Laki-laki yang awalnya berantakan berhasil menata hidupnya menjadi lebih baik karena peran seorang perempuan yang menyukainya. Perempuan itu, pada akhirnya justru mengalami kekerasan secara fisik maupun mental yang menyebabkannya trauma dan sempat dirawat di rumah sakit jiwa.
***
Ia Mara*, perempuan 27 tahun yang tidak begitu saya kenal. Suatu malam di penghujung Agustus, secara mengejutkan ia menghubungiku melalui DM Instagram, memintaku untuk mendengar ceritanya. Malam 30 Agustus 2021 itu ia mengabarkan tentang trauma psikologis yang ia alami, kegilaan yang tengah coba ia sembuhkan, dan tentang lelaki di masa lalunya yang menyebabkan semua itu.
“Aku ingin ceritaku didengar dan kalau bisa dituliskan. Entah cukup menarik atau tidak. Yang jelas, mungkin aku akan merasa lebih baik setelah menceritakan semuanya kepada seseorang,” terangnya melalui obrolan singkat kami melalui DM Instagram. Ya, ia memang mengetahui aktivitasku menulis dan beberapa kali membaca tulisanku.
Sayangnya kami tidak dapat bertemu secara langsung lantaran aku berada di Jogja sementara ia berada di kota berjuluk Kaki Gunung. Jogja, sekalipun menjadi kota Mara tinggal beberapa waktu, adalah kota yang menghadirkan trauma baginya, sehingga tak mau lagi ia untuk singgah.
Pertemuan kami lakukan melalui Video Call WhatsApp pada malam tanggal 31 Agustus 2021, dan aku memilih untuk menyinggahi kedai Kopi Nuri yang berlokasi di daerah Condongcatur sebagai tempat melakukan obrolan dengan Mara.
Suasana lumayan riuh waktu itu oleh obrolan-obrolan dari para pengunjung, pun seorang musisi tengah tampil di panggung kecil menyanyikan lagu-lagu Chrisye. Meski begitu aku cukup jelas mendengar suara Mara, pun ia juga jelas mendengar suaraku.
Ia sangat antusias begitu kami tersambung. Memanggil namaku sambil melambaikan tangan dan memaksakan senyuman lebar. Satu yang saya tahu malam itu, ia memalsukan keceriaannya, jelas terlihat dari matanya yang sembap dan wajahnya yang lusuh.
“Aku sudah tidak di Jogja, dan tidak pernah ingin ke sana lagi.” Ia mengungkapkan itu setelah basa-basi singkat yang kami lakukan.
“Kamu tahu? Aku gila. Benar-benar gila dalam arti sesungguhnya, dan saat ini sedang dalam proses perawatan di rumah sakit jiwa,” Senyuman memaksa itu masih ia pertahankan.
Ketika saya ingin mengetahui apa yang terjadi dengannya, ia mengajakku mengenal seorang lelaki bernama Kelana* (29). Pada malam di penghujung Agustus tersebut, Mara membawaku memutar waktu ke kehidupannya di masa lalu. Ia bercerita tentang dirinya, Kelana, dan segala hal yang menjadi kacau di antara mereka, sementara saya mendengarnya tanpa menyela dengan banyak pertanyaan.
Tentang kelana, lelaki dengan hidup yang selalu bermasalah
Kelana adalah lelaki yang sangat bermasalah dalam segala hal. Ia berasal dari keluarga yang tidak baik-baik saja, menjadi pembangkang, memiliki pemikiran yang begitu radikal, pun nyaris tak memiliki teman. Ia begitu kurus, pendek, dan memiliki wajah yang penuh jerawat. Kondisi keuangannya sangat memprihatinkan, setidaknya begitulah kondisi Kelana ketika Mara mengenalnya pertama kali pada awal 2019.
Hanya saja, yang membuat Mara kagum dengan Kelana adalah betapa pekerja keras lelaki itu. Kelana menguasai betul pekerjaannya, pun mendapat gaji yang terbilang besar untuk ukuran hidup di Jogja. Hanya saja, entah bagaimana dengan gaji yang lumayan itu, Kelana tak pernah bisa mengatur keuangannya dan selalu merasa kurang.
“Waktu aku mengenalnya dulu, keuangannya sangat berantakan. Kendaraannya hanya Honda Beat tahun lama yang sangat jelek. Itu ia beli bekas dan secara kredit. Speedometernya mati, bodinya kusam, dan plat nomornya selalu kendor dan seolah bisa copot kapan saja saat dikendarai,” kenang Mara tentang Kelana di pertemuan awal mereka.
Mara masih tinggal di Kota Kaki Gunung kala itu, dan perkenalannya dengan Kelana diperantarai oleh teman Mara yang kebetulan adalah teman kuliah Kelana.
“Kelana pada masa itu begitu manis dan lucu. Ia selalu menelepon hampir setiap saat hanya untuk mengabari hal-hal tidak penting. Ia juga mengklaim aku pacarnya meski kami belum pernah bertemu. Setelah beberapa waktu, akhirnya aku mau saja diklaim sebagai pacarnya.”
Kelana berulangkali meminta Mara untuk datang ke Jogja, dan demi kekasihnya tersebut, Mara rela menempuh perjalanan seorang diri untuk menemui Kelana. Pertemuan pertama yang tidak terlalu berkesan, dengan kekasihnya yang baru kali itu ia temui secara langsung.
“Kami menyusuri Jogja dengan Honda Beat bututnya yang sewaktu-waktu bisa kehabisan bensin karena indikator bensinnya mati. Suatu ketika, malahan plat nomornya yang tak pernah terpasang kencang itu benar-benar lepas saat melintasi jalanan sangat ramai, dan aku tidak malu sama sekali.”
Mara mengenang, Kelana kerap menceritakan masalahnya. Betapa ia membenci keluarganya yang teramat kolot terhadap banyak hal. Tentang hidupnya yang serba berantakan. Tentang ia yang tidak memiliki teman. Juga tentang kehidupan asmara yang selalu kacau balau.
“Ia menceritakanku tentang kesalahannya di masa lalu. Ia pernah menjalin hubungan dengan perempuan yang begitu tulus mencintainya, menemani dari awal sejak Kelana masih menjadi mahasiswa cupu anti sosial. Sampai akhirnya mereka berpisah ketika Kelana tengah mencapai kejayaannya karena suatu kesempatan. Setelah itu, Kelana berhubungan dengan perempuan yang jauh lebih cantik meski ia tahu perempuan itu hanya memanfaatkannya.”
Mara mengatakan, Kelana tahu persis bahwa ia dimanfaatkan secara ekonomi. Tetapi pada periode itu, Kelana merasa menjadi lelaki paling kaya di dunia, sehingga tak masalah sekalipun ia hanya dimanfaatkan.
“Kelana selalu memandang segala sesuatu sebagai timbal balik. Ia memiliki materi, dan sebagai timbal balik, perempuannya memberikan kasih sayang. Ia tahu tidak ada ketulusan dari hubungan tersebut. Sampai akhirnya, hubungan mereka kandas. Tak lama setelah itu, Kelana mencapai periode kelamnya, di mana semua yang ia kerjakan berantakan. Dan jadilah ia Kelana yang aku kenal pertama kali.”
Kelana, menurut Mara, adalah lelaki yang selalu merasa sebagai korban atas segala sesuatu. Ia memiliki hasrat membalas dendam terhadap segalanya. Ia merasa berhak mendapatkan segala sesuatu yang ia inginkan karena telah berperan sebagai korban di sepanjang hidupnya.
“Aku tahu, ia adalah lelaki yang sangat bermasalah. Justru itu, aku merasa harus membantunya. Aku ingin memberinya ketenangan. Aku ingin, meski hanya sedikit, menata hidupnya yang serba berantakan itu.”
Begitulah yang terjadi. Mara menjelma kekasih yang membenahi kehidupan Kelana. Ia membantunya mengatur keuangan sehingga Kelana mulai bisa menabung. “Waktu itu aku bilang, ia harus menabung agar bisa membeli mobil dan tidak seterusnya naik Beat butut itu. Bukan berarti aku malu, tetapi kalau bisa membeli mobil, bukankah itu pencapaian luar biasa untuk orang yang selalu bermasalah pada keuangannya?” tutur Mara, mengenang masa perjuangannya memperbaiki kehidupan Kelana.
“Semua itu aku lakukan meski kami menjalin hubungan jarak jauh. Aku belum tinggal di Jogja waktu itu, tetapi aku merasa sedikit demi sedikit, Kelana menjadi lebih baik.”
Seiring berjalannya waktu, kondisi keuangan Kelana membaik dengan bantuan Mara. Kelana akhirnya bisa membeli mobil LCGC meski dengan sistem kredit. Pun bisa memiliki tabungan yang lumayan dan selalu bertambah setiap bulannya.
Semuanya tampak sempurna di kehidupan mereka, terlebih ketika Mara akhirnya pindah ke Jogja dan bekerja di sebuah firma hukum. Mereka, Mara dan Kelana, menjadi pasangan yang sangat bahagia dan tampak bisa mengatasi segalanya.
Kelana bisa menjadi lelaki yang sangat menyenangkan jika pemikirannya sedang tidak meledak-ledak. Ia memiliki wawasan yang luas dan bisa membahas banyak hal. Pun bisa menjadi lucu pada beberapa waktu. Hanya saja, menurut Mara, ketika isi kepalanya yang lain sedang berkuasa, Kelana menjadi sangat menyebalkan.
Ia adalah orang yang sangat anti sosial. Ia begitu canggung terhadap siapa pun. Bahkan ketika Mara mengajak Kelana ke kampung halamannya untuk dikenalkan ke keluarganya, Kelana hanya diam di luar rumah dan merasa sangat tidak nyaman. Ketika masuk rumah dan duduk bersama keluarga Mara, Kelana hanya akan diam dengan memasang wajah yang tidak menyenangkan.
Mara yang menerima dan memaafkan kekerasan yang dialaminya
Menurut Mara, Kelana punya pemikiran tidak ingin menikah. “Awalnya aku terkejut dengan prinsip itu. Maksudku, untuk apa ia menjalin hubungan denganku jika tidak ingin menikah? Meski begitu, lambat laun aku mencoba untuk menerima prinsip itu. Suatu ketika, ia mengatakan bahwa mungkin ingin menikah, tapi tak ingin memiliki anak,” ujar Mara.
Kelana adalah maniak seks. Mara selalu diminta untuk memenuhi hasrat seksualnya setiap kali bertemu. “Setiap kali ke Jogja, kami menginap di penginapan, aku harus memenuhi hasrat seksnya.”
Mara mengenang waktu demi waktu ketika ia harus menempuh perjalanan panjang dari kotanya ke Jogja demi menemui Kelana selama beberapa hari dan setiap malam harus mau berhubungan seks dengan kekasihnya tersebut.
“Bayangkan. Aku harus seorang diri naik bus ke Jogja, menemaninya sepanjang hari, melayani hasrat seksnya yang luar biasa besar, dan bersamaan dengan itu, aku masih harus menerima cara pikirnya yang pada akhirnya ia paksakan kepadaku juga.”
Kelana adalah seorang yang tidak percaya Tuhan, sementara Mara berasal dari keluarga yang sangat taat beragama. Sebelum mengenal Kelana, Mara adalah perempuan yang selalu memakai jilbab. “Ia memaksaku melepas jilbab. Aku lakukan. Ia memintaku berhenti sholat, pun pada akhirnya aku lakukan. Ya, aku mengikuti ateisme lelaki itu.”
Dan apa yang lebih buruk daripada terpaksa dan dengan sadar mengingkari iman seseorang? Begitulah kurang lebih yang Mara sampaikan kala itu.
“Ia adalah orang yang keinginannya tidak mau dihalangi. Ia merasa sebagai korban atas segala sesuatu, lantas ketika ia merasa bisa melakukan sesuatu, maka ia menganggap bahwa ia memang berhak mendapatkannya. Termasuk memaksa orang lain untuk menerima pemikirannya, pun memaksaku untuk menjadi seperti dirinya.”
Lebih lanjut, Mara mengatakan bahwa apabila ia mencoba menolak apa yang Kelana inginkan, lelaki itu akan menjelma bak iblis yang bisa sesuka hati melakukan kekerasan.
“Jika aku menolak apa yang ia mau, segala bentuk caci maki akan ia lemparkan kepadaku. Semua barang yang ada di sekitarnya akan dibanting. Bahkan, aku pernah hampir ia bunuh pada suatu malam karena menolak keinginannya. Ia mencekik leherku sampai aku tidak tahu akan selamat dari malam itu atau tidak.”
Saya ingin menanyakan lebih jauh mengenai malam yang diceritakan Mara, tetapi ketika ia mendadak terdiam begitu meyelesaikan kalimatnya. Ia menahan tangis selama beberapa saat, sementara saya hanya memandanginya dan menunggu. Ia seperti enggan mengingat kembali peristiwa yang membuatnya trauma.
“Malam itu terjadi setelah aku pindah ke Jogja.” Suaranya bergetar ketika mengenang kembali memori itu.
“Aku sudah magang di sebuah firma hukum. Bulan puasa waktu itu, ketika aku sangat sibuk mengurus pengadilan di Purworejo. Aku pulang larut malam. Kelana datang ke kos-kosanku, dan ia memintaku melayani nafsu seksnya.”
Ada jeda beberapa saat sebelum akhirnya Mara berani melanjutkan. “Aku tidak mau melayaninya dengan dua alasan. Pertama, aku masih sangat lelah. Kedua, itu adalah bulan puasa.”
Kelana tak mau menerima kedua alasan itu. Alasan pertama ia tolak karena merasa memiliki hak atas tubuh Mara, terlebih karena hampir semua kebutuhan Mara di Jogja memang ia yang memenuhinya. Ia yang merasa sudah memberi sesuatu, harus bisa mendapatkan apa pun yang ia kehendaki. Alasan kedua jelas ia tolak karena tak ada konsep bulan suci baginya.
“Ia selalu mengatakan kepada semua temannya bahwa ia membiayai semua kebutuhanku. Memang tidak sepenuhnya salah, tetapi aku tidak pernah meminta ia melakukannya. Di satu sisi, ia mencoba menjadi malaikat penolong yang merasa harus mengurusiku. Ia merasa butuh membantuku. Di sisi lain, ia merasa berhak meminta aku siap melayani hasrat seksualnya.”
Ada jeda beberapa saat sebelum Mara melanjutkan. “Ia selalu menganggap itu perkara sepele. Ia sudah memberi banyak hal dan hanya memintaku melayani hasrat seksualnya. Ia menimbang bahwa jasanya lebih besar.”
Untuk perkara alasan kedua, Mara memilih untuk tidak banyak menjelaskan. “Ia ateis,” terangnya. “Padahal, setiap uang yang ia berikan kepadaku per bulannya, itu aku sedekahkan ke masjid. Ia tidak mengetahuinya. Ia tidak peduli dengan konsep sedekah karena dibutakan oleh ateismenya itu. Yang tidak ia sadari, dengan uangnya yang aku sedekahkan itu, membuat kondisi keuangannya semakin baik.”
Saya paham Mara mencoba sedikit menyimpang dari apa yang ingin ia bahas. Saya paham bahwa ia tidak sekadar melupakannya, tetapi lebih kepada menghindar beberapa saat untuk menemukan keberanian. Ketika keberanian itu muncul, ia menceritakan bagaimana Kelana yang manipulatif menyiksanya secara mental dan fisik hingga membuatnya trauma.
“Semua barangku dilempar. Ia memaki dengan semua umpatan yang ada di kepalanya. Merasa tak puas, ia mulai mendorongku dan mencekik leherku.” Ia kembali terdiam.
Aku tak ingin memaksanya menceritakan lebih jauh jika itu bisa membuatnya kembali trauma. Kualihkan pembicaraan tentang bagaimana pekerjaan Mara di firma hukum, apakah ia menikmati pekerjaannya atau tidak.
“Aku sangat bahagia di kantor.” Ia mendadak berseri kala itu.
“Aku selalu tertawa. Aku mengerjakan semuanya tanpa beban. Rekan-rekan kerjaku juga sangat menyenangkan. Tetapi…” kembali pudar rona di wajahnya. “… mereka, rekan-rekan kerjaku, tahu bahwa aku sangat menderita. Ya, aku benar-benar bahagia saat tertawa. Aku tidak memalsukannya. Itu bukan jenis tawa yang aku buat untuk menutupi penderitaanku. Entah bagaimana menjelaskannya. Aku senang dan sangat ceria, tetapi juga menderita.”
Seiring waktu, rekan-rekan kerja Mara menjadi semakin prihatin dengan kondisinya. Mereka berulang-kali meminta Mara menyudahi hubungan dengan Kelana, tetapi Mara tetap saja mencoba bertahan dengan alasan sederhana.
“Kalau ia sudah meminta maaf sambil menangis, aku pasti merasa kasihan dan memaafkan.” Ya, Mara mengatakan bahwa Kelana memiliki jurus ampuh untuk meminta maaf dengan cara menangis sejadi-jadinya.
“Kelana pernah menganggap aku malu mengakuinya sebagai pasangan suatu ketika. Itu terjadi ketika kami sedang berada di salah satu tempat makan, dan tiba-tiba aku memintanya pergi sebentar karena rekan-rekan kerjaku ingin datang.”
Dari sudut pandang Kelana, ia merasa diusir dan tidak diakui, dan hal itu selalu diungkit-ungkit setiap kali mereka berdebat setelahnya. “Padahal yang aku lakukan itu untuk keselamatannya sendiri,” terang Mara.
“Rekan-rekan kerjaku sudah sangat benci dengan Kelana dan bisa menghajarnya kapan saja. Mereka menyusulku, untuk memastikan apakah aku masih bersama Kelana atau tidak. Aku meminta Kelana untuk pergi sebentar itu agar ia tidak dihajar rekan-rekan kerjaku. Tapi aku tidak pernah bisa mengatakan itu kepadanya, karena itu akan semakin membuatnya merasa sebagai korban. Dan kalau ia sudah merasa begitu, kondisinya akan semakin menjadi-jadi.”
Akan tetapi, Mara masih menganggap segalanya bisa diperbaiki. Ia masih mau menemani Kelana sekalipun menerima tekanan mental dan kekerasan fisik berulang kali. Ia merasa bisa mengubah Kelana menjadi lebih baik suatu saat nanti. Akan tetapi, semuanya hancur ketika pada suatu malam Kelana datang ke kos-kosannya dan menyampaikan pengakuan besar.
Pengakuan yang membuat Mara hampir gila
“Aku sudah melayani nafsu seksnya sejak dari awal hubungan kami. Aku mencoba sebisaku melayaninya meski tidak ada kenikmatan yang kurasakan sama sekali,” ujar Mara.
Ia menegaskan, Kelana terlalu menganggap segala sesuatu adalah timbal balik, dan karena sudah merasa memenuhi kebutuhan hidup Mara, Kelana berhak bercinta dengannya. Tidak ada romantisme yang terjalin. “Aku sudah berusaha sebisaku untuk membuatnya puas, dan selama ini semuanya baik-baik saja, sampai ketika malam itu datang.”
Kelana tiba di kos-kosan Mara dan tampak mencoba mencari keberanian mengatakan sesuatu, sampai akhirnya kalimat itu keluar dari bibirnya. “Selama ini aku sering menyewa pelacur.” Itulah yang ia sampaikan, seperti yang Mara tuturkan.
“Aku histeris malam itu. Aku berteriak sejadi-jadinya. Bayangkan saja, setelah semua usahaku memuaskannya selama ini, tiba-tiba ia datang dan mengatakan sering menyewa pelacur. Tidak ada perasaan yang lebih hancur daripada perasaan kecewa malam itu.”
Mara, dengan kekalutannya, memutuskan untuk pergi meninggalkan Jogja malam itu juga. Dan dengan sisa-sisa kepeduliannya, Kelana mengantar Mara menggunakan mobilnya. “Kupikir kami akan selesai malam itu juga, tetapi ternyata tidak. Dua minggu kemudian, ia mencariku. Memohon-mohon dengan begitu tulus. Dan akhirnya aku luluh. Aku mau ia jemput untuk kembali lagi ke Jogja. Meski kebencian dan kekecewaanku masih ada, tetapi aku mencoba untuk memperbaiki segalanya dengan Kelana.”
Sampai akhirnya, di tengah perjalanan menuju Jogja, saat seharusnya semua berjalan baik-baik saja, Kelana kembali menyampaikan pengakuannya. “Aku kembali tersiksa oleh pengakuannya.”
Mara mengatakan, dua minggu yang lalu setelah Kelana mengantar pulang ke kotanya, Kelana mendatangi seseorang yang pernah ia sukai jauh di masa lalu. Seseorang yang pernah menjadi teman. Seseorang yang akhirnya kembali dekat setelah Kelana hampir memiliki segala yang ia inginkan. Namanya Sasi*, perempuan beranak satu yang Kelana tiduri malam setelah ia mengantar Mara meninggalkan Jogja.
“Aku kembali histeris di mobil. Aku minta dipulangkan saat itu juga, tetapi Kelana tidak mau. Ia mencoba meyakinkanku bahwa niat untuk memutuskan Sasi sudah ada, hanya saja belum sempat dikatakan.” Ya, Kelana langsung menjalin hubungan dengan Sasi begitu Mara pulang ke kotanya dua minggu lalu.
Mara lantas menceritakan perihal Sasi. Ia masih memiliki suami ketika mengenal Kelana pada tahun 2017 silam. Suaminya bekerja di pulau asalnya bersama keluarga besar dan anak mereka, sementara Sasi menempuh pendidikan tinggi di Jogja. Ia bak bintang yang sangat menawan dan bisa membuat banyak lelaki jatuh hati dan rela mengejarnya, terlebih ketika akhirnya ia bercerai dengan suaminya.
Kelana di masa lalu, yang belum memiliki apa-apa, sempat menyukai Sasi, namun entah Kelana yang tidak mengatakan atau Sasi yang tidak menyukai Kelana, mereka tidak pernah bersama. Ia baru muncul ketika Mara mulai membantu Kelana menata keuangan dan bisa membeli banyak hal.
Menurut Mara, ia sempat berteman dengan Sasi. Mereka menjadi dekat dan kerap berbagi obrolan melalui chat. Pun ketika, Sasi, Kelana, dan seorang teman lainnya berwisata ke Kota Kaki Gunung, Mara menyambut mereka semua di rumahnya dengan sangat hangat.
Sasi, terutama, diperlakukan seperti ratu oleh Mara dan keluarganya. Diberi kamar terbaik. Dibuatkan masakan paling enak. Disuguhi keramahan yang luar biasa. Tetapi Sasi justru membalas semua itu dengan mau menjadi selingkuhan Kelana.
“Yang aku heran, kenapa saat dulu Kelana hancur dan tidak memiliki siapa-siapa, kenapa Sasi tidak menemaninya? Kenapa baru sekarang setelah Kelana hampir memiliki segalanya?”
Mara lantas mengajakku kembali ke momen pengakuan Kelana. Pada akhirnya ia berhasil luluh setelah Kelana menangis sambil meminta maaf sepanjang perjalanan menuju Jogja. Ya, ia tidak memaksa untuk dipulangkan dan mau diajak ke Jogja.
“Kami pergi jalan-jalan sesampainya di Jogja. Berfoto bersama beberapa kali dan tampak seperti pasangan normal lainnya. Di perjalanan, aku mengunggah foto kebersamaan kami di Instastory, dan entah bagaimana Kelana begitu marah mengetahuinya.”
Ternyata Sasi melihat instastory yang diunggah Mara dan langsung melabrak Kelana. Mencaci lelaki itu kenapa masih berhubungan dengan Mara. Akibat dari amukan Sasi, Kelana melampiaskan kekesalannya kepada Mara. “Ia memaki-maki seperti biasa. Ia bilang, aku tidak bisa menjaga rahasia. Maksudku, kenapa juga harus menjaga rahasia kalau ia memang serius ingin memperbaiki segalanya?”
Amukan Kelana yang entah sudah berapa kali itu, pada akhirnya membuat Mara kembali membulatkan tekadnya. Ia yang hancur begitu Kelana pergi meninggalkannya sebelum sampai di kos-kosannya, memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengan Kelana.
“Aku pulang sendiri ke kos malam-malam. Dan beberapa hari kemudian, aku langsung memutuskan pergi dari Jogja tanpa membawa barang-barangku. Bahkan Kelana tidak pernah tahu kalau aku sudah kembali ke rumahku.”
Begitu meninggalkan Jogja, segala emosi yang berkecamuk di diri Mara membuat depresinya semakin parah. “Aku sampai ke titik paling rendah. Sangat parah sampai aku harus masuk rumah sakit jiwa. Aku belum sembuh sampai saat ini dan belum bisa melakukan banyak hal.”
Saya tidak ingin membuatnya bercerita lebih jauh tentang kondisi kejiwaannya, khawatir jika justru segalanya menjadi lebih buruk. Alih-alih, saya justru membahas tentang apa yang mungkin telah ia rencanakan untuk masa depannya.
“Setelah pemulihanku selesai dan kondisiku lebih baik, aku akan membuka kantor notaris di rumah. Doakan semuanya lancar, ya.” Ia meminta dengan sangat.
Lantas setelah obrolan singkat tentang rencana masa depannya, ia mengajukan permintaan lain. “Aku minta tolong, kalau kamu memang menuliskan ceritaku, tolong ditayangkan setelah tanggal 15 September ya. Aku ingin benar-benar menghilang dari kehidupan di Jogja itu, dan setelah tanggal 15 baru benar-benar bisa.”
Ya, pasti akan kuturuti permintaannya. Tentu akan kutulis ceritanya, dan untuk urusan kapan tulisanku tayang, itu semua bisa diatur.
Yuni Hermawaty, S.Psi., M.Psi., psikolog dari RSJ. dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, Kabupaten Malang mengatakan bahwa kondisi Mara memang mengarah ke depresi berat. “Benar, ia mengalami trauma dan mengarah ke depresi berat,” katanya.
Beliau juga menegaskan bahwa banyak kasus kekerasan dalam hubungan asmara banyak mengakibatkan seseoranh trauma, mengalami depresi.
“Jika mengalami depresi berat, ia bisa sewaktu-waktu panik karena melihat peristiwa yang membuatnya trauma.”
Lebih lanjut, beliau menegaskan bahwa kekerasan dalam pacaran yang menyasar psikologis atau mental dapat membuat seseorang depresi, karena kondisi pertahanan mental seseorang berbeda-beda. Ada yang kuat, dan ada yang lemah. Ada yang disinggung sedikit saja bisa langsung depresi. Ada juga yang bisa mengatasi diri meski menerima kekerasan mental yang sangat luar biasa.
“Jika kekerasan mentalnya terlalu kuat, dan pertahanan seseorang lemah, maka dampaknya akan sangat dahsyat. Ibarat luka yang sangat dalam di bagian tubuh paling lemah.” Beliau melanjutkan kondisi depresi itu bisa berpengaruh ke kondisi fisik juga. Seperti gangguan lambung, gangguan jantung, gangguan menstruasi, dan lain-lain.
“Maka dari itu, jika kondisinya sudah depresi berat, butuh penanganan psikiater dan pemberian obat. Setelah itu dibutuhkan terapi oleh psikolog. Dan proses penyembuhan orang bisa sangat berbeda. Kalau respon baik, maka akan cepat pulihnya. Maka dari itu, sudah benar jika ia ditangani oleh profesional di RSJ.”
*Nama narasumber disamarkan guna menjaga privasi.
BACA JUGA Hikayat Juragan Es Teler Kuburan Panaikang dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.