Sebuah warung padang sederhana di Padukuhan Samirono dekat UNY jadi saksi sulitnya hidup anak kos Jogja. Pemilik warung mengaku tak sampai hati jika melihat mereka kesulitan makan.
***
Kisah tentang warung padang itu justru saya dapat dari Ibra Muhammad Ijal, pemilik akun YouTube Jejak Bang Ibra yang dulu memang sempat jadi mahasiswa UNY. Ibra, sapaan akrabnya pernah lama kos di daerah Samirono.
Selama tinggal di sana, warung padang itu jadi langganannya. “Langganan di sana sampai sering utang,” kelakarnya.
Sebelum jadi YouTuber, Ibra, tinggal di sebuah kos sederhana. Melewati fase kehidupan seperti roller coaster. Warung itu jadi tempat ia bisa makan ketika keuangannya sedang tersendat.
Kebetulan, saya juga sempat ngekos di daerah itu pada medio 2019-2020 silam. Sesekali, memang pernah makan di warung tersebut. Masakannya nikmat dan harganya terjangkau. Namun, tidak sadar bahwa banyak cerita di warung tersebut.
Belakangan baru saya ketahui penjual warung padang yang dulu dinamai Ranah Minang itu telah pindah. Warungnya masih ada, namun pengelolaannya telah berpindah ke saudara. Informasi kepindahan itu saya dapat dari anak pemilik warung tersebut.
Awal kisah perantau dari Sumatera Barat merintis warung padang
Pemiliknya dulu bernama Hayati (49). Kini ia telah pindah mengelola beberapa warung padang di Kalasan Sleman.
“Dulu yang di Samirono itu tempatnya kami menyewa. Lalu saudara yang melanjutkan sewanya sejak 2023 lalu. Saya pindah ke Kalasan,” ungkap Hayati yang saya temui pada Rabu (26/6/2024) sore.
Setelah menikah, Hayati yang berasal dari Bukittinggi merantau ke Jogja bersama suaminya. Mereka merintis kehidupan di Jogja sejak 1997.
Mulanya, mereka tidak langsung membuka warung padang di dekat area kos mahasiswa UNY. Usaha pertama yang dirintis adalah berdagang kacamata dan akseseoris di lapak kaki lima sekitar Jalan Solo.
Bisnis itu berjalan mulus pada tiga tahun pertama. Namun, pada 2002 omzetnya mulai menurun. Akhirnya, Hayati berinisiatif untuk belajar meracik masakan padang kepada kakaknya yang kebetulan sudah lebih dahulu nyemplung di bisnis warung padang di Jogja.
Pada tahun yang sama, akhirnya mereka memutuskan ganti bisnis. Menjual masakan padang kaki lima. Lokasinya masih di Jalan Solo.
“Bapak yang jaga lapak, kalau saya yang masak di rumah,” kenangnya.
Meski kaki lima, ternyata pendapatan dari usaha itu cukup untuk menghidupi hidup ketiga anak mereka. Bahkan, perlahan mulai bisa menabung. Sampai akhirnya, mereka pindah kontrakan di Samirono sekaligus membuka kios warung padang.
“Dagangan yang di Jalan Solo juga akhirnya tutup karena ada pelebaran jalan,” ungkapnya.
Mulai banyak berinteraksi dengan mahasiswa UNY dan kampus lain
Saat mulai membuka kios di rumah kontrakan itulah, Hayati mulai banyak kedatangan pelanggan mahasiswa. Samirono merupakan padukuhan padat yang banyak ditinggali mahasiswa UNY dan berbagai kampus lain di Jogja. Bahkan di kawasan itu ada beberapa asrama untuk para mahasiswa dari luar Jawa.
Hayati, sekilas tak tampak seperti orang yang banyak bicara. Namun, ia mengaku suka mendengarkan cerita orang lain. Khususnya para pelanggannya.
Salah satu pelanggan setinya adalah Ibra tadi, lelaki asal Ternate yang memang suka sekali bercerita. Hayati sampai hafal menu favorit lelaki itu.
“Dia kalau kesini itu sukanya makan tongkol. Di sini kan ada beberapa asrama mahasiswa dari Indonesia timur, itu mereka sukanya makan ikan,” ujar Hayati tertawa.
Baca halaman selanjutnya…
Pilih lupakan utang para anak kos karena pernah rasakan perjuangan sebagai perantau
Tidak jarang, Ibra memang utang kepada di warung padang tersebut. Namun, Hayati mengaku tidak pernah mencatatnya. Sebab, Ibra adalah pelanggan setia dan sudah dipercaya.
Kadang-kadang ada yang memanfaatkan kebaikan
Di kalangan pelanggannya, Hayati sudah dikenal mempersilakan bagi mahasiswa yang tidak punya uang untuk utang. Sampai-sampai, ia pernah didatangi ketua asrama mahasiswa dari NTT yang meminta Hayati untuk tegas.
“Pernah ada ketua asrama mahasiswa datang ke saya. Dia khawatir banyak teman-temannya yang utang nggak dibayar. Dia minta daftar yang utang. Saya sebenarnya hafal beberapa nama yang belum bayar, tapi saya bilangnya sudah lunas semua. Takut nanti anak-anak ini kena marah,” ujar Hayati tersenyum.
Kepada beberapa pelanggan yang sudah ia kenal dekat, Hayati bahkan mempersilakan mereka untuk membayar dengan sistem mingguan dan bulanan. Semacam langganan pascabayar. Untuk kategori seperti ini, setiap transaksi memang harus ia catat.
Saat bercerita, Hayati menyebut beberapa nama pelanggannya. Saya sampai sedikit takjub bagaimana ia menghafal nama-nama tersebut. Beberapa pelanggan yang ia hafal betul nama hingga menu yang biasa dipesan adalah mahasiswa UNY.
Tidak dapat dimungkiri bahwa ada saja yang lupa membayar utang setelah makan di warung padang tersebut. Namun, Hayati mengaku sudah tidak mau mengingat-ingatnya lagi. Yang sudah, biarlah berlalu.
“Rezeki nggak kemana-mana Mas. Nanti yang ganti Allah. Ini saya bisa seperti sekarang mungkin karena itu juga,” tuturnya sambil terus megang tasbih di tangannya.
Perempuan ini bercerita saat ada pelanggan setianya lama tidak terlihat, ia akan menanyakan ke temannya. “Sering itu Mas, beberapa hari nggak ke warung ternyata lagi nggak punya uang. Saya bilang ke temannya, suruh diajak makan ke sini saja, gratis,” ungkapnya.
Sebenarnya, pada 2016, Hayati telah membuka cabang warung padang di Kalasan Sleman sekaligus membangun rumah baru di sana. Namun, saat itu warung di Samirono masih ia pertahankan karena ada banyak pelanggan.
Alasan buka warung padang di tempat lain setelah 13 tahun jadi andalan mahasiswa di Samirono
Saat pandemi, ia baru mulai merasakan situasi di sana berubah sepi. Bahkan, pascapandemi mereda situasinya tak kunjung kembali seperti semula.
“Seperti sudah berubah banget. Nggak kayak dulu lagi,” kata dia.
Berhubung kontrak rumahnya di Samirono habis pada 2023, ia memutuskan untuk tidak memperpanjang sewa. Namun, saudaranya justru berminat untuk menuruskan usaha di tempat itu.
Sejak 2023, Hayati resmi meninggalkan Samirono untuk mengurus beberapa cabang warung padang yang ia beri nama Mutiara Minang di Kalasan. Menikmati ritme hidup yang lebih lengang di pinggiran Jogja.
Sebelum mengakhiri perbincangan, saya sempat bertanya alasan mendalam tentang keputusannya tak banyak perhitungan dengan pelanggan. Soal itu, Hayati bertutur bahwa rasa ibanya muncul karena sama-sama perantau.
“Ibu ini kan perantau juga. Merasakan susahnya awal-awal berjuang dulu. Banyak juga di antara para mahasiswa yang orang tuanya di kampung bukan dari kalangan mampu,” tuturnya.
Saya sempat izin meminta untuk mendokumentasikan sosoknya untuk dokumentasi tulisan. Namun, perempuan itu enggan difoto.
“Malu, nggak usah saja lah ya. Sudah foto warungnya aja,” kelakar Hayati dengan dialek Minang yang masih begitu kental.
Fajar (24), anak kedua Hayati yang sore itu datang untuk menemani ibunya lalu bilang bahwa ibunya memang pemalu. Lantas, sambil melipir ke luar warung, lelaki ini bercerita bahwa ibunya, meski tidak banyak bicara, tapi begitu peduli dengan orang di sekitarnya.
“Ibu itu dari dulu begitu. Kadang-kadang aku sampai heran kok ya baik banget sama anak orang,” kelakarnya.
Namun, di sisi lain Fajar paham bahwa orang tuanya telah melewati perjalanan panjang. Perjalanan yang awalnya begitu berliku sebelum sekarang bisa sedikit menikmati masa tuanya. Sehingga, rasa ingin membantu sesama perantau tumbuh di dirinya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA 5 Penanda Warung Nasi Padang Asli Menurut Para Pedagang dari Minang
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News