Masjid Al Abror di Sidoarjo berdiri pada era Kerajaan Mataram Islam. Bangunannya telah berusia 344 tahun. Masjid bersejarah ini didirikan oleh seorang ulama yang selamat dari pembantaian di Plered, Yogyakarta.
***
Lokasi Masjid Al Abror tepat berada di sebelah selatan Pasar Pekauman. Aneka toko berderet dari sisi kiri dan kanan. Beberapa pedagang dan tukang becak menuju masjid setelah mendengar suara azan. Saya bergegas masuk lewat pintu masuk wanita pada Minggu siang (3/4/2022).
Saya melewati lantai tangga dengan ornamen bebatuan. Aneka tanaman hias sejenis sirih-sirihan tertata rapi pada dinding. Enam pot pohon pinang merah berderet di sisi kiri. Berhubung di pintu ada larangan buat yang sedang haid memasuki masjid, saya duduk di ruang tunggu menunggu takmir hingga salat dzuhur selesai.
Ruang tunggu juga penuh dengan tanaman hias yang tertata rapi. Satu set meja dan kursi bundar yang terbuat dari marmer berada di tengah. Depan ruang tunggu terdapat anjungan air minum, semacam wastafel dengan air layak minum yang disediakan gratis buat pengunjung.
Berdiri atas dampak pembantaian ulama di Plered
“Masjid Al Abror ini berdiri di tahun 1678 M, saat itu ada seorang ulama berasal dari Mataram yang menyelamatkan diri dari pembantaian di Plered.”
“Zamannya pada masa itu adalah Raja Amangkurat I, berselisih dengan para ulama karena tidak sesuai dengan pandangannya, selain itu ada praduga bahwa ia menganggap para ulama itu membantu adiknya untuk melakukan kudeta. Akhirnya para ulama dikumpulkan di Alun-alun Plered, Yogyakarta, ribuan ulama dan keluarganya dibunuh,” tutur Alfan (65), ketua Takmir Masjid Al Abror yang saya temui di Kantor Takmir membuka cerita.
Salah satu ulama yang selamat itu bernama Mulyadi. Ia hijrah ke wilayah timur dan menetap di Desa Suko, Sidoarjo. Setiap hari Mulyadi menyusuri sungai dari rumah menuju Pasar Kauman untuk berdakwah dan berdagang. Sayangnya, ketiadaan tempat untuk beribadah dan mengaji membuat kegiatan dakwahnya masih terasa kurang lengkap. Akhirnya, ditemukanlah sebuah tumpukan sisa bangunan yang tidak terpakai di dekat pasar.
“Akhirnya sama Mbah Mulyadi sambil dagang (sisa bangunan) dibersihkan. Lalu ditemukan semacam fondasi, dipakailah buat mendirikan tempat ibadah. Kata orang tua dulu masih sederhana sekali masjidnya,” kata Alfan melanjutkan cerita.
Mulyadi tidak sendiri, tiga orang ulama bergabung untuk membantunya mendirikan masjid. Tiga orang itu adalah Muso, Badriyah (istri Muso), dan Sayyid Salim. Dari cerita para pendahulu, Muso dan istrinya merupakan ulama dari Madura, sedangkan Sayyid Salim dari Cirebon. Empat orang ini lantas bekerjasama mengembangkan masjid.
“Empat orang ini melakukan majelis taklim, berdakwah, dan ibadah sehingga mengundang banyak orang luar datang kesini semua. Akhirnya jadi padat penduduknya. Karena ada tempat pengajian, ada ulama yang menyiarkan agama, berduyun duyun ke sini.”
Gapura kuno dan jam matahari
“Ini dulu sebelum dibangun ada penawaran dari Pemda, akhirnya dari takmir orang tua ngambil dari Islam-Jawa, Demak. Karena Mbah Mulyadi dari jawa, sungkupnya susun tiga itu gaya Islam-Jawa,” ungkap Alfan saat ditanya terkait gaya arsitektur masjid.
Dua atap berbentuk sungkup bersusun tiga mengadopsi dari atap Masjid Agung Demak. Makna dari tiga susun tajug tersebut antara lain dipercaya sebagai simbol Aqidah Islamiyah yaitu Ihsan, Islam dan Iman.
Ornamen bintang delapan (Quds) yang dominan di sebagian besar dinding merupakan lambang kejayaan islam. Langit-langit bagian dalam dan pintu berbahan utama kayu jati dengan ornamen keemasan. Terdapat lantai dua yang digunakan saat hari besar untuk menampung jamaah.
Hingga hari ini, Masjid Al Abror sudah direnovasi sebanyak 7 kali. Mulai dari tiang, luas, pewarnaan, hingga letak makam. 98 persen bangunan telah mengalami perubahan. Hanya ada dua bangunan yang hingga saat ini masih bertahan dan tidak pernah dipugar.
“Yang belum dibongkar gapura di tempat salat wanita dan bangunan penunjuk waktu salat. Katanya tukang bangunannya kalau bongkar itu (gapura) diketoki (diperlihatkan makhluk halus) sehingga nggak berani orang-orang menjamah, cuma dikapur. Yang lain sudah dibongkar,” kata Alfan sembari tertawa.
Gapura ini hanya dibuka saat Salat Jumat. Atasnya mirip ornamen kerajaan. Ukurannya tidak terlalu tinggi. Warnanya dominan putih. Beberapa lapisan terlihat mengelupas dan sedikit berlumut.
Bangunan lainnya yang masih bertahan berupa jam matahari penunjuk waktu salat yang berada di halaman depan masjid. Bentuknya berupa sebatang besi tembaga menancap di tengah lempengan batu marmer warna putih. Penentuan waktu dilihat dari bayangan besi di atas marmer. Sebagian permukaan marmer ini sudah mulai menghitam.
Sementara itu, di depan tempat imam, terdapat makam para pendiri Masjid Al Abror. Selain Mulyadi, Muso, Badriyah, dan Sayyid Salim, ada beberapa tokoh dan ulama yang dimakamkan di sini. Makam ini juga sering di ziarahi oleh para pengunjung.
Anjungan air minum dari Sumur Windu
Di Masjid Al Abror terdapat anjungan air minum baik di dekat pintu masuk pria maupun wanita. Bentuknya seperti wastafel marmer. Dindingnya berbahan batu granit dan berdampingan dengan pohon pinang hias. Berhubung saat ini bulan puasa anjungan air minum ini tak tersentuh di siang hari.
“Air Zam-zamnya masjid ini, orang tua dulu menyebutnya Sumur Windu. Itu asli pas Mbah Mulyadi, tempatnya di tempat wanita, diproses, di atas itu ada penjernih air. Itu sudah diizinkan Dinas Kesehatan, layak minum,” ungkap Alfan. Sumur Windu merupakan sumber mata air kuno karena sudah ada sejak masa kerajaan. Di Masjid Al Abror sendiri sumur tersebut berada di tempat wanita dan ditutupi oleh papan.
Kajian kitab kuning dan lembaga pendidikan
Beragam kegiatan diadakan di Masjid Al Abror. Seperti salat berjamaah baik wajib dan sunnah, majelis taklim, buka bersama, tadarus, mengaji bersama dan masih banyak kegiatan ibadah lainnya. Tiap selepas magrib, diadakan kajian kitab kuning yang diisi oleh beberapa kiai di Sidoarjo. Pesertanya selain para takmir juga terbuka untuk masyarakat umum seperti warga sekitar dan pedagang.
“Masjid ini di tengah-tengah kota juga dekat dengan pasar. Pedagang di sini kan paling banyak musafir kalau maghrib banyak yang berjamaah. Nggak berani mengadakan pengajian ba’da subuh karena orangnya nggak ada, kalau subuh habis doa wiridan hilang,” ucap Alfan sembari tertawa memaklumi kesibukan para jamaah yang berprofesi sebagai pedagang.
Selain itu, Masjid Al Abror juga memiliki lembaga pendidikan seperti TPQ, TK, MI serta MTs. Dulunya, diakui Alfan, siswa di lembaga tersebut cukup banyak. Namun, berhubung mulai banyak bermunculan masjid-masjid baru dan adanya sistem zonasi, terjadi penurunan jumlah murid baik di lembaga formal maupun informal. Sebelum akhirnya menjadi ketua takmir, Alfan sempat mengurus lembaga pendidikan tersebut hingga akhirnya memperoleh akreditasi.
Jumlah takmir di masjid ini tergolong banyak. Dari total 61 orang, 5 diantaranya sudah meninggal dunia. Mulai dari peribadatan dakwah, mengurus bilal, khotib, sosial, ada bagiannya tersendiri. Meski demikian, tidak ada takmir yang tinggal di masjid. Ternyata, salah satu takmir keamanan yang berprofesi jualan kopi di masjid ini mengawasi lokasi. Sehingga jika ada hal yang mencurigakan bisa segera diketahui.
Keterlibatan ibu Muslimat
Selain laki-laki, terdapat seksi peranan wanita muslimah yang perannya tak kalah penting. Ibu-ibu yang jumlahnya sekitar 20-an ini turut serta aktif menghidupkan Masjid Al Abror. Tiap hari jumat pagi terdapat kegiatan makan (di luar bulan puasa) dan berbagi aspirasi bersama.
Khusus jumat legi, terdapat makanan khusus yang dibagikan pada para pedagang dan tukang becak serta jamaah Salat Jumat. Sedang Hari Minggu, terdapat semaan Al Quran mulai selepas subuh hingga pukul 7.30 WIB. Tak hanya itu, ibu-ibu ini juga aktif menjaga kebersihan mukena serta sajadah dibantu dengan jamaah setempat.
“Mencuci mukena 3 hari sekali kita keluarkan 15 mukena, ada dana dari masjid yang dikeluarkan dalam 1 tahun. Tapi kadang jamaah ada yang pengin cuci jadi kadang uangnya dialokasikan untuk sabun dan sebagainya,” tutur Indarti Zainun (63) selaku ketua Seksi peranan wanita muslimah di Masjid Al Abror.
Atas inisiatif ibu-ibu di sini pula toilet masjid diperbahurui sehingga memiliki fasilitas yang lebih memadai dari sebelumnya. Hal yang tidak kalah menarik adalah penataan pintu masuk serta ruang tunggu khusus jamaah wanita yang penuh dengan tanaman hias.
“Jadi awalnya ada yang kontra, banyak yang maunya ya murni masjid nggak pakai bunga tanaman, akhirnya saya sendiri nyobanya ya step by step, pelan pelan, butuh waktu sekitar 3 tahun. Kebetulan saya senang bunga, jadi saya ambilkan dari tempat saya,” kisah Indarti Zainun saat ditanya terkait konsep penataan ruang wanita.
Selain penataannya yang artistik dan penuh dengan nilai sejarah, dulunya alun-alun Sidoarjo berada di depan masjid ini. Bahkan bupati pertama Sidoarjo juga turut memiliki andil pada proses renovasi masjid, sebelum akhirnya lokasi alun-alun dipindahkan. Meski tampak megah dan baru, siapa yang menyangka bahwa masjid bersejarah ini sudah berusia ratusan tahun.
Reporter: Nurfitriani
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Mlangi, dari Tanah Perdikan hingga Kampung Santri dan liputan menarik lainnya di Susul.