Lelah Miskin, Meniti Jalan Sufi, Malah Hidup Berkecukupan

Imam As'ad Lelah Miskin, Meniti Jalan Sufi dan Zikir, Malah Hidup Berkecukupan

Imam As'ad Lelah Miskin, Meniti Jalan Sufi, dan Zikir Malah Hidup Berkecukupan

Jika umumnya orang yang lelah hidup miskin akan bekerja lebih keras agar menjadi kaya, maka lain cerita dengan Imam As’ad (40). Justru karena cape hidup serba kekurangan, pria asal Desa Manggar, Kecamatan Sluke, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah itu memilih jalan sufi dengan banyak zikir yang justru memberinya hidup berkecukupan.

Imam As’ad meniti jalan sufi; mendalami tasawuf, menjadi ahli zikir, dan mengamalkan serangkaian bentuk tirakat. Setelah bergelut dalam laku hidup sufistik itulah kehidupan As’ad berangsur membaik dan serba kecukupan. Perubahaan yang kemudian membuat banyak orang di Desa Manggar bertanya-tanya, bagaimana As’ad yang sehari-hari terlihat tidak ngapa-ngapain, hanya sibuk beribadah, salat sunnah dan zikir, tapi seperti tidak pernah kehabisan aliran uang?

Terlihat dari betapa seringnya ia merenovasi rumah, beberapa kali gonta-ganti mobil, dan, ah pokoknya kekayaannya nggak nalar sama sekali lah. Di sebagian banyak masyarakat Desa Manggar sampai ada guyonan, kalau As’ad itu punya sumber uang di rumahnya. Ada juga yang menganggap—tentu dengan guyonan—kalau As’ad itu bisa mendatangkan uang dari langit.

Oleh karena hal tersebut, saya mencoba sowan ke kediaman As’ad di Dusun Ngelo, Desa Maggar untuk mengulik rahasia hidup Imam As’ad. Apalagi ini merupakan kasus yang cukup unik. Karena biasanya, yang namanya hidup di jalan sufi itu kan justru akan membuat seseorang hidup dalam kondisi penuh keprihatinan. Tapi dengan memilih jalan sufi, As’ad mengalami hal yang berbeda.

***

Agak sulit memang jika hendak bertamu ke rumah Imam As’ad. Pasalnya, hampir sepanjang 24 jam ia mesti khusyuk berzikir di kamarnya. Hanya sedikit saja waktu yang ia luangkan untuk sekadar berkumpul dengan anak-istrinya dan waktu untuk menerima tamu. Kalau sudah begitu, tidak akan ada yang berani mengganggunya sampai ia keluar kamar sendiri. Jadi mau nggak mau si tamu harus menunggu hingga ia selesai dengan ritualnya, selama apapun. Saya sendiri baru bisa bertemu dengan As’ad sekitar pukul 22.00 WIB setelah menunggu dari pukul 21.00 WIB.

Rokok yang masih panjang terpaksa harus saya lempar manakala As’ad dengan suaranya yang kalem mempersilakan saya untuk masuk. “Lungguh, lungguh. Gimana, ada perlu apa?” Ucapnya tanpa basa-basi. Di ruang tengah berkarpet merah yang tidak terlalu luas itu, As’ad kemudian membeberkan beberapa hal terkait pertanyaan yang saya ajukan.

Semula adalah tukang ojek pengkolan

Dengan pandangan mata yang terus tertuju ke bawah, As’ad bercerita bahwa dirinya sebenarnya bukan warga asli Desa Manggar, alias pendatang. Ia berasal dari Lamongan, Jawa Timur. Ia masuk dan kemudian menetap di Desa Manggar setelah pada tahun 1998 ia menikah dengan salah satu putri dari seorang kiai di Desa Manggar.

“Dulu kenal istri saya waktu kami masih sama-sama mondok di Lasem (salah satu kecamatan dengan pesantren terbanyak di Kabupaten Rembang,” tuturnya sambil mengulum senyum tipis.

Kendati menjadi menantu dari seorang kiai, tapi As’ad enggan memanfaatkan kesempatan tersebut. Ia dan istri lebih memilih jalan hidupnya sendiri. Di awal-awal pernikahannya tersebut ia dan istrinya memang agak pontang-panting. As’ad sempat mengundi nasib sebagai tukang ojek pengkolan dengan penghasilan yang per harinya paling banter hanya memperoleh Rp 30 ribu.

“Saya waktu masih ngojek itu sering diomongin orang-orang. Katanya, masa menantu kiai jadi tukang ojek? Ya nggak tahu pikirannya masyarakat kayak gimana. Tapi yang jelas, namanya berumah tangga, saya kan tetep harus nyari nafkah. Nah kebetulan yang saya bisa cuma jadi tukang ojek itu, Saya akui, saya ini nggak bisa kerja, nggak punya keterampilan ,” ujarnya setelah menyodorkan segelas air mineral untuk saya minum.

“Dari situ terus saya mulai mikir, gimana ya caranya bisa hidup kecukupan tapi nggak harus capek-capek atau bingung nyari kerjaan? Tapi yang jelas nggak lewat jalur syirik, nggak ngepet atau pesugihan gitu, to, yang terpenting. Yawis, kuncinya ya cuma satu, sumeleh, Jaluk nang Gusti Allah. Dan ternyata betul, to. Saya sekarang dicukupi sama Allah sendiri tanpa harus pontang-panting atau mobat-mabit sana-sini. Wong Allah sendiri yang bilang kok kalau Dia itu sebaik-baik pemberi rezeki. Jadi saya tagih saja,” imbuhnya kali ini dengan menatap saya sambil sedikit tertawa.

Mencari guru spiritual, belajar merayu Tuhan

Karena semakin hari kondisi perekonomiannya semakin tidak menentu, As’ad akhirnya memutuskan berhenti jadi tukang ojek. Bukan untuk mencari pekerjaan lain dengan tawaran upah lebih besar, ia malah bertekad mencari seorang guru spiritual.

“Ada teman lama, dia cerita ke saya kalau dia punya guru spiritual. Sejak ikut tirakat dan ngaji sama guru spiritual itu, katanya batinnya lebih terbuka. Dan lebih dari itu, hidupnya jadi lebih ayem, nggak terlalu pusing sama urusan-urusan duniawi. Saya tertarik, to, akhirnya saya diskusikan sama istri, minta waktu satu bulan untuk ketemu sama orang itu,” ungkapnya setelah beberapa saat sebelumnya mendiamkan putrinya yang agak rewel.

“Saya pulang ke Lamongan, ketemu guru spiritual ini. Terus saya dikasih trik bagaimana caranya merayu Gusti Allah. Naaahhh, ngeri, to? Kuliahmu apa juga diajarin kayak gitu, Mas? Lak mesti nggak kan,” ujarnya, kali ini dengan lebih santai, tidak sekaku sebelumnya.

Lebih lanjut, As’ad menjelaskan, untuk sampai ke titik “bisa merayu Allah”, tentu ada serangkaian proses tirakat yang panjang dan tidak gampang. Namun sedikit yang ia jelaskan kepada saya, bahwa semua itu tidak jauh-jauh dari pengamalan atas perintah-perintah Allah dalam Al-Qur’an yang didasari atas kepasrahan dan keyakinan bahwa semua urusan duniawi akan dibereskan oleh Allah Swt sendiri.

“Begini, di Al-Qur’an kan disebut, kalau manusia itu diciptakan buat ibadah. Secara harfiah ibadah itu ya yang ritual-ritual itu kan. Nah, ya kita matur saja sama Allah, ya Allah, gimana saya bisa fokus ibadah kalau pikiran saya saja masih terganggu dari urusan dunia. Maka dari itu, ya Jenengan (Allah) cukupi lah kebutuhan dunia saya. Gusti Allah pasti mikir, to, oh iya ya, biar ini hamba-Ku fokus ibadah, ya sudah tak cukupi kabeh kebutuhannya. Itu penjelasan gampangnya, ya. Kalau mau aslinya bisa praktik lewat meditasinya juga, tapi kamu kayaknya nggak kuat,” paparnya.

Secara lebih serius, As’ad lalu menguraikan beberapa teori bahwa Allah akan mencukupi orang-orang yang berserah dari kitab al-Hikam-nya Ibnu Athaillah.

“Intinya gini, Mas, orang itu nggak bisa mengandalkan usahanya sendiri. Nggak bisa bergantung juga sama orang lain. Lah bagaimana  bisa seseorang bergantung pada orang lain yang sudah pasti nggak bisa mencukupi hidupnya sendiri. Sebab, hanya Allah yang bisa mencukupi. Jadi satu-satunya cara agar hidup kita enak dan kecukupan itu ya mendekat ke Allah, ngerayu yang punya rezeki. Lak iya, to?” ucapnya panjang lebar.

Berserah diri pada Allah. Ilustrasi Photo by Imad Alassiry on Unsplash

“Kalau sudah dikasih, nanti jangan lupa syukur, terimakasih. Caranya terimakasih gimana? Ya makin giat ibadah. Kan kalau kita syukur, kata Al-Qur’an, rezeki kita bakal ditambah. Sebenarnya mutar-mutere tetep aja, Mas. Kita ibadah biar diberi kecukupan sama Allah. Setelah dicukupi kita syukur dengan jalan lebih giat ibadah lagi. Wong memang tujuan kita diciptakan ya buat itu (ibadah), kok,” sambungnya memberi penegasan.

Malam semakin larut, dan ternyata obrolan kami semakin cair. As’ad sendiri pelan-pelan mulai lebih antusias menceritakan perjalanan spiritualnya, memilih jalan sufi hingga menjadi sosok yang disegani seperti saat ini.

“Mau dibuatin kopi atau gimana, Mas, biar nggak ngantuk?” As’ad menawari., tapi karena saya sungkan kalau harus merepotkan, tawaran itu saya tolak secara harus. “Oh mboten, mboten, mpun air putih ini mawon,” jawab saya.

Lagi pula, lambung saya agak sensitif jika bersentuhan dengan kopi. Seumpama mau request minuman lain juga nggak enak kan, kayak tamu tidak tahu diri saja. Yang penting, di tengah obrolan kami selanjutnya saya mengantongi izin untuk merokok di hadapan As’ad. Karena sebelumnya hasrat untuk merokok saya tahan dulu, takut dikira tidak sopan jika merokok di hadapan seorang ahli zikir. “Rokok aja nggak apa-apa. Saya nggak mengharamkan kok ya,” ucapnya mempersilakan.

Hidup dengan filosofi kambing

Merasa cukup dengan ilmu dan amalan-amalan yang ia dalami dari sang guru spiritual, satu bulan kemudian As’ad kembali ke Desa Manggar. Amalan-amalan yang ia peroleh dari sang guru spiritual itu kemudian ia praktikkan sepanjang hari. Sedikit demi sedikit kehidupannya pun berubah seperti yang saya gambarkan pada pembukaan tulisan ini di atas. Secara ekonomoi ia terbilang sangat kecukupan. Padahal kerjaannya hanya sibuk berzikir dan bermeditasi di kamar.

Sebenarnya As’ad sendiri belakangan membuka toko sembako di sebelah rumahnya. Hanya saja, orang-orang tetap tidak bisa menalar. Pasalnya, nyaris tidak mungkin pemasukan dari toko bisa sebesar itu. Mengingat tokonya yang memang tidak terlalu ramai pembeli.

Maka alhasil, banyak orang juga yang beranggapan kalau toko itu hanya kamuflase; agar As’ad terlihat seperti orang-orang pada umumnya, yang mencari uang dengan jalan bekerja. Padahal sejatinya ia memperoleh uang dengan “cara lain”. Demikian kira-kira desas-desus yang coba saya konfirmasi kepada As’ad langsung.

“Lah terus bagaimana cara njenengan menjelaskan ke orang-orang soal dari mana, to, njenengan bisa dapat uang banyak gitu?” tanya saya mencoba mengulik lebih dalam.

“Kan sudah saya bilang, dari Allah, hahaha.”

“Maksudnya, cara Allah ngasih uang ke njenengan itu gimana? Di atap kamar njenengan ada semacam lubang yang tembus ke langit, misalnya,” kejar saya.

“Anu, Mas, Malaikat Mikail sendiri yang gaji saya tiap awal bulan, hehehe, nggak, nggak, guyon. Ya itu rahasia dapur to, Mas. Ada prosesnya, ada tirakatnya, Baliknya lagi-lagi ke situ. Ya kalau mau ngalamin sendiri monggo kalau mau belajar dan latihan,” jawabnya dengan tanpa melepas senyum dari bibirnya. Dan saya hanya tertawa kecil mendengar tawaran untuk belajar tersebut. Yah, saya tahu belaka, saya pasti tidak kuat dalam proses menjalani tirakatnya. Hla wong salat saja masih bolong-bolong, og.

Perbincangan kami sempat terhenti beberapa saat ketika ponsel milik As’ad berdering. Dengan geraknya yang halus ia merogoh ponsel yang terselip di saku kemejanya, sebelum akhirnya ia mengangkatnya dan memberitahu kepada si penelepon kalau ia sedang ada tamu. “Iya, nanti ke sini saja sama temen-temen yang lain. Sebentar lagi mereka ke sini kok. Ini aku ada tamu. Ke sini dulu juga nggak apa-apa,” ucapnya kepada si penelepon.

Tak lanjut, Mas?” tanya As’ad setelah ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku kemeja. Saya mengangguk dengan senang hati, lalu As’ad menjelaskan kepada saya tentang hidup dengan filosofi kambing.

“Hamba itu ibarat kambing, Mas. Kambing itu kan kalau lapar, terus mengembek minta ke majikannya, majikannya kan mesti langsung nyari pakannya, to. Nggak mungkin ada majikan membiarkan kambingnya kelaparan. Yang ada malah kalau kambingnya belum makan, si majikan bingung dan mesti bergegas buat ngasih makan,” jelas As’ad.

“Nah begitu juga seorang hamba. Kalau kita menghamba penuh kepada Allah sebagai majikan kita, Allah nggak bakal membiarkan kita kelaparan. Pasti dikasih makan kok kita ini, pasti dicukupi. Syaratnya ya itu, kita harus bener-bener pada posisi “mengambingkan diri” itu tadi. Bener-bener menyerahkan jiwa raga kepada Allah. Gampangnya, kita harus mengamalkan ayat inna salati wa nusuki dan seterusnya itu lah. Cuma ya memang, lagi-lagi, tirakatnya itu ada. Nggak sembarangan,” tambahnya.

Membentuk Halaqah Tanpo Asmo

Mula-mula, hanya satu/dua orang yang sering menghadap As’ad untuk berkonsultasi dan mencari solusi atas masalah hidup yang orang tersebut alami. Dan umumnya memang karena persoalan ekonomi. Itupun dari kawan-kawan As’ad sendiri. Namun, setelah orang-orang tersebut merasa hidupnya lebih ayem sehabis ikut berzikir dan bermeditasi bersama As’ad, akhirnya satu per satu masyarakat Desa Manggar berdatangan untuk menjadi “murid”-nya. Hingga kemudian terkumpul 10 orang yang rutin mengikuti majelis zikir yang diadakan oleh As’ad.

Imam As’ad menerima tamu di rumahnya.

Dari sinilah lalu As’ad dan 10 muridnya membentuk sebuah perkumpulan zikir yang diberi nama Halaqah Tanpo Asmo. Muridnya sendiri ada yang berprofesi sebagai petani, buruh, tukang ojek pengkolan, dan juga pekerja serabutan. Mereka membaiatkan diri sebagai murid Imam As’ad umumnya karena merasa hampir putus asa dengan kesulitan-kesulitan hidup yang mereka hadapi.

Keadaan ekonomi morat-marit, terlilit hutang sana-sini, selalu ditimpa sial, dan sejenisnya. Mereka menghadap As’ad untuk mendapat solusi dan memperoleh ketentraman batin, lebih-lebih kecukupan hidup sebagaimana yang pernah As’ad alami sendiri.

“Kenapa namanya Tanpo Asmo? Ya karena memang perkumpulan ini tidak bernama. Terus memang harapannya kelompok ini nggak mencari nama atau popularitas di tengah masyarakat. Pokoknya ngelatih orang-orang buat suwung dari apapun yang berkaitan dengan duniawi. Mengosongkan hati, tazkiyat al-nafs, biar diisi penuh oleh Allah Swt. Terus puncaknya, Tanpo Asmo itu adalah bentuk kesadaran bahwa tidak ada nama-nama lain yang patut dimintai pertolongan kecuali asma Allah Swt,” jelasnya.

Halaqah Tanpo Asmo mulai terbentuk sejak tahun 2010 dengan posisinya sebagai sebuah patembayan, yang memang berkonsentrasi pada kelompoknya sendiri. Halaqah Tanpo Asmo memiliki beberapa agenda rutin. Termasuk agenda utamanya adalah majelis zikir yang rutin dilaksanakan tiap malam Jumat, dari pukul 00.00 WIB-03.00 WIB. Di sana 10 muridnya tersebut akan diajak As’ad bermeditasi dan larut dalam zikir yang telah ia ajarkan.

“Malam Jumat itu termasuk malam mustajabah. Jadi harapannya, kalau mengadu kepada Allah lewat zikir dan doa-doa itu nanti semua urusan hidup digampangkan oleh Allah Swt,” tutur As’ad ketika saya tanya mengenai alasan kenapa memilih malam Jumat untuk melangsungkan majelis zikir tersebut.

“Ada beberapa doa dan zikir. Tapi yang paling wajib diamalkan temen-temen (10 murid As’ad) itu zikir nafas. Hanya melafalkan asma Allah, “Huu, Allah”, dalam satu tarikan dan hembusan nafas. Ini adalah upaya untuk manunggal kepada Allah, pasrah total. Kalau dilakukan dengan khusyuk, nanti pasti plong. Nggak ada yang mengisi hatimu keculai Allah,” sambungnya.

“Tapi sebenernya orang-orang itu saya apusi, og. Dalam artian gini, Mas, saya kan nggak ngasih jaminan kalau setelah ikut zikir saya mereka bakal jadi kecukupan secara materiil. Tapi paling nggak kan ngerasa cukup gitu dengan apa yang dimiliki. Ngerasa cukup itu kan ada di pikiran dan hati. Jadi sebenarnya mereka ini cuma saya latih untuk neriman dan syukur saja,” tegasnya.

Karena memang jika diamati, murid-murid As’ad ini tidak mengalami perubahan signifikan dalam asepek perekonomiannya. Hanya satu/dua orang saja yang memang tampak berubah drastis. Misalnya, Nurul Yaqin (30), yang semula pengangguran kemudian menjadi pebisnis air galon yang sangat laris di Desa Manggar. Atau Turdi (43), tukang kayu yang paling dicari di Desa Manggar. Namun, beberapa yang lain secara perekonomian sebenarnya masih bisa dibilang pas-pasan.

Hanya saja mereka merasa cukup saja dengan penghasilan pas-pasan tersebut, seperti yang diungkapkan oleh M. Anwar (43). “Uang ya segitu-segitu aja. Kalau dinalar sama sekali nggak cukup. Tapi nyatanya bisa buat makan sehari-hari, bisa ngasih anak uang jajan,” akunya kepada saya beberapa saat setelah perbincangan saya dengan As’ad usai.

Malam itu, sekira pukul 23.30 WIB terdengar tiga motor berhenti di pelataran As’ad. Setelah memastikan keluar, As’ad kemudian menyudahi perbincangan kami. “Coba tanya langsung ke mereka, alasan kenapa kok ikut zikir saya, terus efeknya gimana. Saya mau ambil wudu dulu siap-siap zikiran,” ucapnya kepada saya.

Beberapa saat kemudian As’ad masuk ke dalam dan saya keluar ke teras rumah As’ad untuk berbincang dengan tiga orang yang sudah duduk-duduk santai di sana, yakni Nurul Yaqin, Turdi, dan M Anwar.

Tidak banyak yang bisa saya ulik dari mereka bertiga. Karena tidak lama kemudian, berbondong-bondong murid Imam As’ad yang lain berdatangan. Dan saya baru sadar kalau malam itu adalah malam Jumat, malam zikiran bagi temen-temen Halaqah Tanpo Asmo. Mendekati pukul 00.00 WIB, semua tengah bersiap, saling bersila di teras rumah As’ad.

“Kalau mau ikut sekalian, monggo loh, Mas,” ajak As’ad sewaktu ia keluar dari dalam rumahnya. Sehalus mungkin saya menolaknya dan izin berpamitan. Ia kemudian mempersilakan saya pulang. Baru beberapa langkah saya menjauh dari teras rumah As’ad, setiba saya di tempat saya memarkir motor, tampak As’ad dan 10 muridnya sudah hanyut dalam meditasinya masing-masing dengan lampu teras yang dimatikan.

BACA JUGA Kiai Nyentrik dari Madura dan liputan menarik SUSUL lainnya.

 

Exit mobile version