udah habis berapa mas buat beli konten,” tanya saya penasaran. Mas Hasan kembali tertawa.

“Waduh, gatau sih. Ibaratnya kalau ada uang sisa buat beli aja. Lagian baru beli beberapa kali sih. Mungkin belum sampe sejuta,” ujar Mas Hasan.

“Tapi bisa jadi lebih sih, kadang kan ngasih tips biar tambah mesra,” imbuh Mas Hasan sambil tertawa.

“Apakah menurut mas, ini seperti prostitusi?,” tanya saya kembali setelah kami membahas konten-konten di dalam smartphone Mas Hasan.

“Wah no comment. Pelacuran itu konteksnya luas banget. Kalau aku bilang ini sih art. Art yang bikin mikir nggak-nggak ha..ha..ha..ha,” jawab Mas Hasan.

“Tapi perkara ini pelacuran atau bukan, jujur aku gabisa komen sih. Ga alibi ya ini, tapi konteksnya yang aku ga dapet,” imbuh Mas Hasan sembari memasukkan smartphone tadi di jaketnya.

Kami kembali membicarakan pornpreneur dari konten milik Mas Hasan tadi sampai larut. Sampai akhirnya saya baru tersadar, ternyata memang ada yang berbeda daripada membahas konten porno pabrikan besar.

“Mungkinkah ini sejalan dengan program UMKM untuk mengentaskan krisis selama pandemi?,” tanya saya yang hanya dijawab tawa oleh Mas Hasan.

BACA JUGA Warung Kopi Tanpa WiFi dan Seorang Pakde yang Mau Mendengar Ceritamu liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version