Menyelami Sisi Lain Dukun Penglaris: Aku Bukan Jagal Manusia

Menyelami Sisi Lain Dukun Penglaris_ Aku Bukan Jagal Manusia MOJOK.CO

Menyelami Sisi Lain Dukun Penglaris_ Aku Bukan Jagal Manusia MOJOK.CO

Raut wajah dukun penglaris itu berubah-ubah seiring nada bicara. Ketika meninggi, dua alisnya seakan bersatu. Ketika melandai, matanya berbinar seakan-akan sedang tersenyum.

Bapak berusia 54 tahun ini tidak kelihatan seperti dukun penglaris. Perutnya yang buncit dan kesukaannya mengenakan celana pendek membuatnya lebih mirip bapak-bapak hobi main catur di pos ronda. Namun, ketika menyimak caranya berbicara, kamu pasti merasakan bahwa ada “sesuatu” di belakang dukun penglaris legendaris ini.

Kita panggil saja ia Pak Warno. Kalau ditanya soal metafisika, Pak Warno bisa menjelaskan panjang lebar selama berjam-jam. Namun, jika ditanya hobi, dia akan terdiam. Terlihat sangat kesulitan menemukan jawaban yang tepat. Untuk kemudian dia menjawab, “Mungkin, hobiku wirid, Mas,” katanya kepada Mojok, saat kami ngobrol di salah satu kampung di Kota Jogja, Rabu malam (10/3).

… dan dari wirid, semua kemampuannya berasal….

Usianya belum genap 25 tahun ketika kejadian “janggal” itu terjadi. Pak Warno suka sekali tidur di masjid. Setelah salat, dia akan diam di dalam masjid ketika para jaamaah angkat kaki satu per satu. Dia suka melamun di dalam masjid. Memandangi ornamen rumit yang dipahat di salah satu tiang masjid, di kampungnya itu.

Suatu kali, setelah mendaraskan wirid yang dia rasa lebih panjang dari biasanya, Pak Warno jatuh tertidur. Posisi tidurnya persis di samping tembok masjid yang berbatasan langsung dengan kuburan. Dukun penglaris itu bermimpi….

Le, tulung jupukke godhong-godhongan pinggir kali kae. Dinggo obat.” Pak Warno masih ingat betul detail mimpi malam itu. Latar tempat mimpi ajaib itu adalah di tepi sawah. Seorang kakek terlihat sedang berusaha menyembuhkan seseorang yang lain. Si kakek itu meminta Pak Warno memetik beberapa daun di pinggir kali untuk pengobatan.

Nggih, Mbah,” jawab Pak Warno. Dia pun menyusuri tepian sungai. Awalnya bingung daun mana yang akan dipakai untuk obat. Ketika memutuskan memetik beberapa helai daun, dia mengandalkan insting saja. Soal benar atau salah, urusan belakangan.

Pak Warno pun mengulurkan beberapa helai daun kepada si kakek. “Ya, iki wis bener. Saiki gatekno. Ngene carane nambani.” Si kakek meminta Pak Warno mengamati cara nambani atau menyembuhkan orang menggunakan racikan daun yang sampai sekarang dia tidak tahu itu daun apa.

Di dalam mimpinya, Pak Warno menyerap banyak ilmu. Semuanya hanya dengan metode mendengar. Dalam satu malam itu, meski belum sepenuhnya memahami, Pak Warno mendapat dasar ilmu pengobatan. Enak betul, ya. Pakai sistem kejar semalam udah pinter. Coba saya gitu pas SMP dulu. Otomatis LPDP.

Saat itu, Pak Warno belum sepenuhnya yakin ilmu yang dia dapat akan dipakai gimana. Hingga suatu malam, ketika sedang asyik wirid, pundak sebelah kiri Pak Warno tiba-tiba menjadi berat. Pak Warno tidak berani membuka mata ketika dia merasakan dirinya “dipeluk” semacam makhluk. Saat itu, dia yakin yang tengah “memeluknya” adalah jin penunggu masjid dan kuburan itu.

Koe gelem melu aku?” jin itu bertanya apakah Pak Warno mau ikut dengannya. Suaranya terdengar berat.

Ora! Aku ora gelem!” Pak Warno menolak, mencoba melepaskan pelukan makhluk itu.

Ya, iku jawaban sing bener,” jawab jin itu yang ternyata sedang mencobai iman Pak Warno. Setelah mendengar jawaban itu, Pak Warno berani membuka mata, membaca ayat-ayat, lalu mengusap pundak kirinya. Sedetik kemudian, pelukan itu lepas.

Koe bakal tak jogo. Sebut jenengku wektu koe butuh,” suara jin itu terdengar lamat-lamat sebelum akhirnya menghilang diiringi deru angin di depan pintu masjid. Pak Warno cuma terdiam. Heran. Lalu tertidur di dalam masjid.

Tiga hari kemudian, tetangga Pak Warno datang bertamu. Si tetangga itu terlihat panik. Napasnya tersengal-sengal. Dia ingin minta tolong ke Pak Warno.

Pak, tulungi, sedulurku disantet! Aku dikandani uwong nek Pak Warno iso nambani.” Kata si tetangga semakin panik. Namun Pak Warno sendiri tak kalah panik. Dari siapa si tetangga ini dapat kabar kalau dirinya bisa menyembuhkan santet?

He? Aku ra iso,” Pak Warno masih keheranan.

Lho, jare iso, Pak. Aku dikandani simbah kidul ndeso,” si tetangga menjelaskan bahwa dia diberi tahu oleh kakek yang rumahnya di selatan desa. Pak Warno makin kaget dan menjawab, “He! Simbah kae wis seda! Rong dino kepungkur!” Ternyata, si kakek ini sudah meninggal dua hari yang lalu.

Si tetangga lemas. Antara panik saudaranya kena santet dan kenyataan dia baru ketemu arwah si kakek yang tinggal di selatan desa. Pak Warno, di antara kebingungan itu, akhirnya mau diajak ke rumah saudara si tetangga. Dia ingin membuktikan ucapan jin penunggu masjid soal pertolongan yang akan diberikan.

Sesampainya di rumah saudara si tetangga, Pak Warno mendapati pemandangan yang tak biasa. Jadi, saudara si tetangga adalah seorang ketua pengadilan tinggi. Tubuh bagian atas si ketua ini baik-baik saja, tetapi kedua kakinya lemas dan tak bisa digerakkan. Saat itu, Pak Warno juga merasa ada yang janggal, tapi belum bisa menjelaskan secara pasti.

Pak Warno pun duduk bersila di depan si ketua yang lumpuh itu. Dia bingung harus bagaimana. Setelah memanggil nama jin itu, Pak Warno hanya bisa menunggu. Sembari menunggu, yang bisa dilakukan Pak Warno hanya wirid dan berdoa. Di sela-sela doa itu, suara jin penunggu masjid terdengar jelas di telinga Pak Warno. Pak Jin itu minta diambilkan segelas air lalu menyuruh Pak Warno mendoakan air tersebut.

“Doanya apa, Pak?” tanya saya memotong cerita dukun penglaris itu.

“Doa biasa, Mas. Doanya orang Islam. Kamu ya pasti ndak ngerti. HAHAHA!” Jawab Pak Warno diikuti tawa lepas karena tahu saya Katolik dan nggak mungkin paham doa dalam kepercayaan Islam. Iya, iya, saya nggak mungkin paham. Lha wong kuliah Bahasa Arab saja dapat D. Itu saja berkat belas kasihan dosen karena saya mau ujian skripsi.

Air yang sudah didoakan itu diminumkan perlahan ke mulut si ketua yang lumpuh. Setelah itu, Pak Warno melanjutkan doanya. Tak berapa lama, si ketua sudah bisa berbicara. Kakinya yang lemas berangsur-angsur bisa digerakkan. Kelegaan terasa di tengah keluarga yang panik itu.

Sekitar satu jam kemudian, si ketua yang lumpuh itu sudah bisa berdiri. Seketika itu, dari atap rumah terdengar angin puting beliung. Sontak, semua keluar untuk mencari tahu ada apa. Jadi, di atap rumah terlihat kain putih yang terbang berputar-putar dengan kecepatan tinggi menimbulkan suara seperti angin badai.

Jin penunggu masjid itu kembali berbicara kepada Pak Warno. “Ya kuwi sing jenenge kiriman. Saiki tak gusah kabeh. Dulurmu kuwi diwarai wong limo.” Jadi, kain yang berputar-putar di atap rumah adalah wujud kiriman jahat yang menyerang pak ketua pengadilan. Ada lima dukun yang menyerang secara keroyokan.

Aku ming pisan iki teko. Koe wis iso dewe, Le.” Jin penunggu masjid itu pergi begitu saja meninggalkan Pak Warno dalam kebingungan. Namun, sejak saat itu, Pak Warno mulai bisa melihat dan membedakan aura, kiriman jahat, sekaligus mengusirnya. Intinya, “berkah” yang diterima Pak Warno adalah ilmu perlindungan.

“Jadi, Bapak itu dukun atau tabib?”

“Ya, silakan Mas sendiri yang menilai. Aku dibilang dukun penglaris ya nggak masalah. Dibilang tabib ya biasa saja. Dibilang wong pinter padahal bodoh. Soal dukun penglaris atau dukun apa pun itu kadang cuma konsep saja, Mas. Yang penting ketetapan hati. Lha wong aku ya nggak belajar yang ngeri-ngeri itu.”

Yang Pak Warno maksud dengan “ngeri-ngeri” adalah tumbal penglaris. Pak Warno mendefinisikan kemampuannya sebagai wujud pertolongan Gusti Allah lewat perantara manusia dan dunia metafisika. “Aku bukan jagal manusia. Aku sebisa mungkin menasihati orang main tumbal meski tak mungkin mencegah karena semuanya kembali ke ketetapan hati.”

“Berarti pernah, Pak, ada yang minta begituan?”

“Dulu pernah sekali. Seorang manajer di Surabaya, pengin naik jabatan jadi direktur. Aku udah bilang kalau risikonya besar. Tapi, saat itu, aku sendiri seperti ada yang menahan untuk tidak menjelaskan risikonya. Itu masih rahasia Gusti Allah dan manusianya sendiri yang harus menentukan. Mau tanggung risiko atau hidup sak madyo saja.”

“Ada yang jadi tumbal akhirnya?”

“Ada, istrinya sendiri. Beberapa minggu setelah naik jadi direktur, suatu kali setelah makan malam bersama keluarga, istrinya tiba-tiba meninggal. Dia panik terus datang ke rumah. Kayaknya mau marah ke aku. Tapi dia nggak bisa marah karena aku udah kasih peringatan atas bantuan yang berisiko itu.”

“Terus, akhirnya gimana?”

“Dia tobat. Kembali tekun ibadah. Pangkatnya turun lagi ke manajer, tapi hidupnya lebih aman. Dia nggak mau anak-anaknya jadi korban. Karena kalau udah kebablasan sampai ‘ikat kontrak’, sepanjang keturunan, dia bakal diikat tumbal.”

“Ngeri sekali. Kok ya ada yang mau kayak gitu.”

“Wah, kalau orang udah gelap mata, pengin sugih, kayak gitu lumrah. Belum lama ini ada orang Jogja yang datang minta dibantu jabatan. Dia bahkan mau tumbalin istrinya. Pas saya tanya, kok kamu tega tumbalin istrimu, eh dia jawab kalau istrinya ada dua. Hilang satu masih ada satu lagi. Kenthir. Itu tak amuk, terus tak usir. Gendheng.”

“Terus gimana ceritanya Bapak dikenal sebagai dukun penglaris?”

“Awalnya ya gethok tular, dari mulut ke mulut. Kayaknya ya dari si ketua pengadilan itu, ada cerita ke pengusaha kuliner kalau aku bisa bantu. Ya, dari sana sampai sekarang jadi langganan.”

Pak Warno ini sekarang menjadi semacam “penjaga gawang” dari pengusaha kuliner terkenal dari Jawa Tengah. Cabangnya ada buuuanyak. Sudah turun-temurun.

Maksudnya “penjaga gawang” itu begini:

Ketika bosnya kuliner ini mau buka cabang, Pak Warno yang kali pertama datang ke lokasi. Di sana, dia memeriksa aura. Cocoknya mau dipakai buat apa. Kalau di lahan itu ada penunggunya, Pak Warno yang kulanuwun. Kalau bisa dipindah, ya dipindah, kalau tidak bisa ya dikompromikan.

“Kalau auranya kuning ada ijonya, berarti cocok buat kuliner, terutama yang pakai kuah. Kalau putih, cocoknya buat kuliner lainnya atau kebutuhan sehari-hari atau sembako. Kalau hijau ada putihnya, untuk jasa. Nah, kalau untuk si bos ini kan berarti cari lokasi yang auranya (disamarkan) biar cocok sama jenis usahanya yang (disamarkan).”

“Berarti Pak Warno datang terus lihat aura saja?”

“Nggak, dong. Aku minta dibeliin minyak buat perantara. Namanya minyak jafaron. Tergantung besar usahanya. Kalau yang biasa ya pakai jafaron itu. Kalau lebih besar lagi ada yang pakai minyak puter giling, apel jin, dan ada satu lagi yang kuat banget. Namanya (disamarkan) biasanya pesan dulu ke (disamarkan). Jenis usaha yang lebih besar itu misalnya bikin percetakan, pabrik, sampai bikin jalan.”

“Sampai bikin jalan?”

“Lho, iya. Besar itu nilai bisnisnya. HAHAHA.”

Tiba-tiba saja Pak Warno ketawa lepas. Bikin kaget.

“Kalau jalan itu kan motong daerah tertentu. Motong bukit. Motong sawah. Itu kalau ‘yang punya rumah’ nggak terima, pasti diganggu. Dulu pernah kejadian itu yang bikin jalan (disamarkan). Pekerjanya dibikin lemas, males kerja, emosian. Ya, tak bantu.”

“Kalau Bapak bantu pasti aman?”

“Alhamdulillah, sejauh ini aman. Ya, goyang-goyang dikit tapi biasa saja. Maksudnya, persaingan kuliner itu kan keras banget. Ada aja yang ganggu. Kirim-kirim. Ada yang kirim kembang, tapi pasti mental. Ada yang jatuhin kerikil di dalam warung. Itu yang pernah kejadian.”

“Gimana tuh, Pak?”

“Pernah kejadian ada pelanggan yang nemu belatung di menu yang dia pesan. Kan nggak masuk akal kalau ada belatung hidup di hidangan yang panas. Pasti mati. Pas dicek, ternyata di sekitar kompor itu banyak sekali belatung hidup yang nggak masuk akal.”

“Aku minta disediakan kembang sama dua kelapa hijau. Yang satu saya doain lalu airnya disiramkan di sekitar warung. Satunya lagi didiamkan di dalam warung terus subuh dibuang ke sungai yang airnya mengalir. Habis itu beres. Sampai sekarang aman. Malah tambah ramai, HAHAHA.”

Pak Warno ketawa lagi nggak jelas….

“Berarti berkat minyak yang Bapak minta itu warungnya jadi ramai?”

“Ya, nggak juga, Mas. Intinya, aku cuma minta ke Gusti Allah biar usaha itu lancar dan aman. Minyak itu cuma perantara. Doa-doa yang aku pakai juga doa biasa. Campuran bahasa Arab sama bahasa Jawa. Ya, namanya saja Ilmu (disamarkan), kan Mas Seno juga tahu, HAHAHA.”

Ketawa lagi… sumpah saya nggak tahu. Denger soal ilmu itu ya pernah, tapi nggak tahu gimana.

“Jadi Bapak bukan dukun penglaris?”

“Mau disebut dukun penglaris juga nggak masalah. Aku nggak mau repot mengoreksi. Aku cuma membantu dengan berkah yang aku dapat setelah wirid. Ya, semacam dapat tugas. Kebetulan tugasnya dibayar dengan bagus. Alhamdulillah. Intinya aku nggak mainan tumbal. Ngeri. Aku bukan jagal manusia.

“Gini, Mas. Aku itu bukan orang pintar. Kalau orang minta tolong, lalu aku lihatkan auranya, setelah itu aku bantu doa. Dari rumah ya aku bantu wirid. Paling nggak ya lima hari. Aku nggak mau yang pakai tanah kuburan, penglaris yang pakai ludah, rendam apa itu di masakan yang mau dijual, atau nanam jin di warung. Aku bisanya cuma berdoa.”

“Oke, berarti Bapak bukan dukun penglaris.”

HAHAHA… ketawa lagi.

“Aku sendiri kalau disuruh menggambarkan berkah ini ya cuma bisa jawab ketetapan hati. Doa orang yang belum bisa ikhlas atau nggak khusyuk kan beda sama yang sungguh-sungguh. Minyak yang aku minta cuma perantara, tapi intinya ya doa.”

“Bapak masih sering wirid?”

“Tiap hari. Paling tidak 30 menit, minimal.”

Sampai di sini, pertanyaan yang masih terpendam dalam hati saya terjawab sudah. Di dunia ini, ada yang namanya sisi putih dan sisi hitam. Terkadang, kita mencampurkan semuanya menjadi satu kesimpulan yang salah. Misalnya soal dukun penglaris. Kita menyangka semuanya ya soal syirik atau menyembah setan, ternyata ada yang berbeda.

“Sebelum membantu, aku pasti menegaskan dulu, Mas. Bukankah hidup itu lebih enak kalau sak madyo, secukupnya? Jadi manusia itu jangan nggege mongso atau terburu nafsu. Pengin segalanya terjadi padahal belum waktunya. Kalau Gusti Allah bilang belum, ya belum. Siapa kamu mau memaksa Tuhan, apalagi itu ada orang linuwih yang mengaku bisa bicara sama malaikat. Yang terkenal itu, Mas. Itu keblinger. Kebablasan.”

“Ada orang yang memaksa cepet laris gitu, Pak?” Saya nggak mau menanggapi soal “orang pintar”, terkenal, dan mengaku bisa bicara sama malaikat itu.

“Ada. Orang Jawa, tapi buka usaha di Sulawesi. Dia mau buka mi ayam dan bakso. Aku bilang kalau lokasinya bagus. Aku mau bantu doa, tapi nggak bisa instan. Butuh waktu. Kombinasi usaha kerasnya dia sama aku bantu doa. Eh, dia minta cepet. Aku cuekin. Kalau belum saatnya ya aku juga nggak bisa memaksa takdir berubah. Aku iki ya sopo to.”

“Loh, pelanggan Bapak nggak cuma yang (disamarkan)?”

“Ada banyak. Di Lampung ada. Kalimantan, beberapa tempat. Sulawesi. NTT itu ada usaha seafood. Di Bali ada. Di Pulau Jawa semua provinsi. Kayaknya cuma Papua aja yang aku belum pernah. Lupa.”

MANTAP JIWA. SAMPAI LUPA. KAYA RAYA INI DUKUN PENGLARIS.

“Pak, beberapa hari yang lalu kan ramai soal UU buat paranormal. Bapak ada komentar?”

Belum juga Pak Warno menjawab, hape jadulnya berdering. Seorang pengusaha kuliner dari Boyolali mengabari kalau sudah dekat. Mau bertamu. Ya sudah, mau nggak mau saya pamit. Padahal saya masih mau nanya nomor togel besok itu yang keluar apa. Untung saya belum jadi bertanya.

Ketika jalan kaki pulang sambil klepas-klepus merokok santai, tiba-tiba terdengar suara burung tekukur. Padahal, tetangga kiri dan kanan nggak ada yang pelihara tekukur. Katanya, kalau ada suara tekukur, berarti ada makhluk halus dekat dirimu. Jangan-jangan jin penunggu masjid lagi mengamati saya. Duh, tolong. Saya belum siap masuk Islam.

BACA JUGA Bapak Saya Seorang Dukun: Sebuah Cerita, Sederet Tanya dan artikel SUSUL lainnya.

Exit mobile version