Warung Mie Ayam Prima Rasa Ngeposari jadi primadona pecinta mie di wilayah Gunungkidul. Sudah 25 tahun warung ini konsisten dengan cita rasanya yang gurih dengan kuah yang kental.
***
Sejak kecil, saya sering diajak ibu ke salah satu warung mie ayam yang jaraknya cukup dekat dari rumah. Hanya sekitar satu kilometer. Biasanya, kami mampir sepulang dari Pasar Munggi, Kacamatan Semanu, Gunungkidul.
Warung itu bernama Mie Ayam Prima Rasa atau masyarakat setempat menyebutnya dengan Mie Ayam Ngeposari. Selain mie ayam dan bakso, warung yang berada di Dusun Ngepos, Desa Ngeposari, Kecamatan Semanu, Gunungkidul, ini juga menyediakan menu soto daging sapi.
Warung yang didominasi warna biru itu selalu ramai pembeli. Saya sering melihat banyak sekali kendaaraan bernomor plat luar daerah bertengger di area parkir, terutama saat hari libur.
Rabu, (23/3/2022), ditemani seorang kawan bernama Edi Nurcahyo, saya berkesempatan untuk menemui sang pemilik Warung Mie Ayam Prima Rasa. Namanya Sumarno (56). Saat sampai di lokasi, pria yang akrab disapa Pak Marno itu tengah sibuk melayani para pembeli yang hendak membayar di meja kasir.
Sembari menunggu Pak Marno melayani para pembeli, saya memesan seporsi mie ayam bakso. Sore itu warung Pak Marno cukup ramai. Tampak rombongan wisatawan dengan plat nomor kendaraan luar daerah turun dari mobil dan masuk ke dalam warung.
Sementara itu, salah seorang pengunjung di sebelah saya, Suwardi (59), mengaku telah menjadi pelanggan Warung Mie Ayam Prima Rasa sejak lama. Pria asal Kecamatan Rongkop itu setidaknya seminggu sekali meluangkan waktu untuk menikmati seporsi mie ayam.
“Kula sering teng mriki, Mas. Biasane nek saking kota (Wonosari), kula mampir mriki. Enak rasane, Mas. Kuahe kentel, iwake empuk, jos pokoe (Saya sering datang ke sini, Mas. Biasanya, kalau dari Kota Wonosari, saya mampir ke sini. Kuahnya kental, daging ayamnya empuk, pokoknya mantap),” tutur Pak Suwardi.
Seporsi mie ayam bakso dengan mangkuk cap jago tersaji di hadapan saya. Di atas mie berkuah panas itu, terdapat tiga gelinding bakso dengan ukuran sedang. Mie ayam dilengkapi dengan acar timun dan pangsit.
Mie ayam yang buka pukul 07.30-20.00 WIB ini juga menyediakan kecambah di atas meja. Nantinya, para pengunjung bisa menambahkannya sesuai selera. Saya sendiri biasanya mengambil satu sendok kecambah untuk memberi sensasi segar yang berpadu dengan acar timun.
Sekali santap, tekstur mie yang disajikan begitu kenyal dan ramah di mulut. Kuahnya cukup kental. Cita rasa mie ayam ini begitu gurih dan lezat. Terlebih saat sambal cabai merah menempel di lapisan mie dan suwiran ayam yang empuk, semakin membuat istimewa!
“Tambahi cambah, Mase. Ben soyo jos gandos kotos-kotos (tambahkan kecambah, Mas. Biar tambah jos),” saran Pak Marno yang menghampiri saya di meja makan.
Sesuai saran Pak Marno, saya pun menambahkan setengah sendok makan kecambah dan sambal. Benar saja, kecambah itu menjadi teman yang pas kala menyantap Mie Ayam Prima Rasa yang memiliki cita rasa paripurna.
Modal kambing tujuh ekor
Semangkuk Mie Ayam Prima Rasa cepat saya habiskan. Keringat bercucuran. Perut kenyang, segar, Kemepyar! Setelah itu saya langsung berbincang dengan Pak Marno yang sudah mulai santai.
Menurut penuturannya, awal merintis usaha mie ayam, Pak Marno belum memiliki karyawan sebanyak sekarang. Hampir semua keperluan, mulai dari belanja bahan baku, proses meracik bumbu, hingga mencuci mangkuk, ia lakukan sendiri.
Seiring berjalannya waktu, karyawan masuk, dan semakin bertambah. Yang awalnya hanya 1-2 karyawan, kini warung Pak Marno telah memiliki 8 orang karyawan. Biasanya, saat lebaran, Pak Marno akan menambah jumlah karyawannya hingga 15 orang.
“Soalnya, kalau lebaran itu, sehari bisa menghabiskan bahan mie 80 kilogram dan ayam 1 kuintal, jadi harus nambah karyawan. Kalau hari-hari biasa, ya 30 kilogram mie, ayam 40-50 kilogram,” tutur Pak Marno.
Sebelum sukses seperti sekarang, periode jatuh bangun telah ia lewati. Pada tahun 1981, Pak Marno bekerja ikut kakaknya jualan bakso di Kota Wonosari. Ia bekerja selama tiga tahun. Saat itu lah Pak Marno belajar meracik dan memasak bakso. Semula, warung bakso milik kakaknya ramai pembeli, tetapi setelah berjalan beberapa tahun warungnya semakin sepi.
“Saya terus memutar otak gimana caranya bikin usaha sendiri. Waktu itu saya berpikir, keahlian saya, ya, cuma bisa bikin bakso. Ya sudah lah, saya coba meracik bakso sendiri dan jualan keliling pakai gerobak di sekitar sini,” tutur Pak Marno.
Tahun 1996 menjadi tahun penting baginya. Saat itu, Pak Marno memutuskan untuk berjualan bakso keliling. Setiap hari, ia mendorong gerobak baksonya yang ia jajakan di wilayah Desa Ngeposari dan sekitarnya. “Kurang lebih tiga tahun saya jualan bakso keliling. Terus kalau lebaran biasanya jualan di rumah,” lanjutnya.
Meski sebenarnya memiliki cukup banyak pelanggan, tetapi Pak Marno belum puas dengan usaha bakso kelilingnya. Hingga suatu hari, saat menjajakan baksonya, ia melihat warung mie ayam di salah satu tempat kuliner di Gunungkidul. Ia berhenti, lalu memesan seporsi mie ayam di warung itu.
“Waktu itu, saya cuma tanya ke penjual mie ayam itu mengenai bumbu kuah mie ayam. Penjual itu pun ngasih tau, katanya kalau kuah mie ayam itu dimasak seperti kuah tongseng. Terus, sampai rumah saya praktikkan,” ujar Pak Marno.
Sejak pertemuan dengan penjual itu, Pak Marno memiliki keinginan untuk membuka usaha warung mie ayam bakso. Yang semula hanya bisa meracik bumbu bakso, ia mulai belajar secara otodidak membuat resep kuah mie ayam. Hampir setiap hari ia mengutak-atik bumbu mie ayam, sebelum akhirnya menemukan cita rasa yang pas di lidahnya.
Kemudian pada tahun 1998, beberapa hari setelah Presiden Soeharto tumbang, Pak Marno mulai membuka warung bakso dan mie ayam. Ia masih ingat, pada masa itu Indonesia tengah mengalami krisis moneter. Namun, kondisi tersebut tak mengurungkan niatnya untuk membuka warung mie ayam.
“Saya masih ingat, modal awal membuka warung ini, dulunya saya jualan kambing. Lupa persisnya dihargai berapa, tapi saya jual kambing sebanyak tujuh ekor buat bikin warung sederhana. Pokoknya waktu itu, saya cuma modal nekat saja. Habis nggak habis, pokoknya setiap hari harus jualan,” tegasnya.
“Nama Prima Rasa sendiri dulu diberi pemilik tanah ini, namanya Suharto. Dengan harapan, mie ayam ini memiliki cita rasa prima dan beda dari yang lain. Kebetulan saja pas Presiden Soeharto di Jakarta sana turun, Pak Harto warga sini malah ngasih nama Prima Rasa untuk saya,” tutur Pak Marno diselingi tawa.
Gemar berbagi resep
Pak Marno sudah memiliki banyak pelanggan sejak awal membuka warung mie ayam dan bakso. Saat itu, Pak Marno selalu berusaha mencari pembeda dari mie ayam lainnya. Hampir semua resep dan cara penyajian Mie Ayam Prima Rasa hasil dari racikannya sendiri.
“Saya itu kalau meracik bumbu mie ayam sebenarnya sederhana saja dan nggak aneh-aneh kok, Mas. Mie ayam saya nggak pakai kunir atau daun salam, seperti kebanyakan. Pokoknya, ya, cuma pakai bumbu daun jeruk, laos, dan serai. Dan saya juga nggak pernah niru-niru mie ayam lain,” tuturnya.
“Nggak ada resep khusus atau rahasia di balik rasa mie ayam saya. Kunci mie ayam enak itu sebenarnya sangat sederhana, intinya wajib pakai bahan baku yang berkualitas. Misalnya, kaya ayam saya ini, kondisinya harus segar. Makanya saya sering belanja daging ayam pada waktu pagi hari, agar kondisinya bagus dan fresh,” lanjutnya.
Selama ia menekuni bisnis warung mie ayam, sudah tidak terhitung berapa banyak orang yang belajar dan meminta resep. Setiap kali ada orang yang datang ingin belajar, ia selalu menerimanya dengan senang hati. Bahkan, ia tak segan untuk memberikan resep yang dimilikinya kepada orang yang ingin merintis usaha mie ayam.
Pak Marno punya prinsip bahwa menjalani bisnis mie ayam harus konsisten menjaga cita rasa. Jika cita rasa mie ayam berubah-ubah maka bisa menghilangkan kepercayaan pelanggan. Kualitas bahan baku dan konsistensi rasa jadi kunci bisnis mie ayam agar langgeng.
“Banyak orang datang ke sini itu meminta resep, bahkan sampai bawa buku untuk dicatat. Ya, saya beri resep yang jujur, Mas. Pokoknya, setiap kali ada orang datang, saya selalu menekankan bahwa hal yang harus mereka lakukan adalah menjaga konsistensi rasa,” terangnya.
Hal itu telah ia buktikan selama puluhan tahun. Warung Mie Ayam Prima Rasa selalu berusaha untuk menjaga kualitas bahan baku mie ayam. Baginya, setiap orang bisa menciptakan sebuah menu yang enak. Namun, tidak semua orang bisa mempertahankannya.
“Menjaga rasa tetap konsisten itu nggak mudah lho, Mas. Makanya itu, setidaknya tiga hari sekali saya harus mencicipi mie ayam ini. Cara ini biasa saya lakukan agar rasa mie ayam tetap enak dan tidak berubah-ubah,” tutur Pak Marno.
Sudah hampir 25 tahun Pak Marno menekuni usaha mie ayam. Ia mengakui bahwa dua tahun belakang menjadi tahun cukup berat baginya. Yang mana hasil penjualan turun hingga 50 persen.
“Awal pandemi itu warung saya sempat tutup sekitar dua minggu. Dulu, saya bisa menghabiskan mie 30 kilogram per hari, pas kemarin itu habis 15 kilo mie saja sudah syukur. Ya, alhamdulilah sekarang sudah mulai menggeliat lagi, 20 sampai 25 kilo mie per hari,” tutur Pak Marno.
Sementara itu, meski harga barang baku naik, tetapi Pak Marno tidak mencoba untuk menaikkan harga mie ayam. Harganya tetap sama, baik mie ayam maupun bakso, ia jual seharga Rp13.000. Sedangkan, untuk semua jenis minuman, ia patok dengan harga Rp3.000.
Pengalaman tak terlupakan
Langit yang mendung di sore itu seolah tak mengurungkan niat para pelanggan untuk jajan di Warung Mie Ayam Prima Rasa. Semakin sore malah semakin ramai. Pak Marno kemudian membagikan pengalaman selama berbisnis mie ayam, mulai dari hal-hal unik hingga klenik.
Salah satu cerita datang dari salah seorang pelanggan pernah ketinggalan tas di meja warungnya. Awalnya, Pak Marno hanya menduga bahwa tas itu hanya berisi dompet atau snack kondangan ala ibu-ibu. Ternyata setelah dibuka, tas itu bersisi puluhan gram perhiasan berupa gelang, cincin, dan kalung emas.
“Misal ditotal, harga emas itu bisa mencapai puluhan juta. Untung di dalam tas itu ada KTP. Tanpa pikir panjang saya bersama Pak Lurah langsung mengembalikan barang berharga itu ke rumah pemiliknya. Eh, sampai di rumahnya dia belum sadar kalau tasnya ketinggalan,” kenang Pak Marno sambil tertawa.
“Banyak lah, Mas, cerita-cerita unik bin klenik itu. Ya, kaya tiba-tiba ada kain jarik ditaruh di atas meja, kemenyan dibungkus kain mori putih, sampai ada yang menyebar kembang kantil ditabur di ruangan ini. Pokoknya aneh-aneh, Mas,” imbuh Pak Marno.
Menurut Pak Marno, pengalaman klenik semacam itu menjadi hal biasa di kalangan para pebisnis. Pak Marno sendiri tidak pernah berniat sedikit pun untuk membalas atau menyerang balik. “Ya, cuma saya buang ke sungai barang-barang seperti itu, saya suruh kembali ke asal-usulnya. Sama sekali tidak ada niat untuk membalasnya,” ujar Pak Marno.
Memang sudah santer terdengar bahwa tidak sedikit warung-warung makan yang mendapat gangguan seperti yang dialami Pak Marno. Tujuannya pun bermacam-macam, mulai dari membuat makanannya mudah basi, tidak enak, hingga membuat seolah-olah warung tersebut tutup padahal sedang buka.
Terlepas dari itu semua, kini warung Mie Ayam Prima Rasa milik Pak Marno menjadi salah satu mie ayam paling populer di Gunungkidul. Mie ayam ini telah menjadi salah satu menu wajib para wisatawan yang datang ke Wonosari.
Bagi Pak Marno, kesuksesan yang ia raih tak lepas dari kerja keras dan doa orang tua. Menurutnya, apa pun pekerjaannya asal dilakukan dengan sepenuh hati dan serius pasti akan membuahkan hasil yang maksimal. “Ya, intinya kalau bikin usaha itu nggak boleh setengah-setengah, harus total, dan usahakan untuk selalu memberi pelayanan terbaik untuk para pelanggan,” pungkasnya.
Reporter: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Purnawan Setyo Adi
===
Tulisan ini merupakan seri dari liputan “Peta Mie Ayam Jogja”. Mulai pertengahan bulan Maret hingga April 2022 setiap akhir pekan ulasan warung mie ayam di Jogja akan hadir menemani pembaca. Liputan “Peta Mie Ayam Jogja” merupakan kolaborasi Mojok.co, Javafoodie, dan @infomieayamYK.