Belum lama saya mengetahui tentang keberadaan Margo Redjo, sebuah pabrik kopi tua di tengah kawasan Pecinan, Kota Semarang yang masih berproduksi hingga kini. Pabrik ini pernah mendominasi kopi asal Hindia Belanda yang diekspor.
***
Sekarang, pabriknya memang tak seaktif dulu yang mampu memasok ratusan ton untuk kebutuhan kopi di pasar lokal, ataupun ekspor pada era kolonial. Namun, pabrik yang beralamat Jl. Wotgandul No. 14 ini masih aktif sebagai rumah sangrai dan penggilingan kopi di Semarang. Sekarang lebih dikenal dengan nama Dharma Boutique Roastery.
Sebuah surat kabar masa kolonial, de lokomotief, yang masih menggunakan bahasa belanda menceritakan, awal keberadaan Margo Redjo bukanlah di Semarang. Melainkan berada di daerah Bandung, Jawa Barat pada tahun 1915. Selang sembilan tahun, sang pemilik yang bernama Tan Tiong le memindahkan pabriknya di kota kelahiran, Semarang.
“Kakek asli Semarang, lalu merantau ke Cimahi-Bandung,” Widayat Basuki Dharmowiyono (76) memulai cerita, tangan kanannya menegakkan kacamata yang melorot ke bawah hidung. Ia adalah generasi ketiga penerus Margo Redjo sekaligus cucu dari Tan Tiong le. Kami bertemu sambil menikmati secangkir kopi wamena dan gayo natural di depan teras Dharma Boutique Roastery yang buka mulai pukul 09.00-16.00 WIB, Senin (17/01/2022).
“Awalnya bukan usaha pabrik kopi, tapi roti dan kayu. Tapi gagal,” ujarnya lagi. Lalu pada tahun 1910-an, Tan Tiong le mulai melihat peluang bisnis lain, yaitu kopi. Bersamaan dengan momen masuknya varietas kopi robusta yang belum lama di Indonesia.
Kisah kejayaan Margo Redjo
Sebuah artikel de lokomotief terbitan 2 Oktober 1947 menyatakan sebelum dikenal sebagai Kota Lumpia, kala itu Semarang cukup terkenal sebagai kota pengolahan produk kopi, yaitu kopi sangrai dan bubuk. Pada tahun 1929, Semarang mampu memasok 326 ton atau 69% ekspor kopi seluruh Hindia-Belanda. Hampir 200 ton kopi yang dipasok dari Semarang berasal dari sebuah pabrik penyangrai kopi terbesar di kota itu, yakni Margo Redjo.
“Saya ajak keliling di belakang, yuk?” Basuki beranjak dari kursi yang semula diduduki. Saya mengangguk dan ikut mengekor.
Di belakang rumah, terdapat sebuah bangunan tua berbentuk panjang dan terdiri dari dua ruang. Kami masuk. Saya kira akan gelap dan pengap seperti gudang lama tak terpakai. Rupanya, tidak demikian. Ruangan itu besar, tidak gelap namun agak redup. Cahaya matahari siang itu masuk melalui jendela-jendela kaca berukuran sedang yang ada pada setiap sisi ruangan.
Sayang, cahaya jendela tak mampu seluruhnya menerangi hingga dalam. Sebab, di depan jendela terdapat alat-alat penggiling kopi yang berukuran cukup besar menutupi sinar matahari yang akan masuk.
Hanya ada suara langkah kaki dua orang dan sesekali decitan sepatu yang bergesekan dengan ubin lantai. Kami berdua terdiam sambil terus melangkah. Samar-samar ruangan ini masih menyimpan bau minyak untuk membuat alat penggiling itu terhindar dari karat karena sudah lama tak digunakan. Basuki langsung mengajak saya masuk ke ruangan paling ujung, ruangan kedua. Di sebelah kanan, ada setumpuk kayu jati berukuran panjang dan besar sisa-sisa pendahulunya dulu.
Seiring berjalannya waktu, sekarang dijamin akan sangat sulit mendapat kayu jati utuh sebesar itu. “Kalau dijual lagi, pasti sangat mahal,” kata Basuki.
Kami berdua terkekeh.
Tapi, Basuki tak mau menjual kayu-kayu yang tergeletak itu. Biarkan demikian dulu sementara, sambil takut-takut kemakan rayap jika kalah dengan waktu. Namun, secepatnya, Basuki berjanji akan menggunakan kayu-kayu itu sebagaimana mestinya. Ia ingin memasangnya pada beberapa bagian untuk meningkatkan nilai estetika dari bangunan eks pabrik ini. Tentunya, tanpa menghilangkan unsur sejarah, klasik, serta kunonya.
Dalam benak Basuki, bangunan ini ingin ia sulap sebagai ruang diskusi bagi para pecinta kopi ataupun pameran. Syukur-syukur bisa sekalian menjadi sebuah museum kopi.
“Ini mesin sangrai pertama yang dibeli dulu, merek Jerman. Kapasitasnya 30-an kilogram,” ucapan Basuki mengalihkan pandangan saya ke sebuah mesin berukuran cukup besar yang berada di sebelah sisi kanan kami. Bahan bakarnya masih menggunakan kayu ataupun arang.
“Kalau ini saya belum pernah pakai, tapi mesin sebelahnya,” ia berjalan lima langkah ke kanan dari mesin pertama tadi menuju ke mesin lain yang memiliki bentuk hampir sama. “Nah, yang ini saya pernah pake di tahun 80-an,” ujarnya.
Kami berjalan lagi menuju ke ruangan pertama. Isinya hampir sama, beberapa buah mesin sangrai berukuran cukup besar dan alat-alat kecil lainnya. Pria itu lagi-lagi berhenti di depan satu buah mesin sangrai. Ia mendongak ke atas, menunjukkan sebuah tulisan terukir.
“Saya kira ini sama-sama buatan Jerman, ternyata Belanda. Saya aja dikasih tau sama salah satu pengunjung, dulu,” ucapnya memamerkan ukiran sebuah merk berbahasa asing.
“Pabrik mereka bangkrut di tahun 1935, jadi kalo di logika kemungkinan dibeli sebelum tahun itu. Mungkin sekitar 1927,” kata Basuki lagi.
Sayangnya, mesin-mesin besar yang tersimpan di bangunan tempat kami berdiri ini tak pernah dipakai lagi selama puluhan tahun. Kemungkinan hanya sekitar lima tahun pemakaiannya, setelah itu ekspor menurun dan produksi pabrik pun ikut turun.
Sejarah mencatat, pada tahun 1930-an terjadi krisis ekonomi yang bermula di Amerika, lalu ke Eropa. “Itulah yang membuat kami berhenti ekspor, karena tidak ada permintaan. Belanda udah nggak punya uang untuk pesan,” ucap Basuki.
Kemudian, tak selang beberapa lama terjadilah perang. Alhasil, produksi pabrik makin turun diiringi dengan pendapatan yang makin rendah, bahkan sampai mencapai nilai 0 rupiah. Suatu hal yang tidak pernah terprediksi oleh Margo Redjo sebelumnya, padahal mesin-mesin yang sudah terlanjur dibeli memiliki harga cukup mahal. Dan sekarang, mesin-mesin ini tak pernah digunakan lagi karena dirasa kurang efisien.
Keraton Solo dan saksi persahabatan Tionghoa-Jawa
Tiba-tiba, Basuki menoleh ke arah belakang dan menghampiri sebuah mesin berukuran lebih kecil dibanding mesin yang saya ceritakan di atas. Ia teringat dengan sebuah pesan ayahnya: persahabatan tidak memiliki batas, meskipun dengan adanya perbedaan suku ataupun ras.
Mesin yang berada di hadapan kami ini menjadi saksi persahabatan seorang anak yang berasal dari keluarga Tionghoa dan keluarga Jawa. Ayah Basuki memiliki sahabat baik sejak sekolah, ia merupakan seseorang yang berasal dari keluarga di Keraton Solo.
“Dulu, waktu Jepang menguasai Indonesia. Sempat ada penyitaan besi-besi seperti ini untuk dilebur dan dibuat material pembuatan alat-alat mereka,” Basuki memulai cerita.
Mendengar itu, ayah Basuki sempat kebingungan. Tapi, sahabatnya yang berada di Solo meminta ayah Basuki untuk mengungsikan saja mesinnya ke Keraton Solo. Dijamin pasti aman.
Ayah Basuki menyetujuinya. Mesin yang semula berada di Semarang, ia bawa hingga ke Solo.
“Tau nggak ditaruhnya di mana?” tanya Basuki.
Saya menggeleng.
“Mesin ini ditaruh di pendopo keraton, yang ubin lantainya pasti bagus. Harusnya mesin ini bisa bikin rusak dan kotor lantainya dong?” ucap Basuki. Tapi pada saat itu, sahabat ayahnya tidak peduli dan tetap menjaganya hingga lima tahun lebih. Pada tahun 1950-an, mesin itu baru dibawa pulang kembali ke Kota Semarang.
Hari sudah mulai sore. Langit juga mulai gelap. Hari-hari ini Semarang selalu didatangi hujan tiap sore menjelang malam. Kami lantas berjalan ke luar bangunan penyimpanan alat menuju arah tempat kami duduk tadi.
Kegigihan generasi ketiga Margo Redjo
Suasana Dharma Boutique Roastery sore itu cukup ramai, namun tidak sesak. Beberapa orang lalu-lalang sembari memperhatikan susunan toples kopi yang tertata rapi di sisi dalam rumah yang dijadikan kedai. Meskipun kebanyakan pelanggan membeli kopi dalam bentuk bubuk, namun adapula yang meminta masih dalam bentuk biji. Biasanya, kopi dijual mulai harga belasan hingga puluhan ribu, sesuai dengan variannya. Minimal pembelian sebanyak 1 ons.
Tak jarang, beberapa yang lain juga memesan seduhan kopi kepada barista untuk langsung dinikmati sambil duduk-duduk. Kadang-kadang, sebelum memilih tempat duduk, pandangan mereka teralih pada seorang ibu-ibu yang sedang menyangrai biji kopi dengan mesin berukuran kecil. Hanya sekitar dua belas menit, aroma harum dari biji kopi mulai memenuhi ruangan.
Perhatian saya teralih pada Basuki lagi. Tangannya asyik mengetuk-ngetuk meja, sesekali mengelus secangkir kopi yang tinggal seperempat. Ia mengangkat cangkir itu, menggoyang- goyangkannya perlahan. Matanya terpejam sebentar seakan menikmati setiap uap tipis yang memasuki rongga hidung. Basuki menyeruput sekali, lalu menjauhkan cangkir dari mulutnya. Selang berapa detik, ia menggoyang-goyangkan kembali cangkirnya dan mendekatkannya ke hidung lagi.
Matanya menerawang jauh.
Basuki kecil tak terlalu memahami kopi. Kadang-kadang ia hanya mengamati ayahnya yang sedang sibuk mengurus produksi di pabrik belakang rumahnya atau mendengar cerita sehari- hari ayahnya saja. Setelah remaja, ia memilih untuk berkuliah di Jurusan Hukum, tak berurusan sedikitpun dengan kopi ataupun masalah bisnis.
“Saya belajar kopi setelah serah terima dari Ayah untuk melanjutkan pabrik ini,” ucap Basuki, raut wajahnya mengingat-ingat, “sehabis lulus kuliah, sekitar tahun 1975,” lanjutnya.
“Sebenarnya, saya sempat kebingungan ketika lulus kuliah mau kerja apa di bidang hukum,” ujar Basuki. “Sempet debat sama Ayah karena suruh lanjutin usaha pabrik ini,” katanya terkekeh.
Dulu, di dalam hati Basuki tersimpan keraguan yang besar. Sejujurnya, ia tak tau kemana arah masa depan Margo Redjo waktu itu. Apalagi sudah banyak perusahaan-perusahaan besar kopi yang mulai bermunculan pada tahun-tahun itu. Hampir semua pasar mampu dikuasai oleh mereka. Sulit bagi Basuki untuk memulai kembali dan mengembalikan ke masa kejayaan seperti pada zaman penjajahan Belanda.
Tapi akhirnya, ia menerima permintaan ayahnya.
Bertahun-tahun Basuki bertahan dengan keadaan Margo Redjo yang bisa dibilang memprihatinkan. Tetap hidup, namun redup. Seringkali tak mendapat penghasilan sepersenpun, nol rupiah saja tak mampu masuk kantong. Produksi pun sempat berhenti, tapi penjualan tetap terus berjalan untuk menghabiskan stok.
“Yah, yang bisa saya lakukan waktu itu berusaha tetap mempertahankan Margo Redjo, walaupun dengan sisa uang yang ada,” akui Basuki. Walau harus nombok pun, tetap dilakoninya.
Sampai pada tahun 2017, seorang wartawan datang menemui Basuki, berniat untuk menulis sebuah artikel tentang Margo Redjo. Basuki dengan senang hati mengiyakan. Tak disangka- sangka, artikel tersebut cukup booming di kalangan masyarakat. Margo Redjo pun mulai dikenal kembali.
Sayangnya, kesenangan itu tak bertahan lama. Selang beberapa tahun, pandemi mulai datang. Margo Redjo mulai sepi lagi.
Saya tersenyum masam, agak ragu-ragu sebuah pertanyaan keluar dari mulut saya pelan, “Terus kenapa dulu masih mau lanjut, Pak?”
Pria berkaos polo putih berkerah itu tertawa kecil. “Saya gatau ya, itu kemalasan saya atau insting. Dulu saya bingung kalau ini saya lepas, saya mau kerja apa. Jadi ya, terseok-seok tetep saya lanjutin. Sayang juga, kan?”
Perubahan nama Dharma Boutique Roastery ini sebagai bentuk adaptasi yang dilakukan oleh Basuki untuk membawa Margo Redjo mampu bertahan di segmen pasar masa kini.
“Sekarang, pasar kopi rata-rata untuk umur 40 tahun ke bawah. Kalau dulu kan 40 ke atas, mereka beli kopi untuk diseduh di rumah,” kata Basuki.
“Kalau sekarang, kopi untuk lifestyle dan penyambung silahturahmi. Ngopi dan nongkrong, sepaket,” ucapnya menutup pembicaraan kami.
Reporter: Rahma Ayu Nabila
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Warung Sate Kere Mbah Mardi dan Alasan Mahasiswa Memberi Nama dan liputan menarik lainnya di Susul.