Punya pengalaman seabrek, kemampuan mumpuni, serta pendidikan tinggi tak lantas bikin langkah mencari kerja jadi mudah. Itulah yang dirasakan Bunga, lulusan MM UGM 2023. Pengalamannya yang sebegitu banyak plus status dia lulusan S2 tak bikin dia kunjung dapat kerja. S1 dianggap underqualified, S2 dianggap overqualified. Sungguh ironi.
***
Hujan yang sesekali diselingi petir menemani proses wawancara saya dengan Bunga (23/04/2024). Saya kenal Bunga lewat kawan saya, yang sama-sama menempuh pendidikan di MM UGM. Sebagai entrepreneur yang punya minat finance, jelas dia paham betul akan hal ini.
Petir yang mengilap tiba-tiba bikin saya harus “menembak” Bunga pada poinnya, apa yang bikin S2 malah dianggap overqualified?
Awalnya Bunga pun bingung terkait hal ini, karena dia sendiri adalah salah satu orang yang overqualified tersebut. dia tidak memvalidasi hal tersebut, tapi kawan-kawannya lah yang bilang hal tersebut. Tapi terlepas benar dia overqualified atau tidak, dia pun bertanya-tanya, kok bisa orang dengan CV mentereng (banget) ditolak perusahaan?
Setelah Bunga bertemu dengan kawan-kawannya yang lain yang mengalami hal yang sama, Bunga pun memahami hal ini. Kenapa orang S2 dianggap overqualified tidak diterima kerja, ada dua alasannya menurut mereka, dan tergantung perusahaannya. Jika perusahaan swasta, karyawan yang overqualified biasanya akan disesuaikan dengan visi misi perusahaan. Tapi BUMN, beda cerita.
“BUMN justru lebih worry (kalau ada calon karyawan yang overqualified). Ya sorry to say ya, Mas, BUMN dan sejenisnya jika punya staff yang vokal, malah agak takut. Karena ya, BUMN kan punya batasan yang banyak, Mas. Stakeholdernya banyak, shareholdernya banyak, makanya banyak yang dipertimbangkan, Mas. “
“Tapi ini belum ada validasinya ya, Mas. Ini kira-kira aja, dari kesimpulan saya dan temen-temen yang diskusi tentang hal tersebut.”
Bunga melanjutkan, apa yang sebenarnya bikin lulusan S2 dianggap overqualified, dalam kasus dia pribadi, adalah background dia yang memang mentereng ditambah dengan jurusan yang menunjang, bikin calon karyawan terlihat begitu mewah.
Bagaimana dengan gaji?
Saya berbelok sedikit dari perkara overqualified, dan membahas gaji. Salah satu hal yang kerap jadi halangan orang bekerja adalah gaji. Banyak sekali cerita bertebaran lulusan S2 itu sering minta gaji tak masuk akal, atau standar gaji mereka dianggap kelewat tinggi. Bunga tak setuju dengan ini, sebab dia sendiri tak seperti itu.
“Kemarin itu, salah satu perusahaan menawari saya gaji sebesar 9 juta. Saya nggak nolak. Saya juga tidak minta lebih, juga tidak minta kurang. Ekspektasi saya awalnya 7.5 juta. Terus saya sempat daftar kerja di startup, ditawari 6.5 juta, saya tidak masalah. Di salah satu kementerian, saya ditawari 5.5, ya saya nggak masalah juga.”
“Jadi kalau dibilang S2 itu nggak masuk akal dalam perkara gaji, bagi saya ya tidak. Saya menerima offering yang diberikan. Kita (anak S2) nggak minta ekspektasi yang muluk-muluk, kok. Misal UMR Jakarta 5.5, ya kita minta di atas UMR, 6.5 lah katakanlah. Kan dari segi pendidikan udah beda. Namanya juga negosiasi.”
Lanjut Bunga, dia sudah membuat sistem yang bikin bisnis yang dia punya sudah bisa ditinggal mandiri. Gaji jelas bukan masalah baginya sekarang. Dia hanya ingin bekerja, mengikuti dunia yang dia sukai.
“Kalau dari pengalamanku daftar CPNS dan finance di salah satu BUMN ya. Nah di BUMN itu, dikulik kan bagian motivasi kerja di bagian CV, dan dalam CV saya juga menulis kalau udah punya bisnis yang sustain. Nah, di situ ditanyain, kalau udah punya bisnis yang sustain, ngapain daftar kerja?”
“Terus sehabis itu, bahas perkara job desc kerja lama, dan kembali lagi bahas motivasi kerja. Saya jadi bingung ya, motivasi kerja saya kan emang di situ, saya seneng finance dan pengin nyoba kerja di luar bisnis saya. Intinya ya, saya pengin kerja, udah.”
Baca halaman selanjutnya
Iklim politik
Dunia kerja untuk lulusan S2 begitu mengerikan dan jadi perbincangan sejak lama. Lapangan kerjanya hanya sedikit, pun tidak banyak perusahaan yang memang mencari lulusan S2 untuk jadi karyawan. Sekilas terlihat, ada masalah dalam dunia kerja yang berimbas pada lulusan S2. Tapi, Bunga punya pendapat lain.
“Menurut saya, setahun terakhir kan iklimnya politik ya, jadinya perusahaan tidak membuka lapangan pekerjaan sebanyak biasanya. Mereka ingin melihat iklim politik ke mana. Mungkin mereka ingin menyelamatkan perusahaan dulu. Mungkin Oktober dan setelahnya baru normal. Dari artikel yang saya baca, banyak perusahaan tidak buka lapangan kerja seperti biasanya. Faktornya banyak sih, ekonomi global, politik saat ini juga jadi faktor.”
“Tapi ini bisa jadi peluang. Kita jadi terdorong untuk menciptakan suatu hal yang bisa bikin kita dapat pemasukan.”
Tidak menyesal kuliah S2
Saya menanyakan apakah ada penyesalan yang dialami Bunga karena mengambil S2 yang bikin dia overqualified, dan jadi susah dapat kerja. Bunga dengan tegas bilang tidak, dan bersyukur malah. Sebab, di MM UGM ini dia dapat ilmu yang amat membantunya sebagai entrepreneur, dan dosen serta sirkel yang ada mendukung dalam berbisnis.
Dia juga mendapat program immersion di MM UGM. singkatnya, Bunga jadi konsultan bisnis dan harus bisa menyelesaikan masalah dalam bisnis. Bagi Bunga, hal ini begitu berharga, dia jadi punya pandangan seperti apa dunia bisnis.
Maka dari itulah, Bunga berharap bahwa lulusan S2 harusnya diberi kesempatan dunia kerja, tidak lantas dianggap overqualified. Setiap orang, dengan background apa pun, selama mau belajar dan punya kapasitas mumpuni, ya harusnya diberikan kesempatan. Jangan takut pada lulusan S2 yang overqualified, jangan menganggap mereka bakal bikin ribet dan capek karena tidak sesuai dengan template. Bunga menegaskan bahwa anak S2 itu dididik untuk tidak menjadi template, jadi ya harusnya diberi kesempatan.
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin
BACA JUGA Biaya Kuliah Jurusan Hukum di Kampus Jogja, Ada yang Capai Ratusan Juta
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.