Lintasan kereta uap yang dulu digunakan pemerintah kolonial Belanda di Kota Cepu kini dihidupkan lagi. Paket wisata Heritage Trainz Loco Tour menawarkan sensasi unik membelah hutan jati dengan kereta bersejarah.
***
Kota Ambarawa dan kereta uap adalah dua hal yang tak terpisahkan. Sulit bagi kita untuk tak membayangkan keberadaan kereta uap ketika membahas Ambarawa, sesulit tak melibatkan Romeo saat kita mengobrolkan Juliet.
Keberadaan kereta uap di Ambarawa dimulai sejak era kolonialisme Belanda. Ambarawa saat itu merupakan basis militer tentara kolonial yang penting di Jawa, dan tentu masuk akal bila pemerintah kolonial membangun lintasan kereta api di situ demi kemudahan mobilisasi militernya.
Selepas Belanda pergi, tepatnya di tahun 1976, gubernur Jawa Tengah pada saat itu, Supardjo Rustam, mengubah Stasiun Ambarawa menjadi Museum Kereta Api. Dengan pengelolaan yang baik oleh PT. Kereta Api Indonesia (KAI), museum tersebut menjadi salah satu objek wisata terfavorit di Jawa Tengah sekaligus menjadi ikon kota Ambarawa.
Namun, tak banyak orang yang tahu bahwa sekitar seratus kilometer ke arah timur dari Ambarawa terdapat objek wisata serupa. Di kecamatan Cepu, kabupaten Blora, Jawa Tengah, terdapat kereta uap era Belanda yang masih sanggup menjelajahi rel kuno demi memuaskan para wisatawan yang sedang dibekap romantisme-nostalgia. Objek wisata tersebut berjuluk Heritage Trainz Loco Tour, dan ini adalah cerita tentangnya.
Menembus rerimbun jati sebelum hibernasi
Heritage Trainz Loco Tour terletak di desa Ngelo, kecamatan Cepu, dan baru menjadi objek wisata pada tahun 2017. Sebelumnya, lokomotif-lokomotif tua milik Perhutani itu berhenti beroperasi selama dua dekade, setelah hampir seabad lamanya menyusuri rerimbun hutan jati di wilayah Cepu dan sekitarnya.
Untuk memahami kebermaknaan lokomotif uap di Heritage Trainz Loco Tour saat ini, ada baiknya bila kita menengok sejenak ke masa lalu dan menelusuri cerita sejarah yang tercecer di sepanjang relnya.
Cepu berada di kaki Pegunungan Kendeng, suatu perbukitan kapur sepanjang 250 kilometer yang membentang dari wilayah Mojokerto hingga Semarang. Seperti layaknya perbukitan kapur mana pun, tanaman pangan seperti padi relatif sulit dibudidayakan di sini, pun dengan tanaman hortikultura lainnya.
Namun, tanah berkapur adalah surga bagi tanaman jati (Tectona grandis). Maka membentanglah hutan-hutan jati di sepanjang jalur Pegunungan Kendeng, yang kayu dan daunnya telah dimanfaatkan sejak era yang tak lagi bisa diingat.
Ketika kerajaan Belanda mengambil alih Nusantara dari tangan Inggris pada abad ke-19, mereka cukup pintar untuk memasukkan pohon jati sebagai salah satu komoditas ekspor utama. Setelah membentuk jawatan kehutanan pada tahun 1897, demi mempermudah pengelolaan hasil hutan di kawasan Cepu, Belanda juga membangun jalur rel khusus yang tak menuju kota mana pun selain rerimbun hutan seluas 33.000 hektare. Pembangunannya jalur rel itu dimulai pada tahun 1915, dan memiliki total panjang tiga ratus kilometer.
Belanda kemudian mendatangkan empat lokomotif uap dari pabrikan Du Croo & Brauns dan Berliner Maschinenbau, serta memboyong belasan lori. Dengan alat-alat itulah pemerintah kolonial Belanda mampu mengelola hutan jati di kawasan Cepu secara efektif sebelum kepergian mereka yang tiba-tiba akibat Perang Pasifik yang melanda Nusantara.
Pascakemerdekaan, hutan jati beserta jalur rel tersebut kemudian dinasionalisasi oleh pemerintah melalui lembaga Jawatan Kehutanan Republik Indonesia, cikal bakal Perhutani. Situasi politik yang terus bergolak di era Orde Lama tak mempengaruhi aktivitas para pekerja kehutanan yang mayoritas merupakan penduduk Cepu; mereka masih menebang dan menanam jati, dan waktu menggelinding sepelan laju kereta uap yang mereka gunakan sehari-hari.
“Berangkat dari depo jam 8 pagi, ke TPK (Tempat Penimbunan Kayu) di Batokan sana. Lalu balik ke depo sekitar jam 4 sore. Begitu terus setiap hari,” kenang Pakih, pensiunan pegawai Perhutani, mengenai aktivitas kereta uap tersebut di era 80-an.
“Kalau pas hari libur, keretanya sering dipakai sama pegawainya sendiri untuk piknik di TPK sama keluarganya. Itu rame banget, bisa-bisa satu kampung naik semua,” lanjutnya sambil terkekeh. “Di zaman itu protokolnya nggak seketat sekarang. Asal sudah izin sama atasan, ya bawa aja.”
Pada dekade selanjutnya, Perhutani melakukan komersialisasi terhadap kereta uap tersebut. Dua gerbong berbahan kayu didatangkan, dan paket wisata menembus hutan jati pun dibuat. Kereta uap itu kini mengangkut wisatawan ketika sedang tak sibuk dengan kayu gelondongan.
Para wisatawan diajak menyusuri jalur tua di tengah hutan yang berakhir di Gubuk Payung, stasiun kecil berkanopi hutan jati yang berjarak sekitar tiga puluh kilometer dari depo pemberangkatan. Sebenarnya tak ada apa pun di stasiun kecil ini selain beberapa gazebo dan penjaja camilan; tak ada kolam renang, pemandian, atau bahkan penginapan. Akan tetapi, wisatawan datang ke sini memang untuk menikmati keheningan khas hutan dan bukan hal lain, dan mereka tak perlu menginap karena paket wisata tersebut selalu dimulai sejak pagi dan berakhir pada sore hari.
Wisata kereta uap itu sebenarnya cukup menjanjikan. Wisatawan yang datang bukan hanya dari bocah sekolah dan instansi pemerintah, melainkan juga dari mancanegara yang kepingin mencicipi sensasi berpelesir dengan moda transportasi yang telah punah di negaranya.
Namun, krisis moneter pada tahun 1998 membuat Perhutani mesti mengetatkan anggaran di sana-sini. Dampaknya, biaya perawatan kereta uap beserta infrastruktur pendukungnya tersebut ikut dipangkas, yang membuat objek wisata itu seperti hidup enggan, mati pun emoh.
Upaya penyelamatan objek wisata ini bukan tak dilakukan. Perhutani merevitalisasi jalur kereta yang dimakan usia, menurunkan tarif sewa dengan kompensasi tertentu, dan melobi pemerintah provinsi agar sudi memasukkan objek wisata kereta uap miliknya ke daftar destinasi unggulan pariwisata di Jawa Tengah.
Namun, ternyata ada banyak variabel lain yang tak sanggup Perhutani tangani. Kereta uap yang rutin beroperasi sejak Indonesia belum berdiri itu terpaksa dikandangkan tepat setelah milenium berganti. Ia berhibernasi tanpa tahu masih adakah kesempatan di kemudian hari untuknya menyusuri hutan jati.
Pelibatan pihak ketiga dan upaya mengalami masa lalu
Tahun-tahun berikutnya menjadi periode yang sulit bagi perjalanan sejarah kereta uap tersebut. Setelah dikunci di dalam depo buatan Belanda itu, satu demi satu pegawai Perhutani yang bekerja di situ dimutasi ke bagian lain, menyisakan hanya penjaga bangunan yang tak mengerti hal teknis permesinan apa pun selain cara membuka gembok.
Bangunan bersejarah itu pun ditumbuhi ilalang setinggi pinggang, dan sulur-sulur beringin tua yang tak terawat menambah kesan seram di kepala orang-orang. Penduduk di sekitar depo itu lebih sering menggunjingkan dedemit yang disinyalir bermukim di situ, tak menggubris mesin-mesin antik dengan cerita sepanjang seabad yang terkunci di dalamnya.
Hal paling buruk menimpa jalur relnya: ratusan kilometer besi rel kereta uap itu raib digondol maling, terutama menimpa pada jalur rel yang terletak di tengah hutan. Jalur rel yang menembus perkampungan warga selamat dari pencurian, tetapi diuruki tanah atau diplester dengan semen agar bisa dimanfaatkan sebagai jalan kampung. Jalur rel di sekitar depo masih selamat dari tangan jahil manusia, tetapi kondisinya terlalu riskan untuk dilalui dengan kereta apa pun.
Ringkasnya, tak ada sejengkal pun dari jalur rel sepanjang 300 kilometer itu yang memenuhi standar minimal operasional. Upaya untuk merestorasi jalur rel tua itu baru dimulai pada sekitar tahun 2010, dan sampai tulisan ini dibuat Perhutani baru bisa merestorasi sepersepuluh dari total panjang jalur rel sebelumnya.
Sesekali kereta-kereta antik itu dikeluarkan dari depo demi menjajal rel anyar tersebut, tetapi baru pada bulan Januari 2017 Perhutani meresmikan objek wisata kereta uap miliknya yang dinamai Heritage Trainz Loco Tour.
Terdapat sejumlah lokomotif tua yang dimiliki Heritage Trainz Loco Tour, di antaranya sebagai berikut: 3 lokomotif uap buatan Berliner Maschinenbau, 2 lokomotif uap buatan Du Croo & Braun, 1 lokomotif Hanomag 1922 yang kini berada di Taman Seribu Lampu Cepu, 1 lokomotif Ruston, serta 2 kereta drensin (loko sekaligus gerbong) buatan Honda dan hasil modifikasi mobil Mitsubishi Colt T120. Dari semua koleksi lokomotif tersebut, hanya drensin, Ruston, dan 1 lokomotif uap Berliner Maschinenbau berjuluk “Bahagia” saja yang diberdayakan.
Pada mulanya Heritage Trainz Loco Tour dikelola sendiri oleh Perhutani. Namun, pada tahun 2019 Perhutani menggandeng Hargo Dumilah Group dalam pengelolaannya. Kerja sama tersebut terbukti jitu; berbekal pengalamannya dalam mengelola kawasan wisata milik Perhutani di Ngawi dan Magetan, Hargo Dumilah Group merenovasi total area Heritage Trainz Loco Tour sehingga mampu menghapus kesan seram yang sampai saat itu masih mengungkungnya.
Renovasi yang dilakukan oleh Hargo Dumilah Group meliputi pemugaran beberapa bangunan, pembangunan sarana pendukung seperti gazebo dan stasiun mini, penambahan spot-spot instagramable di area wisata, dan penambahan gapura besar di pintu masuk. Rencananya, mereka juga akan membangun kolam renang dan area bermain di lokasi tersebut, tetapi serangan pandemi membuat rencana indah itu mesti bertahan sebagai rencana belaka, setidaknya untuk sementara.
Pelibatan pihak swasta dalam pengelolaan Heritage Trainz Loco Tour membawa beberapa perubahan yang berarti. Perubahan pertama yang saya dapati ketika baru saja tiba di sini adalah kenaikan harga karcis masuk.
Sekitar lima tahun lalu, ketika Perhutani masih menjadi satu-satunya otoritas yang mengelola objek wisata ini, harga karcisnya hanya lima ribu rupiah. Kini, karcisnya dibanderol dua kali lipat, belum termasuk karcis parkir.
Perubahan yang kedua: lokomotif uap Bahagia ternyata kembali dikandangkan. Rangkaian gerbong berkelir hijau itu sekarang “hanya” ditarik oleh lokomotif diesel Ruston.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan lokomotif Ruston. Ia tentu lebih efisien ketimbang lokomotif uap mana pun, dan toh ia juga pantas menyandang predikat antik. Namun, pengunjung datang ke sini untuk mencicipi sensasi bertualang dengan lokomotif uap, dan pecinta lokomotif uap militan siap merogoh kocek dalam-dalam demi memperoleh pengalaman tersebut.
Seberapa mahal, sih, tarif sewa lokomotif uapnya? mahal sekali. Kamu mesti menyiapkan dana sebesar Rp9 juta sampai Rp17 juta untuk sekali perjalanan. Kalau jumlah rombonganmu mencapai 100 orang, yang mana menjadi jumlah maksimal penumpang yang bisa diangkut dalam sekali perjalanan, tentu dana yang mesti kamu setor relatif tak memberatkan. Namun, bagaimana bila rombonganmu hanya terdiri atas keluarga inti dan segelintir kerabat dekat?
Itulah yang dipikirkan oleh pengelola anyar dan menjadi perubahan ketiga di objek wisata tersebut: kini semua orang bisa menyusuri jalur tua itu. Penumpang cuma dikenai biaya Rp20.000 untuk bisa merasakan sensasi menaiki kereta tua, yang bukan uap, dan kereta akan berangkat menuju TPK Batokan yang berjarak tiga kilometer setelah jumlah penumpang mencapai sekurang-kurangnya 15 orang.
Sambil menunggu kuota sejumlah itu terpenuhi, para wisatawan bisa memanfaatkan spot-spot menarik di situ untuk berswafoto atau membikin konten Tik-Tok. Namun, kalau menunggu adalah perkara yang amat berat, wisatawan bisa membayar 160.000 rupiah untuk langsung menjajal kereta drensin berkapasitas maksimal lima penumpang. Kereta drensin ini memang tidak ada aura kunonya sama sekali, tetapi ia tetap mampu menawarkan sesuatu yang menyenangkan.
Heritage Trainz Loco Tour terletak relatif dekat dari pusat kota Cepu, hanya sepuluh menit dari Taman Seribu Lampu yang dianggap sebagai jantung kota. Lagipula, kecamatan Cepu itu kecil sekali, hanya seluas 50 kilometer persegi, yang membuat fasilitas publik apa pun terasa dekat antara satu sama lain.
Kalau kamu berniat mengunjungi objek wisata ini, kamu bisa menumpang kendaraan umum apa pun menuju Cepu dan menyambung perjalanan dengan memakai ojek atau becak. Cepu dihubungkan oleh stasiun besar yang melayani trayek kereta lintas utara, terminal bus kelas A, dan bandara perintis yang hanya diterbangi dua kali seminggu oleh maskapai Citilink. Soal penginapan, ketahuilah bahwa Cepu punya lebih banyak hotel ketimbang minimarket.
Memang benar bahwa Heritage Trainz Loco Tour belum bisa diperbandingkan dengan Museum Kereta Api di Ambarawa, baik dalam hal luas area, jumlah koleksi kereta kuno, pilihan paket wisata, dan sarana hiburan non-esensial. Bagaimanapun, Heritage Trainz Loco Tour masih seumur jagung di dunia pariwisata.
Namun, keduanya memang berangkat dari lintasan sejarah yang berbeda, yang seiring berjalannya waktu membuat keduanya menempuh jalur otentiknya masing-masing yang tak beririsan, sehingga memperbandingkan keduanya akan tampak seperti usaha sia-sia. Heritage Trainz Loco Tour menawarkan sesuatu yang tak bisa diberi oleh Museum Kereta Api, dan begitu pula sebaliknya.
Lantas, untuk apa orang-orang rela membayar sedemikian mahal untuk menumpang kereta tua selelet siput di zaman ketika kereta secepat peluru dianggap sebagai norma? Ujaran petugas loket Heritage Trainz Loco Tour yang saya wawancarai demi menyusun tulisan ini mungkin pas digunakan sebagai jawaban:
“Kita tak pernah cukup mempelajari masa lalu dari setumpuk buku. Kadang-kadang, kita perlu mengalami sendiri masa lalu itu.”
Reporter: Mita Idhatul Khumaidah
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Jadi Marbot Masjid, Siasat Hemat ala Mahasiswa liputan menarik lainnya di Susul.