Masjid Pathok Negara Plosokuning adalah salah satu masjid tertua di Yogyakarta. Masjid ini adalah bagian dari megaproyek Keraton Jogja di masa Sultan Hamengkubuwono I untuk membangun sebuah pancer serbaguna.
***
Seorang pria tua memasuki masjid lewat gerbang samping. Ia berjingkat perlahan. Sarung ia sampirkan di bahu. Sebelum memasuki anak tangga pertama, ia berhenti untuk membasuh muka dengan air kolam. Ikan-ikan di sekitarnya dibuat kaget dengan gerakan tangannya. Di serambi masjid, seorang pria lain memukul kentongan beberapa kali. Jeda sejenak, pukulan ia alihkan ke bedug di dekatnya.
Dari dalam masjid, suara azan mengalun perlahan. Jamaah mulai datang dan memasuki halaman masjid dari 2 gapura. Beberapa orang memilih langsung masuk, beberapa lain memilih bercengkerama sejenak di serambi. Mereka berjajar memanjang sembari bersandar di pagar.
Di luar, sekelompok pria masih santai menghabiskan teh di dekat area parkir. Obrolan mereka sejenak terhenti lantunan azan. Beberapa mulai bergerak mengambil wudu. Para pria tadi semakin bergegas tatkala lantunan syair pujian berganti dengan iqamah.
Masjid tua
Jika Masjid Jami An-Nur Mlangi memegang status pathok negara di sisi barat, maka di utara ada Masjid pathok negara Plosokuning. Masjid ini terletak di Dusun Plosokuning, Ngaglik, Sleman. Beberapa orang menandakannya dengan bangunan tugu lele yang ada di sebelah barat masjid.
Masjid Jami Pathok Negara Plosokuning, begitu sebut beberapa orang. Bangunannya terletak di tengah pemukiman warga. Di samping masjid terdapat bangunan taman kanak-kanak dan di bagian belakang, tentu saja, terdapat komplek makam.
Bagian depan masjid berbentuk limasan dengan ornamen kayu di banyak bagiannya. Pintu dan jendela masjid juga masih menggunakan bahan kayu bergaya lawas. Di masjid ini, kolam di bagian depan dan samping masih difungsikan. Kolam tersebut harus dilewati apabila jamaah masuk melewati 2 gerbang di samping. Sementara di bagian depan telah dibangun sebuah jalan semen di atas kolam.
Suatu sore sebelum Ramadan, Jumat (25/3/2022) sembari menanti maghrib, saya berbincang dengan seorang pria yang sedang memberi makan ikan di kolam depan masjid. Dengan motornya, ia membawa seikat besar daun talas dan ketela. Ia juga agaknya hendak ke masjid karena telah mengenakan baju batik lengan panjang. Di motornya ada kopiah dan sarung.
“Tadi ada orang bersih-bersih kebun, eman-eman jika dibuang, ya sudah buat kasih makan ikan saja,” ucapnya. Dedaunan ia ratakan di bagian depan dan samping masjid. Sesekali ia juga membersihkan kotoran dari kolam tadi.
Berbagai sumber mengatakan bahwa masjid ini dibangun oleh keturunan Sandiyo Nur Iman, pendiri Masjid Pathok Negara di Mlangi. Khoirudin (44), juru kunci kemasjidan Masjid Pathok Negara Plosokuning, mengatakan bahwa pendiri masjid ini adalah Kiai Mustofa atau bergelar Hanafi I. Nama ini punya ayah bernama Kiai Mursodo, salah satu anak Kiai Nur Iman di Mlangi. Nama Kiai Mursodo turut ditulis dalam bagan silsilah di makam Kiai Nur Iman.
“Berdirinya tahun 1700-an,” kata Khoirudin, “Kalau masjidnya, sebenarnya jauh lebih tua sini daripada Mlangi,” lanjutnya. Makam Kiai Mustofa alias pathok negara pertama di Plosokuning beserta keturunannya kini berada di bagian belakang masjid. Di waktu tertentu, makam tersebut sering didatangi para peziarah.
Keberadaan Kiai Mustofa di Plosokuning tidak bisa dilepaskan dari perintah Kiai Nur Iman pada cucunya tersebut. Khoirudin bahkan punya istilah lebih dramatis dalam menyebut sejarah masjid ini. “Pembangunan masjid pathok negara adalah bagian dari megaproyek Keraton Jogja di masa Sultan Hamengkubuwono I untuk membangun sebuah pancer serbaguna,” ujarnya dengan nada tenang.
Masjid pathok negara, lanjut Khoirudin, bertujuan seperti namanya; pathok atau tiang yang bersifat multifungsi. Masjid ini punya fungsi untuk menyebarkan dakwah Islam, menggalang persatuan melawan penjajah Belanda, hingga fungsi sebagai pengadilan surambi sebagaimana pathok negara lainnya.
Memasuki masjid, perpaduan nuansa klasik dan sederhana sangat terasa. Hal ini berkat dukungan ornamen kayu beserta keramik berwarna kuning. Bagian dalam masjid hanya digunakan jamaah laki-laki saja dan jamaah perempuan menggunakan bagian serambi masjid. Dua bagian ini pun punya ketinggian berbeda. Dari serambi, jamaah harus menaiki 3 anak tangga untuk menuju bagian dalam.
Salah satu hal menarik di bagian dalam adalah mimbar masjid dengan nuansa sangat lawas, mirip dengan singgasana raja. Mimbar ini lebih besar dibandingkan masjid pathok negara lain dan sekilas mirip dengan mimbar di Masjid Gede Mataram Kotagede.
Sementara bagian pengimaman masjid tampak sangat sederhana dengan plafon rendah rendah. Bentuknya pun hanya kotak dengan sebuah jendela kecil di depannya. Tidak ada ornamen kaligrafi di sekitar bagian ini. Sebagaimana masjid pathok negara lainnnya, ornamen dalam masjid pun cukup identik dengan hal-hal ini; lampu gantung, soko dan plafon kayu.
Masih terjaga keasliannya
Khoirudin sebagai juru kunci kemesjidan membanggakan bahwa Masjid Jami Pathok Negara Plosokuning adalah satu-satunya masjid pathok negara yang masih asli. Ia mengklaim bahwa struktur bangunan, tembok, bedug, hingga plesteran di dinding masjid belum pernah diubah sama sekali.
“Renovasi ya sering sebenarnya, tapi cuma tambal sulam. Terakhir renovasi tahun 2010 untuk mengganti 4 tiang utama, plafon, sama genteng,” terangnya.
Masjid ini juga tidak punya kisah penghancuran atau pemindahan sebagaimana Masjid Pathok Negara Dongkelan dan Babadan. Keterangan Khoirudin dibenarkan oleh Riswinarno, Kepala Prodi Sejarah Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga. Ia mengatakan bahwa dari 4 masjid pathok negara, Plosokuning adalah satu-satunya yang masih asli.
Masih menurutnya Riswinarno, gaya arsitektur masjid pathok negara juga menjadi bukti proses masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Dalam bangunan-bangunan ini, ungkapnya, terdapat inspirasi dari kebudayaan yang lebih tua. Salah satu yang ia contohkan adalah gaya terbuka serambi masjid. Riswinarno menambahkan, hal seperti ini terjadi karena dasarnya corak Islam di Indonesia dengan di negara lain berbeda.
“Tetapi, masalah bangunan yang terinspirasi dari kebudayaan lebih tua itu perlu telaah panjang dan jangan disimpulkan mentah-mentah,” pesannya.
Di sisi lain, keberadaan masjid pathok negara juga kadang simpang siur. Salah satunya adalah status Masjid Taqwa Wonokromo. Masjid ini disebut dalam banyak sumber di internet sebagai salah satu masjid pathok negara. Namun, analisa Riswinarno mengatakan bahwa masjid ini adalah pengembangan dari Masjid Pathok Negara Babadan atau Dongkelan.
Beberapa sumber di internet juga menyebutkan Masjid Jami Pathok Negara Plosokuning dengan nama Masjid Sulthoni. Menurut Khoirudin, ini tidak bisa dilepaskan dari perjalanan masjid di masa Orde Baru. Kala itu ada ketentuan pengubahan nama masjid dengan bahasa Arab dan masjid ini diberi nama Masjid Sulthoni. Namun, menurut Khoirudin nama itu hanya digunakan sebagai formalitas administrasi semata.
Masjid Jami Pathok Negara Plosokuning ini menempati lahan seluas 2000 meter persegi, termasuk dengan area makam. Di sanalah bersemayam Kiai Mustofa sebagai Pathok Negara pertama beserta keturunannya. Beberapa keturunannya itulah yang secara turun temurun menjadi abdi dalem kemasjidan di sini. Sementara makam Kiai Mursodo menurut sang juru kunci tidak ada di kompleks ini.
“Abdi dalem kemasjidan ada 8 orang, kalau abdi dalem pasareyan belum ada,” lanjut Khoirudin.
Seturut kisah Khoirudin, di masa dahulu area sekitar masjid disebut dengan nama Mutihan. Sementara asal mula nama Plosokuning disebutnya tidak ada hubungan dengan keberadaan masjid. Karena, nama ini diambil dari pohon ploso dengan warna kuning yang dulu banyak terdapat di wilayah dusun ini.
Kini, masjid ini telah berstatus sebagai cagar budaya. Karena itu, segala perawatan ditanggung langsung oleh pemerintah. Khoirudin mengungkapkan, abdi dalem hanya bertugas mengusulkan saja jika ada hal yang perlu mendapatkan perawatan atau renovasi.
“Tapi itu juga jarang, seringnya mereka sudah memberi perhatian walaupun kami belum bilang,” lanjutnya.
Di kolam ikan sekeliling masjid, cahaya lampu menampakkan bayangannya sendiri. Selepas salat, saya beranjak menuju luar gapura utama, menuju sebuah bangunan 3 meter persegi. Bersama bapak-bapak Plosokuning saya bercengkerama sembari menunggu waktu Isya tiba.
“Monggo, diminum,” seorang bapak menyodorkan segelas teh panas. Ia juga berkeliling menyodorkan gelas ke semua orang di situ. Camilan ia keluarkan dan dibagi ke beberapa piring sebelum diratakan. Petang itu, sekitar 20-an orang berkumpul sembari membahas aneka rencana menjelang bulan puasa. Kami baru bubar tatkala azan Isya terdengar dari masjid.
Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Masjid Pathok Negara Babadan Kauman, Tempat Pasukan Diponegoro Latihan Perang dan liputan menarik lainnya di Susul.