Membaca Tren Tingwe dari Kemunculan Toko Tembakau

Di Yogyakarta, toko tembakau sudah hidup sejak lama. Kenaikan cukai membuat pelapak baru bermunculan.

Akhir 2019, ketika pulang dari Jakarta, adik saya, Joditya Jonet (26) membawa sebuah kotak kecil berwarna perak. Sekilas melihat kotak itu, saya mengira dia membawa pulang pomade sebagai buah tangan. Namun, ketika saya perhatikan lekat-lekat, kotak fancy itu adalah tempat tembakau berwarna hijau.

Sama seperti saya, Joditya perokok yang lumayan berat. Dia sempat mencoba vape. Bahkan berbisnis liquid vape bersama teman-temannya. Namun, rokok konvensional selalu ada di dalam tasnya. Dia tidak punya satu rokok jagoan. Seperti saya, selera rokoknya berubah sesuai suasana hati. Dan sejak tahun lalu, dia mulai melinting rokoknya sendiri. Kita mengenalnya sebagai aktivitas menyenangkan bernama tingwe (nglinting dewe).

Budaya tingwe sendiri bisa dikatakan jauh lebih tua ketimbang republik ini. Toko Wiwaha di Jln. Pangeran Diponegoro, Kota Yogyakarta saja sudah berusia 101 tahun. Wiwaha menjadi toko tembakau tertua di Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Tingwe juga setua sejarah tembakau itu sendiri. Konon, rokok lintingan sudah ada sejak sebelum abad ke-16. Bahkan, Raja Mataram, Sultan Agung, disebut-sebut sebagai perokok berat. Jadi, aman untuk dikatakan bahwa kebiasaan melinting memang sudah ada sejak dulu. Bahkan sebelum industri rokok menjadi industri raksasa seperti saat ini.

Kebiasaannya tetap lestari, peminatnya tidak pernah hilang. Namun, seiring zaman, tingwe mulai mengalami “penurunan derajat”. Selama bertahun-tahun, melinting rokok sendiri identik dengan orang tua. Aktivitasnya yang terlihat ribet juga dilekatkan kepada orang-orang yang tidak punya pekerjaan. Bahkan aktivitas ini dianggap sebagai kegiatan orang kelas bawah, semata-mata karena tidak mampu membeli rokok pabrik yang cukainya senantiasa menuju puncak gemilang cahaya itu.

Seiring laju zaman yang semakin cepat, tingwe menjadi aktivitas yang dipandang sebelah mata.

Namun, tidak ada yang abadi di dunia ini selain perubahan itu sendiri. Setelah pandemi Covid-19 menjangkiti dunia, secara tiba-tiba, kegiatan melinting rokok menjadi sebuah tren lagi. Semakin banyak anak muda tidak lagi malu-malu melinting rokok ketika nongkrong di kafe-kafe fancy.

Awalnya adalah ‘krisis’

Joditya Jonet, Toko Wiwaha, dan Tobeko Cigarette Shop sepakat bahwa “krisis” karena pandemi yang membuat tingwe mulai digemari khalayak perokok yang lebih luas. Jonet mulai intens tingwe ketika lockdown diberlakukan di Jakarta. Untungnya, sebelum kembali ke Jakarta, dia sudah membeli persediaan tembakau.

Ketika itu, isu kenaikan harga rokok juga menjadi alasannya. Pada Desember 2019, isu kenaikan harga rokok sebesar 35 persen santer terdengar. Mulai saat itu, penjual “tembakau eceran” mulai dilirik. Tidak hanya langganan, banyak toko tembakau kedatangan pembeli baru.

Selain kenaikan harga rokok, ada dua alasan tingwe mulai merasuk ke kehidupan anak muda. Pertama, aktivitas melinting yang (ternyata) menyenangkan. Kedua, varian rasa tembakau sangat beragam.

“Kepingin tingwe karena ternyata melinting tembakau itu asyik. Makin sering, makin asyik. Ini seni yang menyenangkan. Terus tembakau itu ternyata banyak variasinya. Banyak anak muda yang jadi asyik mencoba berbagai resep. Mencampur tembakau A sama B. Eh, jadinya enak, teman-temannya lalu mencoba,” kata Jonet kepada Mojok.

Budi Nugroho atau biasa disapa Pak Anang, pemilik toko tembakau Tobeko di Jalan Kedawung, Nologaten, Sleman, menuturkan bahwa salah satu alasan tingwe meledak adalah menurunnya daya beli masyarakat. Tentu saja karena pendemi.

“Ketika pandemi jalan beberapa waktu itu, daya beli masyarakat menurun. Salah satu yang kena dampaknya pasti daya beli rokok (jadi). Orang lalu banyak mencari alternatif. Lalu banyak orang jadi suka tingwe. Perbandingan harganya bisa dikatakan jauh. Untuk rokok seharga hampir Rp20 ribu (isi 16-20), kalau tingwe orang bisa dapat hampir 50 lintingan,” terang bapak berusia 49 tahun itu.

toko tembakau wiwoho tobeko djaya yogyakarta tingwe jogja mojok.co 4
Tampak depan toko tembakau Tobeko Cigarette Shop di Yogyakarta. Semua foto oleh Eko Susanto untuk Mojok.co.
Toko Wiwoho, Yogyakarta
Ruang pajang toko tembakau Djaya di Yogyakarta

Senada dengan Anang, karyawan Toko Wiwaha, Edwin (36 tahun), juga mengungkapkan bahwa pandemi ini menjadi semacam pemicu kenaikan tren tingwe. “Sejak pandemi itu naiknya banyak. Banyak anak-anak muda tertarik mencoba banyak varian. Salah satunya ‘tembakau rasa’ yang selama beberapa bulan ini makin ramai.”

Seiring meledaknya tingwe, bermunculan pula banyak variasi rasa tembakau. Di Toko Wiwaha saja saya menghitung ada lebih dari 15 varian rasa. Mulai dari tembakau beraroma leci, stroberi, vanila, hingga durian. Tembakau rasa dikreasi sendiri oleh toko tembakau untuk menyaingi popularitas vape. “Biar bisa saingan sama vape,” tutur Edwin sambil tersenyum.

Sri (56) adalah generasi kedua dari pemilik toko tembakau Wiwaha. Toko legendaris ini berdiri sejak 1919, sudah melewati berbagai zaman: kolonial, pendudukan Jepang, hingga perang mempertahankan kemerdekaan. Awet sekali, seperti budaya tingwe itu sendiri.

“Toko ini bisa bertahan sampai 101 tahun karena perokok tak pernah sepi peminat. Ada pasang, ada surut, tetapi selalu ada peminat. Jadi tidak heran kalau sekarang tingwe ramai lagi. Selalu ada masanya. Kalau dulu itu kebanyakan orang menengah ke bawah yang mencari rokok murah. Soal cukai yang naik juga berpengaruh. Lalu jadi tren ya kalau sekarang,” kata Sri kepada Mojok sambil melayani pembeli.

“Toko ini, tembakau, dan budaya tingwe pasti akan selalu bertahan. Selalu ada generasi selanjutnya yang melanjutkan. Namanya warisan, Mas, sudah turun-temurun,” Edwin menambahkan.

Bagi Sri dan Edwin, satu hal yang menarik bagi mereka adalah menjamurnya toko tembakau di Yogyakarta. Keduanya tak menganggap para toko tembakau baru yang bermunculan sebagai saingan. Bagi mereka, walau aliran uang dari pembeli akan terbagi seiring makin banyaknya toko tembakau, namun menjual tembakau bukan soal uang semata. Mereka meyakini, semakin banyak toko tembakau artinya semakin banyak orang mau untuk dekat dengan tingwe dan mempertahankannya sebagai warisan budaya.

Sebagai gambaran betapa maraknya toko tembakau di Yogyakarta, saya menengok sepanjang Jalan Wonosari. Sudah ada lima toko tembakau di jalan sepanjang kurang lebih 12 kilometer itu. Artinya, ada satu toko tembakau setiap 2,4 kilometer.

Suasana di Tobeko Cigarette Shop
Suasana di Tobeko Cigarette Shop

Tentang budaya tingwe, Anang juga mengungkapkan hal yang sama. “Di sekitar sini (Nologaten) saja sudah banyak yang berdiri beberapa bulan setelah pandemi. Banyak sekali sekarang toko tembakau.”

“Anak muda nggak malu lagi untuk melinting rokok ketika nongkrong. Malah kelihatan makin asyik. Salah satunya kalau menurut saya, mereka menjadikan tingwe itu untuk masuk media sosial,” lanjut Anang.

“Jadi semacam konten, Pak?” tanya saya.

“Betul, Mas. Kalau lagi melinting, mereka gaya sambil foto dari samping atas.” Anang lalu memeragakan polah anak muda ketika bikin konten buat media sosial. Mungkin buat IG Stories atau TikTok.

Boleh dikatakan, media sosial juga menjadi “cara” menularkan budaya tingwe. Toko Wiwaha sendiri cukup rutin membuka grup-grup tingwe di Facebook untuk mencatat percakapan. Salah satunya, percakapan varian tembakau apa saja yang sedang digemari. Dari sana Toko Wiwaha mendapatkan gambaran stok apa yang perlu ditambah di toko.

Tingwe, antara pasang dan surut

Tingwe, sebagai budaya, mungkin akan bertahan sangat lama. Edwin mengungkapkan bahwa tingwe adalah warisan jadi akan selalu ada yang meneruskan. Namun, sebagai tren, akan ada saatnya ombak pasang menjadi surut.

Hal itu diungkapkan pula oleh Anang. Dari sisi bisnis, semakin banyak toko tembakau, potongan “roti yang dinikmati” akan semakin kecil. Margin keuntungan sudah pasti mengecil. “Nanti, ketika selisih keuntungan cuma Rp1.000, mungkin banyak toko yang tidak bisa bertahan. Mulai capek karena keuntungannya makin kecil.”

“Cuma yang besar yang bisa bertahan, Pak?”

“Jelas. Kalau keuntungannya cuma Rp1.000, mending jualan rokok eceran. Untungnya bisa Rp1.500,” jawab Anang setelah menyalakan satu batang rokok dan mengisapnya dalam-dalam.

Memang, jika diperhatikan, tren tingwe sudah mengalami penurunan selama beberapa minggu ini. Namun, sekali lagi, meskipun menurun, tidak lantas akan hilang. “Kalau namanya sudah hobi dan passion-nya, pasti akan bertahan,” sambungnya.

Kalimat tersebut memang berdasar mengingat Tobeko bisa bertahan selama enam tahun dan sudah buka lima cabang di Yogyakarta dan satu cabang di Solo.

“Untuk sementara ini, saya rem dulu, tidak buka cabang karena makin banyak toko tembakau. Ya kalau sekarang biar kita bagi-bagi keuntungan sama teman-teman yang sedang berusaha di bidang ini.”

Tingwe sebagai tren memang tidak akan bertahan lama. Anang memprediksi tren ini akan “habis” pada 2021. 

“Kenapa bisa begitu, Pak?” 

“Salah satunya karena daya beli masyarakat sudah naik lagi. Dulu, di awal pandemi, orang merasa rokok itu mahal lalu mencoba alternatif lain. Sekarang, sudah berubah. Daya beli itu sudah naik. Ketika naik, orang-orang pasti kembali ke rokok (pabrikan). Ketika mereka kembali ke rokok, tembakau seperti ini peminatnya akan kembali seperti dulu.”

“Tetapi tidak bakal hilang. Karena sudah menjadi budaya,” sergah saya cepat.

“Tidak akan hilang. Gambarannya begini, Mas. Kalau orang sudah kena tembakau berkualitas, mereka akan kesulitan merasakan kembali enaknya rokok. Rasanya kecut. Pasti sudah beda. Nah, orang-orang seperti itu yang membuat bisnis tembakau bisa tetap jalan. Yang seperti itu pun jumlahnya banyak, kok,” terang Anang.

Sri menanggapi hal ini dengan perasaan yang sama. “Ya, kembali lagi seperti dulu. Sekarang ada kenaikan, dulu juga pernah. Peminatnya yang sudah langganan tetap datang. Toko-toko yang sudah lama ada juga masih mengambil ke sini,” kata Setiyowati yang terlihat santai menyikapi meledaknya tren tingwe.

Jika Toko Wiwaha mewakili pergerakan zaman dulu, Tobeko bisa dikatakan mewakili zaman baru. Namun, soal makna tingwe, keduanya punya pendapat yang “satu rasa”. Edwin, pengelola Toko Wiwaha, memandang tingwe sebagai sebuah seni. Memberi kepuasan tersendiri bagi perokok. Sementara itu, bagi Anang, tingwe juga sebuah kenikmatan.

“Sesuatu yang nikmat itu pasti membutuhkan proses,” tegas Anang sambil tersenyum. Seutas senyum dari dia yang menikmati tingwe bukan sebatas bisnis, tetapi kepuasan sebagai salah satu pencintanya.

Tren tingwe bakal datang dan pergi. Namun, pemujanya akan selamanya ada.

Seri liputan khusus “Tingwe”

1. Membaca Tren Tingwe dari Kemunculan Toko Tembakau

2. Satu Tingwe, Banyak Mbakonya

3. Melacak Kemunculan Tren Tingwe, Hobi yang Membuat Petani Tak Menderita-menderita Amat

[Sassy_Social_Share]

Exit mobile version