Belakangan saya memikirkan gelar band mitos yang disematkan orang-orang kepada Melancholic Bitch. Sebabnya sederhana saja: mereka makin mirip dengan band pada umumnya. Konser di Gudskul adalah rentetan jadwal pentas mereka yang padat pasca pandemi. Dua hari setelah konser ini pun mereka dijadwalkan tampil di Makassar. Tak lagi mitos.
Pun menurut pantauan saya, ada setidaknya lima komposisi baru yang telah mereka punya. Kelimanya adalah gubahan puisi almarhum Gunawan Maryanto “Nasib Sekumpulan Blandar” dan “Pulang Kampung”; serta “Aku Berkisar di antara Mereka” dan “Derai-derai Cemara” (gubahan puisi Chairil Anwar). Satu sisanya, “Pagar”, mereka ciptakan untuk memenuhi permintaan Bagus Dwi Danto.
Bila rata-rata suatu album berisi 10 lagu, band yang punya panggilan mesra Melbi ini hanya perlu 5 lagu lagi untuk menggenapinya menjadi album keempat. Umur 23 tahun dengan koleksi 4 album tak buruk-buruk amat. Apalagi band ini, sejak Balada Joni dan Susi/BJS (2009), setia merilis album konseptual (concept album) yang keutuhannya menghadirkan narasi khusus dari segi lirik dan musik.
Ada beberapa nama dari Yogyakarta yang lebih pantas untuk digelari julukan band mitos. Di antaranya mungkin Seek Six Sick dan Wicked Suffer.
Malam kemarin di Jagakarsa adalah malam yang basah dan sibuk. Jakarta baru saja diguyur hujan lebat. Banyak penonton yang hadir menyangga tas, tanda bahwa mereka baru saja menuntaskan pekerjaan. Lokasi Gudskul yang bertetangga dengan Kebun Binatang Ragunan–yang rimbun oleh pohon-pohon, yang sejuk, yang kontur tanahnya berbukit–membuat Jakarta menjadi anomali.
Melbi terakhir main di Jakarta dengan set panjang lima tahun silam, di Rossi Musik. Di perjumpaan kali ini Melbi tampil untuk audiens yang lebih sedikit. Penyelenggara hanya menyediakan 120 tiket, dengan tarif lumayan tinggi: Rp250 ribu per lembar.
Tak apa, pikir saya. Justru bagus. Hari-hari belakangan kita disuguhi banyak sekali kehilangan. Terlalu banyak mala dan nasib sial. Merayakan kolektif yang dibentuk pada 1999 pasca-melewati itu semua perlu dosis keintiman tertentu.
***
Acara yang dihelat berkat kerja sama Gudkul dengan Supermusic ini dijadwalkan start pukul 19.00. Sempat molor sekitar 20 menit, pertunjukan dibuka oleh Sillas, band shoegaze asal Cirebon. Mereka mempunyai keunikan dengan koleksi lirik lagu berbahasa Arab.
Sebagai pembuka mereka melaksanakan tugasnya dengan baik. Banyak penonton bergoyang mengikuti irama musik berlapis kebisingan yang mereka sajikan. Di sela lagu, Zaim sang frontman mengatakan bahwa mereka ingin menunjukkan bahwa bahasa Arab seharusnya tidak dilekatkan dengan agama tertentu. Bahwa bahasa adalah produk dan alat kebudayaan.
Lagu “Mamlaka” berbicara tentang istana agung yang sulit ditembus dari luar. Bahwa dirimulah istana itu, yang rentan dari bahaya yang justru datang dari orang terdekat. Lalu ada “Kaqotun”, yang secara harafiah berarti ‘seperti kucing’. Dua lagu lain masing-masing berbahasa Indonesia dan Inggris.
Motor band ini sebelumnya dikenal sebagai gitaris Kaveh Kanes dan pemetik bass Lazy Room. Keduanya diterpa masalah klasik: domisili para personil yang terpencar. Semua personil Sillas tinggal di kota yang sama dan semoga saja jalan mereka bisa lebih lapang ketimbang dua band Zaim sebelumnya.
Lalu tiba giliran sang lakon utama untuk tampil. Karpet merah telah digelar, para penonton pun semakin banyak yang menggenggam erat kedua tangan. Berturut-turut para personil naik panggung, yang tentu saja digenapi Ugoran Prasad, sang penulis dan penampil lirik.
Dari segi busana, penggemar tahu takkan melihat keanehan apa-apa. Karena memang bukan itu intinya. Ugo akan bersetia dengan kostum hitam-hitam dan jam tangan G-Shock merahnya. Yossy Herman Susilo, Yennu Ariendra, Uya Cipriano (trio gitaris) dan Richardus Ardita (bass) berkaos polos. Penyanyi latar Arsita Iswardhani dan Ayu Saraswati, di samping tingkah mereka yang tak kalah atraktif dengan Ugo, mengenakan gaun beraksen gelap serta riasan wajah dan rambut sederhana.
Kali ini, setelah tak lagi bersama Nadya Hatta, Paulus Neo kembali ditugasi mewarnai musik Melbi dengan arsiran kibornya. Sementara posisi penggebuk drum diisi oleh Leca, yang di buku program terbitan penyelenggara tertulis Eunika Theresia. Drummer Danish Wisnu yang akrab dipanggil Dacong baru saja mengalami musibah kecelakaan saat ia berkendara.
Yang menjadi pembeda dan mencuri perhatian, Ugo menggenggam bloknot berwarna cokelat. Mungkin berisi puisi-puisi Gunawan Maryanto dan Chairil Anwar. Saya amat berharap “Nasib Sekumpulan Blandar” akan dibawakan. Komposisi yang pernah dimainkan di peringatan 100 hari kematian Gunawan Maryanto (Yogyakarta) dan Limunas (Bandung) ini adalah lagu rock yang sarat muatan psikadelia.
Pada bridge lagu itu, Melbi memberikan sedikit jeda bagi vokal dan instrumen untuk kemudian meledak berbarengan. Sebuah pengalaman tektonik yang akan membuat pendengarnya semakin keras menganggukkan kepala, semakin rapat mengepalkan tangan.
“Mereka tak berhenti bergunjing menautkan diri satu sama lain / mematut diri laiknya pada cermin / bercakap tentang ketakutan dan kematian yang asing / bercakap tentang ketakutan dan kematian yang asing.”
Khusus setelah merapal bait terakhir sebanyak empat kali, saya berkhayal Ugo mendapat inspirasi dari “No Spiritual Surrender” Inside Out, band Zack de la Rocha sebelum Rage Against the Machine (RATM). Di banyak kesempatan, vokalis yang juga pengarang itu mengatakan bahwa ia amat terinspirasi album Evil Empire (1996) dari RATM. Di lain sisi, jika lagu ini diracik saat Paulus sudah menjadi bagian mereka, saya sangat berharap kibordis gondrong ini bisa terus bersama Melbi.
Saya sudah mengantisipasi lagu ini, sudah siap berteriak keras di saat yang lain terdiam. Namun, khas Melbi, yang sepanjang karier senantiasa memperingati pendengar untuk tak berekspektasi apa-apa, lagu ini tidak dibawakan di Aula Gudskul. Keparat.
Kembali ke bloknot cokelat, mungkin saja benda itu ia jadikan semacam properti. Bahwa Ugo, malam itu di Gudskul berperan sebagai pewarta kabar. Atau bisa jadi untuk melengkapi performa “Mars Penyembah Berhala”. Bagian terakhir lagu itu adalah momen interaktif di mana penonton bersama-sama menyanyikan refrain, mengiringi Ugo yang berkhotbah (“lalu capailah cahaya itu, saudara!”) laksana pendeta di TV.
Apa pun. Ia masuk dalam kategori vokalis ultra kharismatik yang hanya dengan berkaos polos sanggup membekukan debu dan kerikil.
Konser dibuka dengan “Selat, Malaka”, “Normal, Moral”, dan “Akhirnya Masup Tipi”. Ketiganya mujarab mengundang kur massal. Atau memang penonton saja yang sudah terlampau kangen. Kami diajak tancap gas sejak lap pertama. Napas penonton terlihat mulai terengah. Wajah-wajah tampak belingsatan sekaligus semringah.
Sial, di tengah-tengah itu semua, sang vokalis mengutarakan bahwa akan ada beberapa pengumuman yang mereka siarkan. Ini apa-apaan?
Ugo pun memainkan peran sebagai pencerita. Membuka lagu “On Genealogy of Melancholia” dengan ceramah ihwal “genealogi” band ini, yang lahir berkat idenya dan Yossy saat masih berkuliah di Fisipol UGM dulu.
Lagu itu adalah nama pertama band ini. Karena sukar disebut, mereka pun memilih nama Melancholic Bitch sebagai pengganti. Lagu itu dinyanyikan perlahan dan lirih, hanya diiringi genjreng gitar Yossy. Menegaskan peran duo ini sebagai penyangga kesatuan “dukun bebunyian bersertifikat” yang keberadaannya seperti hantu.
Hanya sebentar saja lagu itu dinyanyikan, sebelum akhirnya Ugo berkata:
“Ini semua tentang apa? Ini semua tentang apa?”
Kami pun paham “Tentang Cinta”-lah lagu selanjutnya.
Kali ini posisi Leca kembali digantikan Dacong, yang menangani perangkat drum dengan tangan kirinya saja. Seperti “Konservatif” The Adams, lagu ini–dengan nuansa yang lebih dingin dan tajam menikam–telah menjadi lagu latar percintaan banyak orang. Minimal dijadikan lagu untuk merayu pasangan yang sedang merajuk. Ah, “jika saja ada segelas soda”.
Lalu pengumuman itu pun diurai. Ugo mengabarkan kepada khalayak bahwa malam ini adalah penampilan terakhir Dacong bersama Melbi. Pria yang juga penggebuk drum Fstvlst dan Niskala itu tersenyum dan membungkukkan tubuhnya kepada hadirin.
“Masih ada pengumuman lain,” kata Ugo. Siapa lagi yang keluar? Yennu? Ya, bisa saja Yennu. Toh dia makin sibuk bersama Raja Kirik dan proyek-proyek musiknya yang lain. Ah, benar-benar keparat.
Tempat konser, Aula Gudskul, berluas sekitar 40 meter persegi. Dua perempatnya untuk panggung. Ruangan dilengkapi empat pendingin udara, yang segera saja kehilangan fungsinya. Sebab Melbi melanjutkan konser dengan “7 Hari Menuju Semesta” dan “Distopia”.
Jarang dimainkan, lagu “Distopia” tak disuguhkan maksimal. Padahal Melbi kini memiliki dua penyanyi latar. Andai saja satu di antaranya berperan sebagai Silir Pujiwati, pasangan Ugo di versi rekaman lagu ini.
Walau begitu, semua tentu bergoyang saat lagu masuk ke bagian koplonya itu. Yennu menggila, meninggalkan gitar dan memilih untuk bergoyang bersama Arsita dan Ayu. Juga mulai mengenakan kacamata berbingkai nyentrik. Gitaris yang pertama direkrut setelah Ugo dan Yossy memutuskan untuk tampil dengan format band itu adalah yang pertama melanggar aturan larangan merokok. Penonton tak hanya maklum, justru meminta Ugo untuk melakukan hal yang sama.
Setelah “Requiem”, Melbi kembali mengentak hadirin dengan nomor-nomor politis yang lugas: “666,6”, “Cahaya, Harga”, Aspal, Dukun”, “Dapur, NKK/BS”, dan “Mars Penyembah Berhala”. Kecuali yang terakhir, seluruhnya dari album NKKBS Bagian Pertama/NKKBS I (2017), album yang, walau tak semenghantam BJS, menemukan relevansinya dengan denyut sosial-politik terkini.
***
Kembali ke pertanyaan di awal. Masih pantaskah gelar band mitos itu tersemat? Alih-alih julukan tersebut, mereka lebih pantas disebut sebagai band yang gemar membicarakan dan mendiskusikan mitos: orde baru, militerisme, cinta bahagia, dan sebagainya.
Kini Ugo telah menanggalkan jasnya, menyisakan kaos polos yang tentu saja berwarna hitam. Entah berapa batang rokok telah diisap Yennu, yang diikuti pula oleh Yossy dan Uya. Gerak tubuh Yennu semakin jahil dan “lepas”, tampak seperti orang yang ingin berpisah. Tahu bahwa ia harus dan telah memilih.
Saat bebunyian kembali dimulai, saya sadar mereka akan memainkan “Dinding Propaganda”, lagu dari album BJS yang jarang dibawakan di panggung. Lagu menenangkan yang memuat lirik “tataplah mataku dan temukan telaga”; “miskin takkan membuatnya putus asa / lapar memaksanya merasa berdaya”; serta “supermarket dan busung lapar adu lari”.
Joni dan Susi, inspirasi album BJS, seharusnya kini berusia 34 dan 32 tahun. Mungkin telah “berpinak banyak-banyak” dan dibebani berbagai cicilan. Jeda 13 tahun telah menginspirasi banyak pendengar, yang lantas mengasosiasikan seiris-dua iris hidupnya dengan pengalaman dan petualangan pasangan bangsat itu.
Mood pertunjukan mereka buat sedikit tenang dan syahdu, dengan menampilkan lagu-lagu bertempo menengah, yaitu “Bioskop, Pisau Lipat” dan “Nasihat yang Baik”. Sebelum mengalunkan lagu selanjutnya, Ugo berkata bahwa, “Mungkin, salah satu hal baik yang telah diwarisi band ini adalah lagu ini. Lagu yang telah menjadi miliki Lani.”
Kata-kata yang terdengar seperti alarm: Apa benar yang kita takutkan bersama itu terjadi? Bahwa mereka sudah terlampau lelah bermusik, dan usia tak lagi menjadi kawan? Bahwa masa-masa ketika Ugo dan Yossy tergopoh-gopoh memboyong komputer di atas motor, demi manggung sebagai duet elektronik, disimpan rapat-rapat di laci kenangan mereka saja?
Maka “Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa”, yang dilantunkan penonton dengan memanggul pertanyaan besar, terasa nanar.
Dan palu pun diketuk. Pasca menuntaskan lagu, pengarang Di Etalase (2003) itu berucap, “Ini juga akan jadi kesempatan terakhir kami, Melancholic Bitch, untuk main di Pulau Jawa.”
“Hah?!” “Wuhuuu..” “Ra mashook!” “Go international!” “[main terakhir] tahun ini??!” timpal para penonton.
“Selamanya,” sergah Ugo dan Yossy berbarengan.
Kekecewaan makin dihamburkan penonton. Melbi tidak memilih cara yang lazim untuk tutup buku. Tak seperti Puppen, misal, yang secara terbuka menggelar konser perpisahan pada 2002 silam.
Kematian, yang selalu datang tiba-tiba tanpa mengetuk pintu rumahmu, justru Melbi rayakan dengan cara yang ganjil.
Mereka pun memungkasi konser dengan “Lagu Untuk Resepsi Pernikahan” dan “Menara”. Melanggar dari skenario awal, Dacong mengambil kendali drum di lagu terakhir. Ia mengabaikan keterbatasan, seperti hendak mengucap sayonara dengan layak.
Sebanyak 20 lagu mereka sajikan, yang terdiri dari album Anamnesis (4 lagu), BJS (8), dan NKKBS I (8). Wajah-wajah lelah para penampil berpadu dengan seratus pertanyaan di benak para penonton. Berkondensasi dengan suasana ruangan yang seutuhnya pengap.
Sebelum benar-benar beranjak dari Gudskul, saya menghampiri Yossy yang sedang berbincang dengan seseorang. “Enggak mungkin, ‘kan, Hujan Orang Mati enggak jadi?” tanya saya.
“Jadi, tapi pakai nama yang lain,” katanya meyakinkan.
Setidaknya saya dan istri pulang malam itu dengan perasaan agak lega. Perasaan yang, per 10 November 2022, ditegaskan dengan sebuah pengumuman: mereka berganti nama menjadi Majelis Lidah Berduri.
Mengapa diumumkan di tanggal yang dirayakan sebagai Hari Pahlawan? Mengapa Lidah Berduri? Apakah sebuah penghormatan untuk Kwee Thiam Tjing, yang memakai nom de plume Tjamboek Berdoeri saat menulis Indonesia dalem Api dan Bara?
Urusan membikin penasaran mereka memang jagonya. Semoga titik tolak ini menjadi preambul bagi sesuatu yang akan “berpinak banyak-banyak”. Wahai, Melbi. Kami, seandainya kalian belum sadar juga, senantiasa siap.
Penulis: Fajar Martha
Editor: Purnawan Setyo Adi