Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Mendalam

Belajar dari Sejarah: Darurat Militer Cuma Bikin Negara Menjadi Neraka, Rakyat Makin Menderita

Ahmad Effendi oleh Ahmad Effendi
4 September 2025
A A
darurat militer.MOJOK.CO

Ilustrasi - Belajar dari Sejarah: Darurat Militer Cuma Bikin Negara Menjadi Neraka, Rakyat Makin Menderita (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Wacana darurat militer muncul dalam pertemuan Presiden Prabowo Subianto bersama anggota kabinet, pimpinan partai politik, dan ormas keagamaan, pada Senin (1/9/2025). Mereka menganggapnya sebagai opsi terbaik untuk meredam aksi demonstrasi yang semakin meluas di berbagai daerah.

Darurat militer sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Dalam undang-undang ini, negara mengenal tiga tingkatan keadaan bahaya. Antara lain:

  • Keadaan Darurat Sipil: Pemerintahan sipil masih berkuasa penuh. Aparat keamanan hanya membantu.
  • Keadaan Darurat Militer: Pemerintah sipil berada di bawah kendali penguasa militer. Sebagian besar hak-hak sipil dapat dibatasi.
  • Keadaan Perang: Negara berada dalam kondisi perang melawan musuh dari luar. Kendali penuh di tangan panglima perang.

Disebutkan bahwa keadaan darurat dapat ditetapkan bila keamanan negara terancam oleh pemberontakan, kerusuhan besar, atau bahaya yang mengancam persatuan. Dalam hal ini, presiden berwenang menetapkan darurat militer atau darurat sipil dengan persetujuan DPR.

Demonstrasi besar-besaran yang memicu wacana darurat militer

Dalam sepekan terakhir, aksi demonstrasi besar-besaran yang berujung pada pembakaran sejumlah kantor pemerintahan, memang tengah meluas. Tak cuma di Jakarta, tetapi juga di daerah lain seperti Jogja, Bandung, Makassar, hingga Surabaya.

Kemarahan massa dipicu oleh insiden tragis meninggalnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, yang dilindas kendaraan taktis (rantis) milik Brigade Mobil (Brimob) Polri pada Kamis (28/8/2025) lalu.

Jalanan ibu kota pun lumpuh. Bentrokan pecah di sejumlah titik. Kerusakan materiil tak terhindarkan. 

Dari ruang-ruang diskusi di media sosial, ketakutan akan diberlakukannya darurat militer mulai terdengar. Argumennya klasik: mengembalikan ketertiban, menindak tegas pelaku kerusuhan, dan menjaga stabilitas negara.

Banyak netizen meminta massa aksi “libur sementara” dari berdemo, khawatir hal itu akan dijadikan legitimasi pemerintah untuk menerapkan darurat militer. 

Ketakutan ini wajar, sebab darurat militer memiliki sejarah kelam. Sejarah berbicara, penerapan darurat militer seringkali membawa dampak yang jauh lebih buruk ketimbang masalah yang hendak diselesaikannya.

Belajar dari Filipina, kala Marcos mengubah negara menjadi neraka

Negara tetangga kita, Filipina, pernah menerapkan darurat militer. Pada 21 September 1972, Presiden Filipina kala itu, Ferdinand Marcos, mendeklarasikan darurat militer. Dalihnya: untuk menumpas pemberontakan komunis dan ancaman terorisme. 

Namun, yang terjadi setelahnya adalah pembungkaman total atas demokrasi. Sejumlah pengamat menganggap, langkah ini adalah alat Marcos untuk memusatkan kekuasaan dan membungkam setiap suara yang menentangnya.

Mengutip sejumlah laporan, begitu darurat militer diberlakukan, ribuan lawan politik, jurnalis, aktivis, dan mahasiswa diringkus. Tanpa proses hukum, mereka dijebloskan ke penjara. 

Laporan Amnesty International mencatat, setidaknya 70.000 orang ditahan, 34.000 disiksa, dan lebih dari 3.000 orang dihilangkan secara paksa atau dibunuh.

“Kami disiksa, disetrum, dipukuli, hanya karena berani menyuarakan kritik,” kenang aktivis mahasiswa Bonifacio Ilagan dalam sebuah wawancara. Kesaksiannya adalah satu dari ribuan cerita horor yang terjadi di balik jeruji besi rezim Marcos.

Iklan

Kebebasan pers menjadi korban pertama. Semua stasiun televisi dan radio swasta diambil alih atau ditutup. Hanya media yang tunduk pada rezim yang diizinkan beroperasi, mengubah jurnalisme menjadi corong propaganda pemerintah. 

Marcos dengan leluasa menguasai semua institusi negara, membubarkan parlemen, dan menyingkirkan lawan-lawan politik. Darurat militer, alih-alih menjadi solusi, justru menjadi awal dari babak tergelap dalam sejarah Filipina: kediktatoran otoriter yang berlangsung selama bertahun-tahun dan meninggalkan luka mendalam.

Di Aceh, darurat militer melahirkan pelanggaran HAM berat

Indonesia sendiri tidak luput dari pengalaman ini. Pada 19 Mei 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri mengumumkan Darurat Militer di Aceh. Operasi yang dinamakan “Operasi Terpadu” ini bertujuan untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selama hampir satu tahun, militer mengambil alih sebagian besar fungsi pemerintahan sipil.

Pada awalnya, operasi ini disambut sebagian pihak sebagai langkah tegas untuk mengakhiri konflik yang tak berkesudahan. Namun, implementasinya menuai banyak kecaman. 

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Amnesty International dalam berbagai laporannya mencatat adanya serangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang meluas. Laporan-laporan ini merinci penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan kekerasan terhadap warga sipil yang dicurigai sebagai simpatisan GAM. 

Laporan dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh juga mencatat bahwa tindakan kekerasan selama konflik umumnya didominasi oleh aparat keamanan.

Jalan-jalan utama dan desa-desa di Aceh dipenuhi pos-pos pemeriksaan militer. Jam malam diberlakukan. Warga sipil hidup dalam ketakutan. Akses untuk jurnalis dan lembaga kemanusiaan dibatasi ketat, membuat pemantauan situasi di lapangan menjadi sangat sulit. 

Dalam sebuah laporan Human Right Watch (HRW) berjudul “Aceh Under Martial Law: Inside the Secret War”, diungkapkan bahwa sekelompok pemuda dari sebuah desa di Lhokseumawe secara paksa dibawa ke hutan oleh militer dalam sebuah operasi.

“Sulit membedakan mana kombatan dan mana rakyat biasa. Ada saja tuduhan yang bisa membuat seseorang ditangkap,” tulis laporan tersebut.

Pada akhirnya, operasi militer ini tidak berhasil menuntaskan konflik. Perlawanan GAM masih terus berlanjut. Solusi permanen baru tercapai setelah dilaksanakannya perundingan damai antara pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinki. 

Kisah Aceh menunjukkan bahwa kekuatan militer, meskipun bisa menekan pemberontakan, tidak akan pernah bisa menjadi jawaban akhir untuk menyelesaikan masalah politik yang berakar dalam.

Sebuah peringatan untuk kondisi hari ini

Dari kacamata pemerintah, wacana darurat militer mungkin terdengar menjanjikan di tengah ketidakpastian. Ada anggapan bahwa kekuasaan absolut militer akan mengembalikan keteraturan dengan cepat. 

Namun, pengalaman dari Filipina dan Aceh, adalah pengingat bahwa dampak buruk darurat militer justru lebih besar. 

Ahli hukum tata negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Agus Riwanto, menjelaskan jika jika darurat militer diberlakukan, ada beberapa dampak yang mungkin terjadi. Menurutnya, negara memiliki kewenangan untuk menertibkan kerusuhan dengan kekuatan militer, sehingga potensi disintegrasi dapat dicegah.

Namun, langkah ini juga memiliki risiko besar, seperti terjadinya pelanggaran HAM, pembungkaman ruang demokrasi, timbulnya ketidakpercayaan publik, serta memburuknya citra Indonesia di mata internasional. 

“Maka, penerapan darurat militer saat ini tidak tepat karena demonstrasi masih merupakan bagian dari proses demokrasi,” kata Agus, dikutip dari Kompas.com, Kamis (4/9/2025).

Karenanya, dalam situasi saat ini, pemerintah sebaiknya menyikapinya lebih proporsional melalui pendekatan dialog, penegakan hukum, dan penguatan kanal komunikasi publik. 

Agus juga menuturkan, bahwa situasi hari ini belum cukup dijadikan legitimasi pemerintah untuk menerapkan darurat militer. Menurut Agus, meskipun gelombang demonstrasi terjadi di berbagai daerah dan menelan korban jiwa, secara empirik masih berada dalam koridor hak konstitusional rakyat. 

Pemberlakuan darurat militer, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1959, baru relevan apabila demonstrasi berkembang menjadi pemberontakan bersenjata yang benar-benar mengancam keutuhan negara.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Prabowo dan Pejabat Negara Kita Perlu “Kuliah Komunikasi”; agar Tak Arogan dan Nirempati terhadap Tuntutan Rakyat atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Terakhir diperbarui pada 4 September 2025 oleh

Tags: Affan Kurniawanaksi demonstrasidarurat militerdarurat sipilDemoPrabowo Subianto
Ahmad Effendi

Ahmad Effendi

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO
Ragam

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
kapitalisme terpimpin.MOJOK.CO
Ragam

Bahaya Laten “Kapitalisme Terpimpin” ala Prabowonomics

21 Oktober 2025
Prabowo-Gibran.MOJOK.CO
Aktual

7 Alasan Mengapa Satu Tahun Masa Kepemimpinan Prabowo-Gibran Layak Diberi Nilai 3/10

20 Oktober 2025
makan bergizi gratis MBG.MOJOK.CO
Aktual

Omon-Omon MBG 99 Persen Berhasil, Padahal Amburadul dari Hulu ke Hilir 

19 Oktober 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.